BAB VII: LANDASAN SISIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS PENDIDIKAN


BAB VII: LANDASAN SISIOLOGIS
DAN ANTROPOLOGIS PENDIDIKAN

1.      Individu, Masyarakat, dan Kebudayaan
Individu, manusia perorangan yang memliki karakteristik sebagai kesatuan yang tidak dapat dibagi, memliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga bersifat unik, serta bebas mengambil keputusan atas pilihan dan tanggung jawabnya sendiri (otonom).
Masyarakat didefinisikan oleh Ralph Linton sebagai "setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas". Sejalan dengan definsi dari Ralph Linton,  Selo Sumardjan mendefinisikan masyarakat sebagai “orangorang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan” (Soerjono Soekanto, 1986).
Kebudayaan, keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985). Ada tiga jenis wujud kebudayaan, ketiga wujud kebudayaan tersebut adalah:
1). Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan,nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dsb. 
2).  Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3). Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Terdapat hubungan dan saling mempengaruhi antara individu, masyarakat dan kebudayaannya.
 Individu, masayarakat dan kebudayaannya tak dapat dipisahkan. Hal ini  sebagaimana Anda maklumi bahwa setiap individu hidup bermasyarakat dan berbudaya, adapun masyarakat itu sendiri terbentuk dari individu-individu. Masyarakat dan kebudayaan mempengaruhi individu, sebaliknya masyarakat dan kebudayaan dipengaruhi pula oleh individu-individu yang membangunnya. 
 Struktur Sosial, Status, dan Peranan. Apabila kita pelajari, di dalam masyarakat  terdapat struktur sosial, Komblum mendefinisikannya sebagai pola perilaku berulang-ulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Dalam struktur sosial tersebut setiap individu mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role) tertentu. Status adalah kedudukan seseorang di dalam suatu struktur  sosial. Misal, di dalam struktur organisasi madrasah seseorang mungkin berkedudukan sebagai kepala madrasah, sebagai guru, sebagai siswa, dsb. Adapun  menurut Ralph Linton status adalah suatu kumpulan hak dan kewajiban (a collection of rights and duties) seseorang sesuai dengan kedudukannya. Sedangkan peranan adalah berbagai hal yang harus dilakukan oleh individu sesuai dengan kedudukannya. Peranan pada dasarnya merupakan aspek dinamis dari suatu status. Seseorang dikatakan  melaksanakan peranannya apabila ia melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan statusnya. Status dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) status yang diperoleh sejak lahir atau diberikan kepada individu (ascribed status), (2) status yang diraih, yaitu status yang memerlukan kualitas tertentu yang diraih(achieved status).
Interaksi Sosial, Tindakan Sosial, Konformitas, Penyimpangan Tingkah Laku/Sosial, dan Kontrol Sosial. Untuk mencapai tujuan-tujuannya, atau dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, setiap individu maupun kelompok melakukan interaksi sosial. Dalam interaksi sosial tersebut mereka melakukan berbagai tindakan sosial, yaitu perilaku individu yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi kepada perilaku orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan sosial yang dilakukan individu hendaknya sesuai dengan status dan peranannya, dan diharapkan sesuai pula dengan kebudayaan masyarakatnya. Masyarakat menuntut hal tersebut tiada lain agar tercipta konformitas dan homogenitas. Konformitas  yaitu bentuk interaksi yang di dalamnya setiap individu berperilaku terhadap individu lainnya sesuai dengan yang diharapkan kelompok atau masyarakat, sedangkan homogenitas yaitu adanya kesamaan dalam nilai, harapan, norma dan perilaku individu-individu di dalam masyarakatnya.  
Dalam konteks interaksi sosial, apabila tindakan-tindakan sosial yang dilakukan  individu tidak sesuai dengan sistem nilai dan norma atau kebudayaan masyarakatnya, maka   individu yang bersangkutan akan dipandang melakukan penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan social (deviant behavior atau social deviant). Terhadap pelaku penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan sosial tersebut masyarakat akan mengucilkannya, bahkan melakukan pengendalian sosial (social control), yaitu apa yang didefinisikan Peter L. Berger sebagai "berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang" (Kamanto Sunarto, 1993).

2.      Sosialisasi dan Enkulturasi
Upaya Mempertahankan Kelangsungan Eksistensi Masyarakat dan Kebudayaan. Salah satu unsur masyarakat adalah adanya interaksi sosial. Interaksi sosial antara lain mengimplikasikan  reproduksi sehingga masyarakat menghasilkan keturunan. Dengan memiliki keturunan berarti masyarakat memiliki generasi muda yang akan menjadi generasi penerusnya.  Dengan tujuan agar tetap tercipta konformitas dan homogenitas di dalam masyarakat, dan untuk menjaga kelangsungan eksistensi masyarakat serta kebudayaannya,  maka terhadap  generasi mudanya masyarakat melakukan sosialisasi (socialization) dan enkulturasi (enculturation). Manusia berbeda dengan hewan yang seluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak kelahirannya. Saat kelahirannya, anak manusia dalam keadaan tak berdaya, karena naluri yang dibawa ketika kelahirannya relatif tidak lengkap. Anak manusia yang baru lahir, sekalipun ia telah mempunyai ascribed status (sebagai anak), namun ia belum tahu status dan peranannya itu. Ia juga belum tahu dan belum mampu melaksanakan berbagai status dan peranan lainnya di dalam masyarakat yang harus diraihnya (achieved status).
Demikian pula mengenai kebudayaan masyarakatnya.  Ia  belum memiliki sistem nilai, norma, pengetahuan, adat kebiasaan, serta belum mengetahui dan belum dapat menggunakan dengan tepat berbagai benda sebagai hasil karya masyarakatnya. Anak manusia harus belajar dalam waktu yang relatif lebih panjang untuk mampu melaksanakan berbagai peranan sesuai statusnya dan sesuai kebudayaan masyarakatnya. Berbagai peranan  harus dipelajari oleh anak (individu anggota masyarakat) melalui proses sosialisasi;  adapun mengenai kebudayaan perlu dipelajarinya melalui enkulturasi. Jika anak tidak mengalami sosialisasi dan/atau enkulturasi, maka ia tidak akan dapat berinteraksi sosial,  ia tidak akan dapat melakukan tindakan sosial  sesuai status dan peranannya serta kebudayaan masyarakatnya.
Sosialisasi dan Enkulturasi. Apabila ditinjau dari sudut masyarakat, sosialisasi  dan enkulturasi  merupakan fungsi masyarakat dalam rangka mengantarkan setiap individu ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Adapun jika ditinjau dari sudut individu, dalam proses sosialisasi dan enkulturasi  setiap individu  sesuai dengan statusnya dituntut untuk  belajar tentang berbagai peranan dalam konteks kebudayaan masyarakatnya, sehingga mereka yang dipelajari individu melalui sosialisasi ini adalah peranan-peranan. Dalam proses sosialisasi individu belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta peranan-peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan    peranan-peranan yang ada dalam masyarakat ini individu akan dapat berinteraksi dengan orang lain.
Sedangkan enkulturasi adalah suatu proses dimana individu belajar cara berpikir, cara bertindak, dan merasa yang mencerminkan kebudayaan masyarakatnya.  Herkovits  menyatakan bahwa sosialisasi menunjukkan proses pengintegrasian individu ke dalam sebuah kelompok sosial, sedangkan enkulturasi adalah proses  perolehan kompetensi budaya untuk hidup sebagai anggota kelompok (Imran Manan,1989).  Dalam uraian tersebut bahwa definisi sosialisasi yang digunakan dalam sosiologi tampak memiliki arti yang berbeda dengan definisi dan makna enkulturasi yang digunakan dalam antropologi. Definisi sosialisasi   menekankan kepada pengambilan peranan, sedangkan definisi enkulturasi menekankan kepada perolehan kompetensi budaya. Namun dalam kehidupan yang riil, sesunguhnya di dalam sosialisasi  itu melekat (inherent) juga kebudayaan. Sebab, kebudayaanlah yang menentukan arah dan cara-cara  sosialisasi yang dilaksanakan oleh masyarakat. Karena itu di dalam proses sosialisasi sebenarnya terjadi juga proses enkulturasi (pembudayaan), yang mana  "di dalam enkulturasi ini seorang individu mempeIajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaanya" (Koentjaraningrat, 1985). Demikian pula sebaliknya, bahwa di dalam enkulturasi sesungguhnya terjadi juga proses sosialisasi. 
Sehubungan dengan itu, apabila ditinjau dari sudut pandang sosiologi, pendidikan identik dengan sosialisasi, sedangkan apabila ditinjau dari sudut pandang antropologi, pendidikan  identik dengan enkulturasi. Karena di dalam proses sosialisasi hakikatnya terjadi juga proses enkulturasi, dan sebaliknya bahwa di dalam proses enkulturasi juga terjadi proses sosialisasi, dalam konteks ini maka pendidikan hakikatnya meliputi sosialisasi dan enkulturasi. 
Manusia hakikatnya adalah makhluk bermasyarakat dan berbudaya, dan masyarakat menuntut setiap individu mampu hidup demikian. Namun karena manusia tidak secara otomatis mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya, maka masyarakat melakukan pendidikan atau sosialisi (socialization) dan atau enkulturasi (enculturation). Dengan demikian diharapkan setiap individu mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya sehingga tidak terjadi penyimpangan tingkah laku terhadap sistem nilai dan norma masyarakat.

3.      Pendidikan sebagai Pranata Sosial
Pranata Sosial. Menurut Theodorson pranata sosial (social institution) adalah suatu sistem peran dan norma sosial yang saling berhubungan dan terorganisasi disekitar  pemenuhan kebutuhan atau fungsi sosial yang penting (Sudarja Adiwikarta,1988). pranata sosial  merupakan suatu sistem aktivitas yang khas dari suatu kelakuan berpola; aktivitas yang khas ini dilakukan oleh berbagai individu atau manusia yang mempunyai status dan peran masing-masing yang saling berhubungan atau mempunyai struktur; mengacu kepada sistem ide, nilai dan norma atau tata kelakuan tertentu; dilakukan dengan menggunakan berbagai peralatan; dan aktifitas khas ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota masyarakat. Pendek kata, pranata sosial adalah perilaku terpola yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya.
Jenis Pranata Sosial. Individu dan masyarakat mempunyai berbagai kebutuhan dasar (basic needs), misalnya: kebutuhan akan metabolisme, reproduksi, keamanan, kesehatan, dsb.  Kebutuhan-kebutuhan dasar ini akan dipenuhi dalam bentuk respons budaya penyediaan makanan, kekerabatan, perlindungan, pendidikan, dsb.
Pranata pendidikan. Pranata pendidikan adalah salah satu pranata sosial dalam rangka  proses sosialisasi dan/atau enkulturasi untuk mengantarkan individu ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya, serta untuk menjaga kelangsungan eksistensi  masyarakat dan kebudayaannya. Melalui pranata pendidikan sosialisasi dan/atau enkulturasi diselenggarakan oleh masyarakat, sehingga dengan demikian eksistensi masyarakat dan kebudayaanya dapat bertahan sekalipun individu-individu anggota masyarakatnya berganti karena terjadinya  kelahiran, kematian, dan/atau perpindahan.
Sebagai pranata sosial, pranata pendidikan  berada di dalam masyarakat dan bersifat terbuka. Sebab itu, pranata pendidikan mengambil masukan (input) dari  masyarakat dan  memberikan keluarannya (output) kepada masyarakat. Contoh: Para pendidik dan peserta didik dalam suatu pranata pendidikan masukkannya berasal dari  penduduk masyarakat itu sendiri; Tujuan pendidikan dirumuskan berdasarkan masukan dari sistem nilai, harapan dan cita-cita masyarakat yang bersangkutan; dsb. Sebaliknya, masyarakat menyediakan atau memberikan sumber-sumber input bagi pranata pendidikan dan menerima out put dari pranata pendidikan. Contoh: di dalam masyarakat terdapat penduduk, sistem nilai, sistem pengetahuan, dsb., hal ini merupakan sumber input yang disediakan masyarakat bagi pranata pendidikan. Tetapi masyarakat pun (misalnya suatu perusahaan) menerima lulusan dari pranata pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi) untuk diangkat sebagai pegawai atau karyawan), dsb.

4.      Pendidikan dan Masyarakat
Hubungan Pendidikan dan Ekonomi. Sejarah menunjukkan  bahwa pendidikan pada awalnya diselenggarakan secara informal di dalam keluarga dan diselenggarakan secara nonformal di dalam masyarakat. Selanjutnya, pendidikan diselenggarakan juga secara formal di sekolah. Bahkan sebagaimana Anda maklumi, belakangan ini dunia pendidikan mengalami perkembangan yang pesat luar biasa. Perkembangan tersebut antara lain berkenaan dengan jumlah lembaga pendidikannya; peningkatan jenjang pendidikan untuk suatu jabatan atau profesi tertentu; adanya peningkatan aspirasi masyarakat mengenai pentingnya pendidikan, dsb. Terhadap  perkembangan seperti itu Olive Banks menamakannya sebagai “explosion of education” atau ledakan pendidikan  (Sudarja Adiwikarta, 1988).  Di samping terjadinya perkembangan yang begitu pesat dalam dunia pendidikan seperti yang telah dideskripsikan, belakangan terjadi pula perkembangan di bidang ekonomi. Perkembangan ekonomi antara lain ditandai dengan diaplikasikannya teknologi yang semakin canggih di bidang industri, terbukanya lapangan kerja baru yang membutuhkan keahlian dan manajemen tertentu.
Mengutip penjelasan dari Parelius (1978) dan Knowles (1982), Sudarja Adiwikarta (1988) mengemukakan bahwa dalam sosiologi, konsep hubungan antara pendidikan dan kehidupan ekonomi seperti telah diuraikan, mendapat dukungan dari para penganut teori  Konsensus dan teori Konflik. Kedua penganut teori tersebut memiliki kesamaan pandangan bahwa fungsi utama institusi atau pranata pendidikan dalam kaitannya dengan kehidupan ekonomi adalah mempersiapkan para pemuda untuk mengisi lapangan kerja produktif. Adapun dalam hal pendidikan bagi orang dewasa, tujuan yang hendak dicapai tentu bukan lagi mempersiapkan kemampuan, melainkan meningkatkannya agar peserta didik dapat mampu menghadapi permasalahan yang ada pada saat itu. Sebab itu, mereka (peserta didik) mendapatkan pendidikan mental, sikap, pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat. Proses tersebut terjadi pada semua masyarakat, mulai dari yang paling tradisional sampai yang paling maju. 
Hubungan Pendidikan dan  Stratifikasi Sosial. Kelas-kelas dalam Stratifikasi Sosial. Ada berbagai jenis metode  yang digunakan para ahli sosiologi dalam menentukan stratifikasi social, antara lain (1) metode objektif, (2) metode subjektif, dan (3) metode reputasi (S. Nasution, 1983).
Melalui metode objektif, stratifikasi sosial ditentukan berdasarkan kriteria objektif  yang antara lain berkenaan dengan jumlah pendapatan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dsb. Melalui metode subjektif, stratifikasi sosial ditentukan berdasarkan pandangan anggota masyarakat sendiri dalam menilai dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakatnya. Sedangkan melalui metode reputasi, stratifikasi sosial ditentukan berdasarkan bagaimana anggota masyarakat menempatkan masing-masing dalam stratifikasi masyarakat itu. Dalam hal ini anggota masyarakat diberi kesempatan untuk menentukan golongan-golongan sosial yang terdapat dalam masyarakatnya, selanjutnya mereka diminta untuk mengidentifikasi anggota masing-masing golongan. Dalam menentukan stratifikasi sosial dengan menggunakan metode reputasi, W. Lloyd Warner menemukan enam kelas atau golongan, yaitu kelas atau golongan:“ atas-atas, atas bawah, menengah atas, menengah bawah, bawah atas, dan bawah bawah” (upper-upper, lowerupper, upper-midle, lower-midle, upper-lower, lower-lower).
Stratifikasi sosial Tertutup dan Terbuka. Dalam sosiologi dikenal pembedaan antara stratifikasi sosial tertutup dan stratifikasi sosial terbuka. Menurut  J. MiltonYinger suatu stratifikasi disebut tertutup manakala setiap anggota masyarakat tetap berada pada status yang sama dengan orang tuanya. Mobilitas Sosial.  Di dalam sistem stratifikasi sosial, setiap orang mempunyai statusnya masing-masing, setiap orang akan menduduki golongan atau kelasnya masingmasing. Namun demikian, stratifikasi sosial terbuka, setiap orang memiliki peluang untuk naik atau bahkan mungkin turun statusnya/kelas/golongannya. Inilah yang disebut mobilitas sosial.
Dalam konteks ini, masyarakat memerlukan terciptanya homogenitas tertentu, jika tidak ada homogenitas masyarakat tidak akan ada. Sebab itu, dalam arti sebagai  sosialisasi dan/atau enkulturasi,  pendidikan diselenggarakan masyarakat  agar tercipta homogenitas tersebut. Menurut sosiolog bernama Emile Durkheim, pendidikan bukan hanya memegang peranan dalam proses sosialisasi untuk terciptanya homogenitas, melainkan juga memegang peranan dalam proses seleksi  untuk terciptanya heterogenitas. Sebagaimana dikemukakan Sudarja Adiwikarta (1988), Emile Durkheim berpendapat bahwa makin maju suatu masyarakat maka akan terdapat pembagian kerja (division of labor) yang  menuntut spesialisasi untuk bidang pekerjaan tersebut. Spesialisasi mengandung arti seleksi, karena spesialisasi menempatkan orang-orang pada posisi tertentu sesuai dengan bakat, minat, kompetensi dan kesempatan yang tersedia di dalam masyarakat. Proses ini juga berarti alokasi dan distribusi sumber daya yang ada di dalam masyarakat.

5.      Pendidikan dan Kebudayaan.
Enkulturasi, Transmisi Kebudayaan dan Perubahan Kebudayaan.  Kebudayaan adalah ciptaan manusia dan syarat bagi kehidupan manusia. Manusia  menciptakan kebudayaan dan karena kebudayaannya manusia menjadi makhluk yang berbudaya. Coba perhatikan bayi yang baru lahir ke dunia, ia dalam keadaan penuh ketergantungan kepada orang lain, khususnya kepada orang tuanya, ia belum dapat mengendalikan emosinya, belum tahu nilai dan norma, belum mampu membayangkan masa depannya. Namun demikian,  karena ia hidup dalam lingkungan yang berbudaya, melalui pendidikan (enkulturasi) pada akhirnya ia menjadi orang dewasa yang mampu berperan serta dalam kehidupan masyarakat dan budayanya yang begitu kompleks. Menurut sudut pandang  antropologi, bahwa yang memungkinkan hal tersebut terjadi adalah enkulturasi. Dengan mengacu kepada pernyataan  Melville J. Herkovits,  Imran Manan (1989:34) mengemukakan bahwa: “Enkulturasi seorang individu selama tahun-tahun awal dari kehidupannya adalah mekanisme pokok yang membuat sebuah kebudayaan stabil, sementara proses yang berjalan pada anggota masyarakat yang lebih tua sangat penting dalam mendorong perubahan”. Jadi selama masa kanak-kanak dan masa mudanya, enkulturasi menstabilkan budaya, karena enkulturasi mengembangkan kebiasaan kebiasaan sosial yang diterima menjadi kepribadian anak yang makin matang.
Dalam hal ini enkulturasi berarti transmisi kebudayaan. Namun demikian, di kala dewasa, enkulturasi sering mendorong perubahan. Hal ini terjadi karena banyak bentuk-bentuk perilaku baru yang diperlukan orang dewasa, bahkan tidak hanya bagi dirinya  saja tetapi juga bagi kebudayaan itu sendiri. Pandangan tentang Kebudayaan dan Pendidikan. Ada tiga pandangan tentang kebudayaan yang berimplikasi terhadap konsep pendidikan. Ketiga pandangan tersebut yakni: 1) Pandangan Superorganik, 2) Pandangan Konseptualis, dan 3) Pandangan Realis (Imran Manan, 1989). 
a.       Pandangan Superorganik, bahwa kebudayaan adalah ciptaan manusia.
b.      Pandangan Konseptualis, bahwa kebudayaan merupakan sebuah kenyataan yang berada di atas dan di luar individu-individu yang menjadi pendukung kebudayaan, dan realita tersebut mempunyai hukum-hukumnya sendiri. Jadi kebudayaan itu merupakan realita superorganis dipandang sebagai suatu proses yang digunakan suatu masyarakat untuk mengendalikan dan membentuk individu-idividu sesuai dengan tujuan-tujuan yang ditentukan oleh nilai-nilai dasar suatu kebudayaan. Pendidikan - informal,formal maupun nonformal - merupakan proses yang meletakkan generasi baru di bawah pengendalian sebuah sistem budaya. Kebudayaan adalah sebuah konsep yang dibangun dari keseragamankeseragaman yang dapat diamati dalam urutan tingkah laku dengan menggunakan sebuah proses abstraksi logis. Implikasi pandangan Konseptualis tentang kebudayaan terhadap pendidikan adalah bahwa dalam pendidikan generasi baru harus mempelajari warisan budayanya sesuai dengan perhatiannya dan mengembangkan gambaran mereka sendiri mengenai kebudayaannya secara objektif.
c.       Pandangan Realis, menurut pandangan Realis, kebudayaan merupakan sebuah konsep dan realita empiris. Sebagaimana dikemukakan David Bidney (Imran Manan, 1989), kebudayaan merupakan “warisan budaya” yaitu abstraksi atau generalisasi dari “perilaku” nyata anggota-anggota masyarakat. Hal ini berarti kebudayaan merupakan  sebuah konsep (abstraksi) dan juga sebuah realita (tingkah laku).  Implikasi pandangan Realis tentang kebudayaan terhadap pendidikan: Pengikut pandangan Realis meyakini bahwa anak manusia memiliki daya penyesuaian terhadap realita yang mengelilinginya, baik terhadap yang bersifat fisik maupun sosial-budaya.Untuk mengembangkan daya penyesuaian tersebut mereka harus diberi berbagai pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan  yang disediakan oleh kebudayaan mereka. Mereka menginginkan system pendidikan yang berfungsi untuk melatih generasi muda mempunyai kemampuan untuk mempertimbangkan secara objektif perubahan sosial budaya yang sesuai dengan nilai-nilai dasar budayanya. 
Adapun untuk melestarikan dan melakukan pembaharuan atau perubahan tersebut masyarakat perlu melakukannya melalui pendidikan, atau melalui apa yang di dalam antropologi disebut enkulturasi. Pendidikan dijalani individu  sepanjang hayat yang berlangsung secara informal, formal dan nonformal di berbagai lingkungan pendidikan. Sehubungan dengan itu, maka  dikenal adanya tiga jenis lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan pendidikan informal, lingkungan pendidikan formal dan lingkungan pendidikan nonformal.  Pendidikan informal adalah pendidikan yang berlangsung atau terselenggara secara wajar (alamiah) di dalam lingkungan hidup sehari-hari.  Pendidikan informal antara lain berlangsung di dalam keluarga, sebab salah satu fungsi keluarga yang bersifat universal adalah melaksanakan pendidikan. Ada berbagai jenis keluarga, setiap jenis keluarga tentunya akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap pendidikan anak. Pendidikan informal dalam keluarga merupakan peletak dasar pendidikan anak. Dalam hal ini orang tua (ibu dan ayah) adalah pengemban tanggung jawab pendidikan anak. Tujuan pendidikan dalam keluarga adalah agar anak menjadi pribadi yang mantap, bermoral, dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Sehubungan dengan itu, pendidikan dalam keluarga dapat dipandang sebagai persiapan ke arah kehidupan anak dalam masyarakatnya. Adapun isi pendidikan dalam keluarga biasanya meliputi: berbagai pengetahuan yang mendasar, sikap, nilai dan norma agama, nilai dan norma masyarakat/budaya, serta keterampilan-keterampilan tertentu. Selain di dalam keluarga, pendidikan informal dapat pula berlangsung di dalam masyarakat. Pendidikan informal di dalam masyarakat antara lain dapat berlangsung melalui adat kebiasaan, pergaulan anak sebaya, upacara adat, pergaulan di lingkungan kerja, permainan, pagelaran kesenian, dan bahkan melalui percakapan biasa dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sekolah  adalah salah satu pranata sosial yang memiliki tugas khusus untuk menyelenggarakan pendidikan. Sekolah memiliki struktur tertentu yang didukung oleh berbagai unsur atau komponen. Tiga komponen utama sekolah yang menjadi syarat agar sekolah dapat melaksanakan fungsi minimumnya, yaitu: 1) peserta didik,  2) guru, dan kurikulum. fungsi pendidikan sekolah antara lain: (1) Fungsi transmisi kebudayaan masyarakat.; (2) Fungsi sosialisasi; (3) Fungsi integrasi sosial; (4) Fungsi Mengembangkan kepribadian individu/anak; (5) Fungsi mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan;  (6) Fungsi inovasi/men-transformasi masyarakat dan kebudayaan. Sejumlah ahli sosiologi mempelajari perbedaan antara sosialisasi di sekolah dengan di keluarga. Robert Dreeben (1968) misalnya, ia mengemukakan empat perbedaan aturan yang dipelajari anak di keluarga dan di sekolah, yaitu kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), and specifity (spesifity). nonformal adalah jalur pendidikan pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. Dalam hubungannya dengan pendidikan formal, pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga  kursus, pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pola Kegiatan Sosial Pendidikan. Apabila kegiatan sosial pendidikan dianalisis berdasarkan kecenderungan orientasinya terhadap fungsi dimensi-dimensi tingkah laku individu, maka dapat diidentifikasi adanya tiga pola kegiatan sosial pendidikan, yaitu: (1) Pola Nomothetis, (2) Pola Ideografis, dan (3) Pola Transaksional. Pendidikan berdasarkan  pola nomothetis mempunyai pengertian sebagai sosialisasi kepribadian (socialization of personality). Pendidikan dipandang sebagai upaya pewarisan nilai-nilai sosial kepada generasi muda. Hal ini menimbulkan sosilogisme dalam pendidikan. Pendidikan dipandsang sebagai proses sosialisasi. Jaeger (1977) membedakan pola kegiatan sosialisasi (pendidikan) menjadi dua pola ekstrim, yaitu (1) pola sosialisasi dengan cara represi (repressive socialization), dan (2) pola sosialisasi partisipasi (participatory socialization).  Kebalikan dari Pola Nomothetis adalah Pola Ideografis. Karena itu Pendidikan berdasarkan pola kegiatan sosial ideografis mempunyai pengertian sebagai personalisasi peranan (personalization of roles), yaitu upaya membantu seseorang untuk mengetahui dan mengembangkan tentang apa yang ingin diketahui atau yang ingin dikembangkannya. Hal ini menimbulkan psikologisme atau developmentalisme dalam pendidikan.  Kegiatan sosial pendidikan Pola Transaksional mengutamakan keseimbangan berfungsinya dimensi tingkah laku nomothetis dan dimensi tingkah laku ideografis. Sebab itu pendidikan berdasarkan pola ini dipahami sebagai suatu sistem sosial yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a). setiap individu mengenal tujuan-tujua sistem, dan tujuan-tujuan itu juga merupakan bagian dari kebutuhan pribadinya; b). setiap individu percaya bahwa harapan-harapan sosial yang dikenakan kepada dirinya adalah rasional apabila harapan-harapan tersebuit dapat dicapai; c). Setiap individu merasa bahwa ia termasuk suatu kelompok dengan suasana emosional yang sama. 
Dalam kegiatan sosial pendidikan pola Transaksional memungkinkan munculnya empat jenis pola dasar hubungan transaksional. Keempat jenis pola dasar hubungan transaksional yang dimaksud adalah: (1) I’am not O.K. -  You’re O.K. (2) I’am O.K. – You’re not O.K. (3) I’am not O.K. – You’re O.K. (4) I’am O.K. – You’re O.K. Dalam kegiatan pendidikan, jenis pola kegiatan sosial pendidikan yang diharapkan terjadi adalah jenis pola Transaksional. Adapun dalam kegiatan sosial pendidikan pola Transaksional tersebut diharapkan tercipta pola dasar hubungan transaksional jenis yang keempat, yaitu: “I’am O.K. – You’re O.K.”, artinya bahwa guru mau melaksanakan pendidikan dan siswa pun mau melaksanakan pendidikan.
Pola Sikap Guru terhadap Siswa. Menurut David Hargreaves (Sudarja Adiwikarta, 1988) ada tiga kemungkinan pola sikap guru terhadap muridnya serta implikasinya terhadap fungsi dan tipe/kategori guru. Pola Pertama:  Guru berasumsi bahwa para muridnya  belum menguasai kebudayaan, sedangkan pendidikan diartikan sebagai pembudayaan (enkulturasi). Implikasinya maka tugas dan fungsi guru adalah menggiring murid-muridnya untuk mempelajari hal-hal yang dipilihkan oleh guru dengan pertimbangan itulah yang terbaik bagi mereka. Tipe guru dalam kategori ini dinamakan Hargreaves sebagai penjinak atau penggembala singa (lion tamer). Pola Kedua:  Guru berasumsi bahwa para muridnya  mempunyai dorongan untuk belajar yang harus meghadapi materi pengajaran yang baru baginya, cukup berat dan kurang menarik. Implikasinya maka tugas guru adalah membuat pengajaran menjadi menyenangkan, menarik dan mudah bagi para muridnya. Tipe guru demikian dikategorikan sebagai penghibur (entertainer). Pola Ketiga: Guru berasumsi bahwa para muridnya mempunyai dorongan untuk belajar, ditambah dengan harapan bahwa murid harus mampu menggali sendiri sumber belajar, dan harus mampu mengimbangi dan berperan dalam kehidupan masyarakat yang terus menerus berubah, bahkan dengan kecepatan yang semakin meningkat. Implikasinya guru harus memberikan kebebasan yang cukup luas kepada murid. Baik secara individual maupun kelompok kecil, guru dan murid bersama-sama menyusun program kurikuler. Hubungan guru-murid didasari kepercayaan, dan arah belajar-mengajar adalah pengembangan kemampuan dan kemauan  belajar di kalangan murid. Tipe guru demikian dikategorikan oleh Hargreaves sebagai guru romantik (romantic).

Enkulturasi
Suatu proses dimana individu belajar cara berpikir, cara bertindak, dan merasa yang mencerminkan kebudayaan masyarakatnya. Menurut  M. J. Herkovits  adalah proses  perolehan kompetensi budaya untuk hidup sebagai anggota kelompok.
Fungsi Selektif
Salah satu fungsi pendidikan (sekolah) dalam rangka menempatkan peserta didik sesuai dengan bakat dan kemampuannya, yang akan turut menentukan kedudukan peserta didik di dalam tangga sosialnya di kemuadian hari.
Homogenitas
Adanya kesamaan dalam nilai, harapan, norma dan perilaku individu-individu di dalam masyarakatnya.  
Konformitas
Bentuk interaksi yang di dalamnya setiap individu berperilaku terhadap individu lainnya sesuai dengan yang diharapkan kelompok atau masyarakat.
Mobilitas Sosial
Perpindahan orang dari status/kelas/golongan sosial yang satu ke status/kelas/golongan yang lain. Perpindahan tersebut mungkin naik atau mungkin pula turun.
Mobilitas Vertikal
Mobilitas ke atas (naik) atau ke bawah (turun) dalam stratifikasi sosial.
Pendekatan Obyektif
Pendekatan dalam studi tentang stratifikasi sosial yang menggunakan ukuran obyektif berupa variabel yang mudah diukur secara statistik seperti pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.
Pendekatan subyektif
Pendekatan dalam studi tentang stratifikasi sosial yang melihat kelas sebagai suatu kategri social, sehingga ditandai oleh kesadaran jenis.
Pendekatan reputasi
Pendekatan dalam studi stratifikasi sosial di mana para subjek penelitian  diminta menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain tersebut pada suatu skala tertentu.
Stratifikasi Sosial
Pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status/kelas/goongan yang diduduki atau dimilikinya.
Sosialisasi
Suatu proses dimana anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Petter L. Berger); sosialisasi menunjukkan proses pengintegrasian individu ke dalam sebuah kelompok sosial (M.J. Herkovits)

No comments

Powered by Blogger.