Deretan Jumpscare Jauh Lebih Baik Kuntilanak 2 (2019)
Dinda berhasil lolos dari teror kuntilanak. Ia kemudian berniat menemui Karmila yang diyakini sebagai ibu kandungnya. Sialnya, Dinda yang berangkat bersama adik dan temannya malah terjebak dalam rumah di tengah hutan. Kejanggalan mulai terjadi di rumah tersebut. Dinda harus kembali berhadapan dengan kuntilanak.
Dikutip dari Antara, Kuntilanak 2 menyajikan cerita horor drama yang dibalut dengan petualangan. Apabila film pertama lebih banyak bertempat di rumah, pada film kali ini banyak di hutan dan luar ruangan. Menurut Maxime Bouttier, salah satu pemain, sudut pandang film horor ini berbeda dengan film lain bergenre yang sama.
Masih dengan suasana mistis yang sama, Kuntilanak 2 dibuka dengan adegan seorang pria paruh baya yang terlihat sedang mengucapkan mantra di depan sebuah gua yang ada di ruang bawah tanah. Fokus diarahkan ke topeng yang ada di atas gua. Penonton pun langsung diajak mengingat simbol tersebut. Ya, itu adalah topeng yang sama seperti yang ada di cermin sebelumnya.
Pria tersebut melepaskan kembali kuntilanak yang terkurung di sana. Sementara itu, di sebuah pasar malam, Dinda tampak sedang mencari-cari Ambar. Ternyata, Ambar tertidur di kincir angin seorang diri, hampir menjadi sasaran empuk kuntilanak. Dengan keramaian dan keceriaan di pasar malam itu, kemunculan sosok kuntilanak yang mengincar Ambar membuka tabir teror film ini.
Sekuel ini masih memiliki aura menyenangkan yang sama, dengan celetukan-celetukan nyeleneh yang terlontar dari karakter anak-anak di film ini. Selain itu, gaya kengerian yang ditampilkan pun masih sama, melihat dari sudut pandang anak-anak, sehingga cukup bikin geregetan.
Sayangnya, sekuel ini jadi wahana unjuk gigi efek CGI yang enggak efektif. Bahkan, buat bikin sosok kuntilanak yang mengerikan, efek CGI ini pun dipakai. Hal ini sesungguhnya enggak perlu karena Karina telah memerankan karakternya dengan sangat baik. Cukup bermodalkan make-up yang mumpuni, dia bisa jadi sosok yang bikin merinding.
Sebaliknya, efek CGI justru bisa digunakan untuk memperhalus penggambaran kuburan kuntilanak sehingga enggak kentara propertinya yang dibuat dari styrofoam. Kesannya, efek CGI yang ditampilkan diharapkan bisa menutupi cerita dan konflik yang kurang mendalam. Sayangnya, penggunaannya yang enggak efektif dan enggak efisien ini malah merusak suasana.
Deretan jumpscare pun jauh lebih baik dari film pertamanya. Bahkan ada satu jumpscare yang tak terprediksi, hingga mampu membuat penonton terkaget-kaget. Namun sayang, meskipun tak banyak, namun adegan-adegan klise film horor yang sejatinya sudah cukup out of date masih nampak dipertahankan sehingga cukup mengganggu. Semakin membosankan karena adegan kesurupan nampak masih menjadi adegan wajib dalam franchise ini.
Dialog yang terlalu menjelaskan hal apa yang diperbuat semisal “aku akan mengambil tangki ini untuk membakar rumah” pun masih kerap disajikan di sepanjang film. Padahal semestinya hal-hal mengganggu seperti itu tak perlu dimunculkan karena cukup mengurangi dramatisasi sebuah adegan. Karena tak selamanya sebuah adegan harus dijelaskan secara verbal.
Namun yang pasti, sajian klise khas film horor tersebut masih cukup termaafkan berkat membaiknya berbagai sisi franchise ini mulai dari desain produksi hingga alur cerita yang lebih berisi.
Leave a Comment