Review Film Pretty Boys
Film yang dibalut dengan unsur romansa komedi ini mengisahkan ambisi dan perjalanan karier dua sahabat bernama Rahmat Maha Esa/Mathew (Desta) dan Anugerah Santoso/Nugi (Vincent Rompies). Keduanya bermimpi menjadi pembawa acara terkenal yang kerap seliweran di layar kaca Indonesia.
Namun, keduanya punya ambisi berbeda dari mimpi tersebut. Jika Rahmat ingin terkenal agar dikelilingi oleh banyak perempuan cantik, Anugerah ingin disandingkan dengan pembawa acara idolanya seperti Koes Hendratmo, Nico Siahaan, Bob Tutupoli, atau Sonny Tulung.
Namun perjuangan mereka tidak mudah. Anugerah ditentang sang Ayah, Jono (Roy Marten), yang menganggap dunia hiburan penuh dengan hal negatif. Kekangan Jono membuat Angerah kabur dari kampung halaman dan mengadu nasib di Jakarta bersama Rahmat.
Setibanya di Jakarta, tantangan hidup yang dihadapi semakin berat. Meski berhasil menggapai cita-cita menjadi pembawa acara terkenal, namun kenyataan tak sesuai dengan yang mereka impikan.
Dari situlah satu per satu konflik yang menguji persahabatan keduanya muncul. Dimulai dari perbedaan ambisi keduanya tentang cita-cita menjadi terkenal, kisah cinta segitiga dengan sosok wanita penyemangat bernama Asty (Danilla Riyadi), hingga konflik sosial lainnya.
Sebagai sebuah film bergenre komedi, film ini cukup berhasil mengundang tawa. Pemeran utama , Vincent dan Desta, yang berlatar belakang pembawa acara komedi, membuat penonton tak menemukan banyak perbedaan karakter tokoh di film tersebut dengan peran yang selama ini mereka jalani.
Candaan ala "Tonight Show", talk show yang mereka bintangi di televisi, kerap muncul seperti tak asing di kuping penonton. Penempatannya diatur dengan tepat dan jarang sekali meleset dari alur cerita film.
Alur cerita disusun dengan rapi. Dimulai dari tujuan hidup kedua pemeran utama, bagaimana keduanya melalui proses-proses yang ada, konflik, hingga solusi dan penyelesaiannya dipaparkan secara pas. Semuanya mengalir secara teratur, tanpa ada lompatan cerita yang membuat bingung penonton.
Tak sekadar isi dan penyajian cerita saja yang tertib, tata cahaya juga disajikan dengan apik. Komposisi angle kamera juga ditampilkan secara beragam.
Salah satu yang mencolok terjadi pada adegan Anugerah, Rahmat, dan Bos CCTV saat berada di dalam mobil. Di dalam mobil yang sempit, kamera diletakkan di luar mobil di bagian samping, dan dasbor, sehingga penontot bisa mengobservasi apa yang sedang terjadi.
Semua itu memberi kesan kreatif pada film ini.
Soundtrack film juga menyuguhkan nada-nada yang enak di telinga. Film berdurasi sekitar 100 menit ini melibatkan banyak musisi indie seperti Nadin Amizah, Danilla Riyadi, White Shoes & The Couples Company, Ardito Pramono, dan NAIF.
Akting para pemain baru seperti Onadio Leonardo dan Danilla Riyadi terbilang berhasil. Danilla tampil mulus memerankan tokoh Asty yang genit dan nakal. Sosok sangar Onadio juga cukup menjiwai dalam memerankan karakter Rony yang kemayu.
Sayang, misi utama mengangkat realitas industri pertelevisian Tanah Air justru kurang tereksplor. Boroknya industri pertelevisian memang diperlihatkan. Mulai dari obsesi terkenal di layar kaca yang membuat siapapun rela menjadi apa saja, paksaan menjalankan peran yang tidak diinginkan demi menaikkan rating program, menyewa penonton bayaran namun telat membayar honornya, sindiran terhadap acara-acara TV yang kerap membuka aib, hingga buta materi yang membuat artis maupun manager harus terlilit hutang.
Akan tetapi, kritik-kritik terhadap persoalan itu tidak dilakukan secara tajam dan hanya disajikan seadanya. Penonton jadi lebih fokus terhadap drama hidup persahabatan dan percintaan kedua pemeran utama, ketimbang kritik sosial yang ingin disampaikan. Dengan demikian, film ini hanya menyajikan satir sosial biasa.
Penutup konflik pun terasa disajikan terburu-buru. Hal ini tampak pada adegan Roni yang menghilang setelah rating program 'Kembang Gula' jeblok. Roni sempat menghilang, hingga dikabarkan sudah dibekuk polisi akibat ulah curangnya. Entah apa alasannya, namun adegan yang menjelaskan alasan penangkapan Roni diceritakan singkat sekadar dari siaran berita televisi nasional.
Kita semua sudah tahu, pemeran utama di film ini adalah Desta dan Vincent. Kita semua juga sudah akrab dengan candaan-candaan mereka. Bisa dibilang garing tapi tetap lucu. Namun, inilah komedian. Mereka melakukan sesuatu yang membuat penonton tertawa lepas terbahak-bahak.
Namun, film Pretty Boys punya banyak keunggulan lain dari sekadar cerita komedi. Beberapa ulasan atau review film Pretty Boys dari penonton lain menyebutkan warna-warna yang menarik. Namun, BookMyShow memilih bagaimana pengaturan cahaya dan komposisi kamera yang apik dari film ini. Nyaris semua film ini ditata dengan pencahayaan dan komposisi yang sudah sangat-sangat matang.
Tompi sebagai sutradara tahu betul bagaimana menampilkan sebuah film komedi dengan kemasan cahaya dan komposisi yang menarik. Jika kamu mengikuti akun media sosial Tompi dimana ia menjadi seorang ‘fotografer’ pasti tahu betul tentang hal ini.
Beberapa nama yang bekerjasama dengan Tompi pun tahu betul apa yang ingin ditampilkan secara visual. Sisanya, warna-warna yang kemudian disatukan menjadi cahaya dan komposisi menjadikan film Pretty Boys dikemas dengan visual yang sangat cantik.
Tak hanya menjual komedi dari Desta dan Vincent, namun secara keseluruhan film ini nyaman ditonton secara visual. Kudos untuk Tompi. Bukan tidak mungkin, dengan naskah yang tepat dalam beberapa tahun ke depan, Tompi bisa menjadi salah satu orang calon sutradara sukses di Indonesia. Ah, satu lagi, cahaya dan komposisi ini mungkin akan memengaruhi dan memberikan inspirasi beberapa feed Instagram kamu. Tentu saja setelah menonton film Pretty Boys.
Premis film Pretty Boys terlalu sederhana untuk diikuti. Mungkin itu tujuannya, membuat penonton menikmatinya tanpa harus berpikir berat. Namun, tetap saja, karena kemasan komedi dari pemeran utamanya film ini jadi lucu. Jempol untuk Imam Darto yang jadi penulis naskah dan bagaimana kemampuan Desta dan Vincent dalam mengolah komedi di sebuah layar lebar. Naskah film ini ditatap dengan rapi, tanpa alur yang meloncat-loncat.
Semuanya dibuat mengalir begitu saja. Seakan-akan ini bukanlah film, namun panggung khusus untuk Desta dan Vincent di luar pekerjaan mereka sebagai pembawa acara talkshow atau menjadi MC, penyiar radio hingga menjadi anak band.
Koneksi kuat antara Desta dan Vincent menyederhanalan jokes-jokes mereka didominasi dengan tebak-tebakkan mereka yang sebenarnya garing dan menggelikan. Namun, tetap saja lucu. Hampir satu studio bioskop tak berhenti tertawa menyaksikan ‘kejanggalan-kejanggalan’ Desta dan Vincent di sepanjang film.
Sesekali Desta dengan apik menggabungkan gaya lawakannya dengan lawakan ala srimulat. Garing? Mungkin, namun penonton tetap tertawa menyaksikannya. Pure komedian. Beberapa plot yang serius menunjukkan konflik dan poin dari cerita pun dikemas dengan gaya santai. Gestur-gestur Desta dan Vincent yang memang sudah terlihat seperti komedian menyajikan realita sesaknya dunia hiburan dan pertelevisian yang sebenarnya tidak terlihat baik-baik saja. Namun, tetap saja lucu, lucu dan lucu.
Beberapa realita dunia hiburan yang diselipkan pun terpapar dengan jelas. Seolah menjawab kegelisahan masyarakat yang melihat dunia hiburan terlihat ‘baik-baik’ saja. Realita anak kampung dan permasalahan mereka hidup di Jakarta pun menjadi terlihat santai. Semuanya dikemas dengan baik. Pretty Boys adalah film komedi yang benar-benar menyegarkan.
Meskipun begitu di bagian adegan Vincent yang menangis, justru menjadi titik lemah film ini. Tetap saja, karena ini adalah film komedi. Melihat Vincent menangis atau Desta menyesal, malah terlihat lucu. Sekali lagi, ini film komedi yang santai.
Leave a Comment