Teror Ibu Hamil Janin
Randu dan Dinar merupakan pasangan pengantin baru yang belum lama menikah.
Keduanya terlihat bahagia karena Dinar tengah mengandung buah hati mereka yang telah masuk bulan ke empat masa kehamilan.
Namun, semangat kebahagiaan mereka perlahan menghilang, ketika hadirnya seorang ibu paruh baya yang bernama Sukma menjadi tetangga baru mereka.
Keanehan demi keanehan pun terjadi, banyak kejadian yang membuat Dinar merasa ketakutan bahkan sering kali mengganggu Janin dalam kandungannya.
Dinar terancam saat dia melihat sosok hantu perempuan yang ingin mengambil janinnya.Randu sudah disiapkan kamar khusus dengan bayi demi menyambut kelahiran putri. Lengkap mulai dari crib hingga stroller. Namun sang istri, Dinar, malah merasa takut di dalam rumah - terutama di ruangan tersebut. Telinga Dinar mendengar orang di sana, menangkap sekelebat bayangan di sana. Sebagai seorang pria yang seharian bekerja di kantor, Randu terang saja tak percaya ada hantu di rumah mereka. Ia lebih percaya 'bahaya' itu datang dari tetangga baru mereka, Bu Sukma, yang sikapnya aneh. Jelalatan menatap perut Dinar - yang kalo ngobrol bersama terus megang perut Dinar. Maka Randu menyewa jasa suster untuk menemani dan mengatur Dinar di rumah. Hal-hal mengerikan toh tetap berlangsung walaupun si suster pendiam sudah mulai bekerja di rumah mereka. Dinar dan janin yang dikandungnya jelas menjadi target serangan hantu. Misterinya - bagi Randu - adalah siapa yang mencoba mencelakai keluarganya; Bu Sukma yang jika namanya dipenggal secara harfiah jadi Bu-Suk, atau si suster yang namanya membuat Randu tertegun.
Ketika kita bicara horor, dan ceritanya berpusat pada masalah keluarga, seharusnya ini seperti menemukan minyak di lapangan. Sebuah kesempatan untuk mendapatkan begitu banyak, sedalam-dalamnya. Karena di mana lagi kita menemukan ketakutan yang asli, yang paling mendasar - manusiawi yang ketakutan pada ketakutan seorang ibu kehilangan anaknya. Atau ketakutan seorang ayah kelahiran dan sebenarnya harus tumbuh dan menyongsong tanggungjawab - David Lynch membuat cerita yang begitu mengganggu mental dari tema ini pada tahun 1977 lewat film Eraserhead. Janin tampak membicarakan horor serupa, tokoh tokoh yang menjadi tokoh-tokoh yang dikarunai jabang bayi pertama mereka. Hanya saja, film ini memulai konflik drama yang menjadi dasar horor tersebut dengan sangat terlambat.
Saat film mengangkat isu yang cukup marak di kehidupan sosial kita. Mengenai aborsi. Dan kita melihatnya dari sudut pandang pria. Di Indonesia, aborsi masih jadi pembahasan yang cukup tabu, karena masih dipandang secara sempit dalam landasan moral atau agama. Pelaku aborsi ilegal akan merusak. Pengecualian untuk keadaan yang diatur oleh undang-undang, misalnya pada kasus perkosaan. Ketika melahirkan anak akan menimbulkan gangguan psikis dan efek yang lebih buruk untuk ibu dan bayi. Intinya adala aborsi harus didasarkan pada consent wanita yang mengandung. Film Janin menunjukkan kepada kita bahaya saat aborsi diambil alih, dipaksakan consent-nya oleh pria. Praktek yang banyak terjadi. Wanita dipaksa untuk aborsi, kemudian terjerat hukum, sedangkan si pria lepas dari hukum karena hubungan mereka bukan perkosaan.
Kita harus mati-matian menahan jemu (sambil menggenggam erat jantung biar enggak copot) sebelum akhirnya sampai ke pokok permasalahan, ke gagasan yang menarik cerita yang dipunya. Menit keenam; orang yang berdiri di belakang satu tokoh - jederr! Menit ke empat belas; Randu mengagetkan istrinya yang membukakan pintu rumah - jegarrr !! Menit ke dua puluh dua; Hantu teriak tepat di telinga Dinar - jedooorr !!! Jumpscare demi jumpscare susul menyusul - inilah makna horor bagi film Janin. Tidak ada pengembangan karakter. Selama hampir satu jam (yang perlu diingat film ini hanya berdurasi delapan puluh lima menit) diperlihatkan kejadian yang formulanya sama berulang kali. Ada kejadian ganjil, Dinar takut, kita kaget saat ada yang dari belakang menyelamatkan Dinar, Randu enggak percaya waktu Dinar curhat tentang kejadian barusan. Selalu begitu kejadiannya. Tidak ada membangun emosi yang membuat kita peduli sama yang ditakut-takuti - kita enggak benar-benar tahu siapa mereka. Horornya pun tidak ada yang membangun di samping musik yang tiba-tiba tiba-tiba merusak dan kamera yang berpanning ke kiri, ke kanan, kemudian BLAARRR !!
Penulisan dialognya pun sebagian besar sangat konyol. Simak ungkapan yang dua tokoh lakukan di awal film, yang tampak diniatkan untuk membangun misteri soal ada yang gak beres pada janinnya bersama ini adalah kehamilan pertama: “Ada yang gerak-gerak di perutku.” / “Kamu kan hamil, ya wajarlah.” / “Tapi …… kenapa baru sekarang ya?” Betapa lucunya. Sebaru-barunya jadi ibu juga, susah untuk menerima ada wanita enggak tahu soal kehamilan. Enggak ada yang seram dari ibu hamil yang merasa ada yang gerak-gerak di perutnya, kecuali film membuat gerakannya dengan penggambaran yang, katakanlah, ekstrim. Tadinya kupikir ini mungkin karena film yang dibuat dengan dan dari sudut pandang laki-laki, sutradaranya adalah Ook Budiyono. Menurut IMDB, ini adalah film pertama Budiyono. Tapi ternyata penulis ceritanya seorang perempuan, jadi agak aneh juga kenapa pendalaman masalah kehamilan dan aborsi dalam film ini terasa kurang dan sangat tidak pribadi. Dari arahannya sendiri, film cukup berusaha meskipun sangat standar - seperti menggunakan twist, dan bahkan cenderung menggunakan banyak shot-shot yang panjang. Seperti tokoh berkeliling kamar, atau berjalan di lorong kantor. Walaupun shot-shot yang panjang tersebut tidak mengandung bobot. Jika pun ada tujuan, itu hanya untuk komedi seperti adegan berjalan di kantor yang ternyata ditutup dengan tokoh yang berjalan menabrak kaca.
Makanya ketika penjelasan datang, semua terasa sudah terlambat. Padahal ada bagian yang menarik, yaitu ketika ada yang terbunuh di rumah Randu sehingga kini Randu dan istrinya berada dalam pengawasan polisi. Ini unik karena film badai yang menandakan dunia mereka masih berjalan dengan sistemnya. Namun semua itu hanya berlaku selewat. Tidak ada waktu lagi untuk mengembangkannya. Kita tidak punya kesempatan lagi untuk terinvest sama kejadian backstory yang melandasi karakternya. Karena segala aspek penceritaannya sebelum ini, yang menghalangi kita masuk ke dalam cerita. Randu dan segala alasannya, pada akhirnya berkembang dan hanya terlihat sebagai bajingan yang pantas untuk mati. Kita bahkan enggak mendukung istrinya, justru justru hantunya. Rasa bahaya dari ibu hamil yang diganggu hantu lantas sirna.
Dalam film tentang janin yang menakut-nakuti manusia, seharusnya film langsung saja karena asumsi akan mengarah ke soal aborsi. Film harus lebih tepat untuk masalah mengapa Randu memilih Dinar. Konfrontasi Randu dengan efek praktek aborsi yang ia pilih seharusnya lebih dibahas, karena film punya tokoh pendukung yang berkaitan langsung dengan peristiwa ini. Salah satu penanda naskah film ini sangat lemah adalah banyak tokoh yang berhasil dikenai peran atau fungsi yang meyakinkan. Tokoh Bu Sukma dan suster itu praktisnya sama saja gak ngapa-ngapain karena mereka hanya perangkat. Dan ada satu tokoh lagi yang ujug-ujug dijadikan pahlawan padahal dia enggak melakukan apa-apa sebelumnya. Malah ada adegan tokoh ini, dan kita diharuskan bersedih bersamanya - yang gagal total karena hingga momen penghabisan itu kita hanya tau satu hal tentang dirinya
Leave a Comment