Perkembangan Fungsi Otak Anak Usia Dini

 Piramida atau segitiga belajar yang digunakan sebagai sebuah penatalaksanaan keterapian, disusun oleh William Schellenberger. Piramida tersebut terbagi menjadi 4 kelompok perkembangan otak dengan mengutamakan pada pentingnya sistem sensor. Sistem sensor sebagai penerima informasi atau rangsang yang membutuhkan proses pematangan atau optimalisasi agar berfungsi untuk mengenali jenis stimulus yang diterima. Proses tersebut membutuhkan keterlibatan beberapa local area. Sebagai contoh saat sistem auditori sebagai alat sensor menerima gelombang suara, maka gelombang suara tersebut akan ditransfer untuk diterima sebagai proses yang akan menghubungkannya dengan penamaan yang melabelnya. Informasi yang didapatkan pertama kali atau pengalaman yang ada menjadi memori terhadap bunyi tertentu dan direkam bersama informasi dari sensor lain, seperti sensor visual mengenalinya secara simultan pada bentuk

yang tampak (visualisasi) dengan bunyi yang diterima.


Sistem sensorik adalah bagian dari sistem saraf yang menerima rangsangan dari lingkungan internal maupun eksternal. Informasi yang diolah oleh sistem sensori salah satunya berupa stimulus. Jika pengalaman sensori ini berkembang dengan baik, akan berpengaruh pada proses pencapaian cognition intellectnya, sehingga akan mengajarkan anak memiliki kemampuan menjalankan kegiatan sehari-hari (daily living activity) dan perilaku (behavior) yang bermakna.


Selanjutnya adalah jalur neural yang akan mendistribusikan atau menyalurkan informasi ke otak, kemudian informasi itu akan diolah lebih lanjut. Kemunculan penyimpangan perilaku yang terjadi pada seorang anak, misalnya anak sulit mengendalikan emosi. Hal tersebut disebabkan karena ketidakmampuan mengenali bagaimana emosi yang telah ia keluarkan dan respon lingkungan yang ia terima akibat emosinya. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan pemberian stimulasi seperti taktil dengan cara memberikan sentuhan dan tekanan pijatan, cara lain adalah pada sistem sensorik olfaktori dengan memanfaatkan aroma netral atau alam, karena area sensor berdekatan dengan area otak tengah yang bertugas mengontrol hormon dan emosi.


Perilaku-perilaku yang tidak diinginkan pada anak bisa diantisipasi sejak awal dengan pemberian stimulasi sejak dini. Dengan adanya rangsangan atau stimulasi sejak dini, anak mampu mencapai kondisi kecerdasan pada otak secara seimbang, emosi, dan kognitifnya.


Stimulus yang komprehensif dilakukan terhadap sistem sensori dengan memperhatikan perkembangan dan pematangan sel saraf, sel otak, serta organ secara simultan, yang akan menghasilkan anak pintar dengan keunikannya. Namun masalah terbesar pada rata-rata anak adalah fungsi otak tidak mendapatkan stimulasi yang cukup dan atau kesempatan bagi stimulus tersebut terkoneksikan dengan berbagai struktur di otak sehingga memunculkan hasil yang lebih komprehensif. Pada aktivitas belajar, terjadi proses interko-

neksi dari kontrol gerak. Membaca berkaitan dengan perkem bangan gerakan mata yang stabil. Menulis melibatkan koordinasi antara tangan dan mata serta menyalin membutuhkan penyesuaian ulang posisi kepala dan jarak fokus. Masing-masing kegiatan ini bisa menyentuh keterampilan motorik yang berbeda dan kemampuan postural. Gerakan merupakan komponen integral dari perilaku. Pada posisi duduk, anak-anak harus dapat menghambat gerakan yang berlebih dan mempertahankan postur stabil atau dengan kata lain akan ada kebutuhan konstan untuk mengambil posisi gelisah, menggeliat dan berubah menjadi upaya besar bagi anak, namun tampak sederhana.


Dalam hal interaksi sosial, proses dari 90 persen komunikasi didasarkan pada non-verbal dari aspek bahasa seperti postur, kontak gerakan, mata dan nada suara. Anak-anak yang memiliki masalah dalam mengendalikan tubuh mereka sendiri sering mengalami kesulitan membaca bahasa tubuh orang lain dan tidak tepat untuk merespon isyarat-isyarat sosial. Hal ini dapat merepotkan orang dewasa serta membuat anak menjadi sasaran empuk untuk digoda dan intimidasi di antara teman-temannya.


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa proses terjadinya gerak yang bermakna merupakan aksi yang dihasilkan dari sinergi 3 kerja fungsi alat indra yang saling terhubung dengan sistem keseimbangan di otak kecil dengan sensor proprioseptif. Kondisi ini yang disebut dengan integrasi sensori, sehingga akan membentuk kompetensi atau kemampuan untuk mengendalikan gerak. Kombinasi dari 2 proses integrasi motorik dan integrasi sensoris ini akan menjadi rangkaian dasar untuk penerima rangsang yang memancing respon emosi dan gerak atau kelakuan menjadi perilaku. Pengulangan perilaku menjadi kebiasaan yang memperkuat memori pada aktivitas gerak menjadi otomatis. Saat gerak yang sudah menjadi perilaku dalam rangkaian stimulus dengan respon emosi yang telah terbentuk ini, akan mulai menjadi unsur rencana atau strategi dari kemampuan kognitif yang akan membentuk karakter. Dengan memahami rangkaian proses ini, diharapkan dapat lebih memahami prosesnya sehingga dapat lebih mengerti perbedaan karakter masing-masing



No comments

Powered by Blogger.