Pendidikan Karakter melalui Mendongeng

 Karakter Pancasila

Penerapan karakter Pancasila mendorong praktik baik bagi pendidik secara masif, berkelanjutan dan inovatif demi mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul berkarakter Pancasila yang memiliki semangat belajar sepanjang hayat, memiliki kompetensi global, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020. Penerapan nilai-nilai Pancasila mencakup enam dimensi yaitu: (1) beriman bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, (2) berkebinekaan global, (3) bergotong royong, (4) mandiri, (5) bernalar kritis, (6) dan kreatif. Nilai-nilai Pancasila tersebut dapat diterapkan kepada anak dengan metode mendongeng. Diharapkan penanaman karakter Pancasila melalui mendongeng dapat mewujudkan profil pelajar Pancasila sebagai berikut:


a. Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia


Pelajar Pancasila memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta menerapkan pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari.


b. Berkebinekaan Global


Perilaku pelajar Pancasila ini menumbuhkan rasa saling menghargai, kemampuan komunikasi interkultural dalam berinteraksi dengan sesama yang memungkinkan terbentuknya budaya baru yang positif dan tidak bertentangan dengan budaya luhur bangsa.


c. Gotong Royong


Pelajar Indonesia memiliki kemampuan gotong royong, yaitu kemampuan untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah dan ringan.


d. Mandiri


Pelajar Indonesia adalah pelajar mandiri, yaitu pelajar Pancasila yang bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya.


e. Bernalar Kritis


Pelajar yang bernalar kritis adalah pelajar Pancasila yang mampu secara objektif memproses informasi baik kualitatif maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi, menganalisis informasi, mengevaluasi, dan menyimpulkannya.


f. Kreatif


Pelajar yang kreatif adalah pelajar Pancasila yang mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna, bermanfaat, dan berdampak.


Unsur-unsur Intrinsik

Pandangan Nurgiantoro dalam karya sastra lisan (cerita rakyat) bahwa, "unsur-unsur intrinsik yang membangun dongeng antara lain : tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan amanat". Adapun penjelasan dari macam-macam unsur dongeng sebagai berikut :




1) Tema


Menurut Zulfanur (Wahid, 2004), bahwa “Tema adalah ide sebagai pokok suatu pembicaraan atau suatu tulisan”. Tema ialah suatu dimensional yang berperan penting dari suatu dongeng, karena dengan dasar itu, pendongeng dapat membayangkan dalam fantasinya tentang cerita yang akan dibuat. Pendongeng sendiri tidak asal menyebut apa yang menjadi latar belakang dari tema ceritanya, namun dapat kita ketahui, apabila telah selesai mendongeng.


2) Tokoh


Diketahui penokohan berasal dari kata tokoh. Arti tokoh sendiri ialah pelaku. Maksud dari tokoh ini menurut Sumarjo, (Wahid, 2004) ialah “yang dilukiskan atau digambarkan tentang watak-watak atau pelaku dongeng, melalui tokoh”, dan pendengar dapat mengikuti jalannya dongeng serta mengalami berbagai pengalaman batin seperti yang dialami tokoh dongeng. Selain itu menurut Nursisto, (2000) yang memaparkan bahwa “watak (penokohan) ialah sikap batin manusia yang mempengaruhi seluruh pikiran dan perbuatannya”. Berdasarkan pendapat inilah, sehingga dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu dapat menjalin suatu dongeng. Penokohan ialah penyajian watak dari tokoh dan penciptaan citra tokoh yang membedakan dengan tokoh yang lain.


3) Alur


Menurut Aminuddin, (2004) bahwa “Alur adalah rangkaian dongeng yang dibentuk dengan tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu dongeng yang dihadirkan oleh seluruh pelaku dalam suatu dongeng”. Istilah alur sama dengan istilah plot dalam struktur dongeng, yaitu tahapan peristiwa yang menjalin suatu dongeng pada umumnya terbentuk dari suatu rangkaian peristiwa dari berbagai macam pelaku. Demikian yang dijelaskan oleh para ahli seperti Montage dan Henshaw, (dalam Aminuddin, 2004), menurutnya bahwa “tahapan peristiwa dalam plot suatu dongeng dapat tersusun dengan beberapa tahapan”. Adapun beberapa tahapan atau langkah mendongeng itu ialah: Tahapan peristiwa yang menjalin suatu dongeng pada umumnya terbentuk dari suatu rangkaian peristiwa dari berbagai macam pelaku. Adapun tahapan atau langkahnya adalah:


a) Tahapan awal (exposition), yakni tahap awal yang berisi tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita

b) Tahap inciting force adalah tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku

c) Tahap rising action artinya situasi panas karena pelaku-pelaku dalam dongeng berkonflik

d) Tahap crisis dimaksudkan sebagai tahap situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya

e) Climax, merupakan tahap situasi puncak ketika konflik berada pada radar yang paling tinggi sehingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya sendiri-sendiri

f) Tahap falling action ialah tahap terakhir mengenai kadar konflik sudah menurun sehingga ketegangan dalam cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclucion atau penyelesaian dongeng


4) Latar


Menurut Abrams (dalam Wahid Sugira, 2004) mengungkapkan bahwa “Pengertian latar adalah landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang didongengkan”. Pembagian latar sendiri terdiri dari latar tempat, waktu, dan sosial budaya;


a) Latar tempat merujuk pada pengertian tempat dimana cerita yang dikisahkan itu terjadi

b) Latar waktu merujuk pada berlangsungnya peristiwa dalam dongeng

c) Latar sosial budaya dapat dipahami sebagai keadaan atau kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat yang diangkat dalam peristiwa tersebut


5) Sudut Pandang


Yang dimaksud dengan sudut pandang, Wahid (2004) menyampaikan pendapatnya bahwa “Sudut pandang berarti tempat penceritaan dalam hubungannya dengan dongeng, dari sudut mana penceritaan menyampaikan kisahnya”. Sudut pandang dapat dilihat dari posisi pengarang dan pusat pengisahan pada posisi pendongeng. Sejalan dengan pendapat di atas, Nursisto (2000) juga menyampaikan “Sudut pandang atau titik tinjau adalah tempat atau posisi pendongeng terhadap kisah yang dikarangnya, apakah ia ada di dalam dongeng atau di luar dongeng itu”. Sudut pandang dalam kesusastraan mencakup hal-hal sebagai berikut :


a) Tokoh yang terlibat (sudut pandang tokoh)

b) Tokoh sampingan (sudut pandang tokoh sampingan)

c) Orang yang serba tahu, serba melihat, dan serba mendengar (sudut pandang interpersonal)


6) Amanat


Menurut Sudjiman (Zulfahnur,1997), “dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat sesuatu moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dan itulah yang disebut amanat”. Amanat terdapat pada sebuah karya sastra secara impilisit atau secara eksplisit. Karena implisit merupakan ajaran moral yang diisyaratkan di dalam tingkah laku tokoh dongeng sedangkan eksplisit jika pada akhir dongeng disampaikan seruan, peringatan, nasehat, anjuran, larangan, dan sebaliknya, berkenaan dengan gagasan yang mendasari dongeng itu.

No comments

Powered by Blogger.