Model Pembelajaran
2.1 Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Didang dalam ( Rahmi, 2011:1) model Pembelajaran merupakan sebagai suatu desain yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa. Menurut Dahlan Model pembelajaran adalah rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pengajaran dan memberi petunjuk pada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya. Tiap model mengajar yang dipilih haruslah mengungkapkan berbagai realitas yang sesuai dengan situasi kelas dan macam pandangan hidup, yang dihasilkan dari kerjasama guru dan murid . Secara umumnya, model pembelajaran adalah cara atau teknik penyajian sistematis yang digunakan oleh guru dalam mengorganisasikan pengalaman proses pembelajaran agar tercapai tujuan dari sebuah pembelajaran. Jadi dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah serangkaian kegiatan pembelajaran yang secara khas disajikan oleh guru guna menciptakan iklim belajar yang lebih kondusif dan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat divisualisasikan sebagai berikut :
2.2 Ciri-ciri Model Pembelajaran
Model pembelajaran pada umumnya sering diterapakan oleh pendidik ataupun calon pendidik dalam melaksanakan tahap penyelesaian tugas akhir. Pendidik ataupun calon pendidik secara serta merta mereka menerapkan suatu Model Pembelajaran tanpa mengetahui latar belakang atau arti dari Model Pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu,pendidik atau calon pendidik sebaiknya mengenali terlebih dahulu ciri-ciri Model pembelajaran itu.
Ismail (2003) menjelaskan istilah Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu yaitu :
a) Rasional Teoritik yang logis disusun oleh perancangnya
b) Tujuan Pembelajaran yang akan dicapai
c) Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil
d) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
2.3 Jenis-jenis Model Pembelajaran
Sugiyanto (2008) mengemukakan bahwa ada banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran tersebut antara lain terdiri dari :
1) Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran menggunakan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama, saling membantu dalam tugas – tugas pembelajaran, dan menekankan pada bantuan antar anggota kelompok.
Prinsip – prinsip dalam model pembelajaran kooperatif yaitu active learning, belajar bekerjasama, pembelajaran partisipatorik dan pembelajaran yang menyenangkan. Kelebihan pembelajaran kooperatif dilihat dari aspek siswa, adalah memberi peluang kepada siswa agar mengemukakan dan membahas suatu pandangan, pengalaman, yang diperoleh siswa belajar secara bekerja sama dalam merumuskan ke arah satu pandangan kelompok (Cilibert-Macmilan, 1993). Dengan melaksanakan model pembelajaran kooperatif. siswa memungkinkan dapat meraih keberhasilan dalam belajar, di samping itu juga bisa melatih siswa untuk memiliki keterampilan, baik keterampilan berpikir (thinking skill) maupun keterampilan sosial (social skill) seperti keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima saran dan masukan dari orang lain, bekerjasama, rasa setia kawan, dan mengurangi timbulnya perilaku yang menyimpang dalam kehidupan kelas (Stahl 1994). Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. Siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran namun bisa juga berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya. Selanjutnya menurut Sharan (1990), siswa yang belajar dengan mengunakan metode pembelajaran koperatif akan memiliki motivasi yang tinggi karena didorong dan didukung dari rekan sebaya. Pembelajaran kooperatif juga menghasilkan peningkatan kemampuan akademik, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, membentuk hubungan persahabatan, menimba berbagai informasi, belajar menggunakan sopan-santun, rneningkatkan motivasi siswa memperbaiki sikap terhadap sekolah dan belajar mengurangi tingkah laku yang kurang baik, serta membantu siswa dalam menghargai pokok pikran orang lain (Johnson, 1993).
Stahl et.al (1994), mengemukakan bahwa melalui model cooperative learning siswa dapat memperoleh pengetahuan, kecakapan sebagai pertimbangan untuk berpikir dan menentukan serta berbuat dan berpartisipasi sosial. Selanjutnya Zaltman et.al ( 1972) mengemukakan bahwa siswa yang bersama-sama bekerja dalam kelompok akan menimbulkan persahabatan yang akrab, yang terbentuk dikalangan siswa. ternyara sangat berpengaruh pada tingkah laku atau kegiatan masing-masing secara individual Kerjasama antar siswa dalam kegiatan belajar menurut Menurut Santos (1983) dapat memberikan berbagai pengalaman.
Mereka lebih banyak mendapatkan kesempatan berbicara, inisiatif, menentukan pilihan dan secara umum mengembangkan kebiasaan yang baik Selanjutnya Jarolimek & Parker (1993) mengarakan kelebihan yang diperoleh dalam pembelajaran ini adalah sebagai berikut : 1) Saling ketergantungan yang positif; 2). Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu; 3) Siswa dilibatkan daiam perencanaan dan pengelolaan kelas; 4) Suasana kelas yang rileks dan menyenanakan; 5 Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan guru; dan 6) Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan. (2) Kekurangan Cooperative Learning.
Kekurangan model pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut: 1) Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikran dan waktu; 2) Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai; 3) Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas. Sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan; 4) Saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasip..Faktor dari luar erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah yaitu padamya kurikulum pembelajaran sejarah, selain itu pelaksanaan tes yang terpusat seperti UN/UNAS sehingga kegiatan belajar mengajar di kelas cenderung dipersiapkan untuk keberhasilan perolehan UN/UNAS.
Dalam pembelajaran kooperatif di Sekolah Dasar, pengelolaan di kelas diarahkan kepada tiga hal penting yaitu pengelompokkan, semangat cooperative learning dan penataan ruang kelas. Tujuan utama pengelolaan kelas pembelajaran kooperatif adalah membantu siswa dalam berinteraksi dan bekerjasama dengan siswa lain.
2) Model Pembelajaran Konstektual
Model pembelajaran konstektual merupakan konsep belajar yang menghubungkan antara materi yang dijabarkan oleh guru dengan situasi nyata siswa (lingkungan) dan mendorong siswa membuat hubungan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya di dalam masyarakat/lingkungan. Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk memecahkan maslah dalam kehdupan nyata, mengalami sendiri dan mengaplikasikan yang dimilikinya kedalam kehidupan sehari – hari.
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif – nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
Ada tujuh indikator pembelajaran kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara).
Karakteristik model pembelajaran kontekstual yaitu kerjasama, gembira, siswa aktif, menyenangkan tidak membosankan, siswa kritis dan guru kreatif. Oleh karena itu, model pembelajaran kontekstual tidak hanya menuntut siswa untuk aktif dan kritis, seorang guru juga harus menjadi kreatif dalam memberrikan mata pelajaran dan menggunakan media yang menarik agar siswa tidak jenuh dalam proses pembelajaran.
Komponen model pembelajaran kontekstual di Sekolah Dasar menerapkan lima komponen utama, yaitu :
a) Kontruktivisme
b) Menemukan (Inquiry)
c) Bertanya ( Questioning)
d) Masyarakat Belajar (Learning Community)
e) Pemodelan (Modeling)
Keunggulan dari model pembelajaran kontekstual adalah mengutamakan hal nyata, berpusat pada siswa aktif, kreatif, kritis dan pengetahuannya merupakan belajar. Kelemahan dari model ini bagi guru kelas, guru harus memiliki kemampuan untuk memahami secara mendalam tentang konseppembelajaran kontekstual itu sendiri, potensi siswa dan sarana/mediayang semua tidk tersedia di Sekolah Dasar.
3) Model pembelajaran Kontruktivisme
Pembelajaran kontruktivisme adalah suatu model pembelajaran dimana siswa membangun pengetahuan atau konep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Mengajar menurut kontruktivisme bukan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Peranan guru dalam kontruktivisme ini adalah sebagai mediator dan fasiitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dngan baik.
Karakteristik model pembelajaran kontruktivisme yaitu pengetahuan awal siswa sangat berperan dlam pengalaman belajar mereka,mengutamakan inisiatif siswa, bertanya dan berdialog dengan guru, proses dan hasil pembelajaran sama penting dan mengutamakan pembelajaran kooperatif.
Strategi pembelajaran kontruktivisme di Sekolah Dasar sebagai berikut :
a) Orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik, kegiatan pembelajaran diarahkan untuk mengembangkan sikap dan minat belajar serta potensi dari siswa.
b) Membuat pembelajaran bermakna bagi siswa dengan memilih topik – topik masalah yang akan dibahas dalam pembelajaran harus bersifat menantang dan menarik bagi siswa agar siswa mengapresiasi terhadap materi pembelajaran.
c) Metode mengajar mampu melibatkan siswa untuk aktif dalam belajar.
d) Memprioritaskan kesempatan siswa untuk bermain dan bekerjasama.
e) Bahan – bahan dalam pembelajaran sebaiknya digunakan bahan yang konkrit.
f) Menilai hasil belajar siswa secara komperehensif.
g) Guru berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran.
Pembelajaran dengan Model kontruktivisme memiliki keunggulan antara lain:
1. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
2. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa. Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
3. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar. Murid yang belajar secara konstruktivisme diberi peluang untuk membina sendiri kefahaman mereka tentang sesuatu. Ini menjadikan mereka lebih yakin kepada diri sendiri dan berani menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4. Pembelajaran Konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka. Kefahaman murid tentang sesuatu konsep dan idea lebih jelas apabila mereka terlibat secara langsung dalam pembinaan pengetahuan baru. Seorang murid yang memahami apa yang dipelajari akan dapat mengaplikasikan pengetahuan yang baru dalam kehidupan dan situasi baru.
5. Pembelajaran Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
6. Murid yang berkemahiran sosial boleh bekerjasama dengan orang lain dalam menghadapi sebarang cabaran dan masalah. Kemahiran sosial ini diperoleh apabila murid berinteraksi dengan rakan-rakan dan guru dalam membina pengetahuan mereka.
Kelemahan Model Konstruktivisme
Model pembelajaran konstruktivisme memiliki beberapa kendala pada pengaplikasiannya. Ada beberapa kendala yang mungkin timbul dalam penerapan teori belajar dengan pendekatan konstruktivis yaitu:
1. Guru merasa kesulitan memberikan contoh-contoh konkrit dan realistik dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini guru harus memiliki kreatifitas yang tinggi dalam menyampaikan materi. Apalagi dalam hal ini guru sejarah kurang bisa membawa nilai-nilai masa lalu untuk diterapkan dalam masa sekarang.
2. Guru tidak ingin berubah dalam menggunakan model pembelajaran. Guru merasa nyaman dengan model pembelajaran tradisional, yaitu model ceramah. Pandangan guru terhadap siswa diibaratkan siswa seperti bejana yang masih kosong perlu diisi oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki guru. Guru merasa dengan menggunakan model tradisional saja bisa mendapatkann nilai yanng tinggi, sehingga tidak perlu menggunakan model pembelajaran lainnya.
3. Guru berpikir bahwa pembelajaran konstruktivisme memerlukan lebih banyak waktu. Proses pembelajaran konstruktivisme ingin membuat siswa menjadi aktif, hal in terkadang juga terkendala dengan kemampuan kognitif siswa. Beban mengajar guru sudah terlalu banyak.
4. Belum adanya alat-alat laboratorium yang cukup memadai untuk jumlah siswa yang besar. Kebanyakan sekolahan masih terbatas dalam menyediakan fasilitas guna mendukung pembelajaran konstruktivisme. Sarana dan prasarana kurang mendukug pembelajaran model konstruktivisme.
5. Terlalu banyak bidang studi yang harus dipelajari dalam kurikulum. Masih ada banyak guru yang mengajar diluar bidang studi sesuai kualifikasinya. Sehingga penguasaan materi oleh guru kurang memadai.
Menurut Didang dalam ( Rahmi, 2011:1) model Pembelajaran merupakan sebagai suatu desain yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa. Menurut Dahlan Model pembelajaran adalah rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pengajaran dan memberi petunjuk pada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya. Tiap model mengajar yang dipilih haruslah mengungkapkan berbagai realitas yang sesuai dengan situasi kelas dan macam pandangan hidup, yang dihasilkan dari kerjasama guru dan murid . Secara umumnya, model pembelajaran adalah cara atau teknik penyajian sistematis yang digunakan oleh guru dalam mengorganisasikan pengalaman proses pembelajaran agar tercapai tujuan dari sebuah pembelajaran. Jadi dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah serangkaian kegiatan pembelajaran yang secara khas disajikan oleh guru guna menciptakan iklim belajar yang lebih kondusif dan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat divisualisasikan sebagai berikut :
2.2 Ciri-ciri Model Pembelajaran
Model pembelajaran pada umumnya sering diterapakan oleh pendidik ataupun calon pendidik dalam melaksanakan tahap penyelesaian tugas akhir. Pendidik ataupun calon pendidik secara serta merta mereka menerapkan suatu Model Pembelajaran tanpa mengetahui latar belakang atau arti dari Model Pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu,pendidik atau calon pendidik sebaiknya mengenali terlebih dahulu ciri-ciri Model pembelajaran itu.
Ismail (2003) menjelaskan istilah Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu yaitu :
a) Rasional Teoritik yang logis disusun oleh perancangnya
b) Tujuan Pembelajaran yang akan dicapai
c) Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil
d) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
2.3 Jenis-jenis Model Pembelajaran
Sugiyanto (2008) mengemukakan bahwa ada banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran tersebut antara lain terdiri dari :
1) Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran menggunakan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama, saling membantu dalam tugas – tugas pembelajaran, dan menekankan pada bantuan antar anggota kelompok.
Prinsip – prinsip dalam model pembelajaran kooperatif yaitu active learning, belajar bekerjasama, pembelajaran partisipatorik dan pembelajaran yang menyenangkan. Kelebihan pembelajaran kooperatif dilihat dari aspek siswa, adalah memberi peluang kepada siswa agar mengemukakan dan membahas suatu pandangan, pengalaman, yang diperoleh siswa belajar secara bekerja sama dalam merumuskan ke arah satu pandangan kelompok (Cilibert-Macmilan, 1993). Dengan melaksanakan model pembelajaran kooperatif. siswa memungkinkan dapat meraih keberhasilan dalam belajar, di samping itu juga bisa melatih siswa untuk memiliki keterampilan, baik keterampilan berpikir (thinking skill) maupun keterampilan sosial (social skill) seperti keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima saran dan masukan dari orang lain, bekerjasama, rasa setia kawan, dan mengurangi timbulnya perilaku yang menyimpang dalam kehidupan kelas (Stahl 1994). Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. Siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran namun bisa juga berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya. Selanjutnya menurut Sharan (1990), siswa yang belajar dengan mengunakan metode pembelajaran koperatif akan memiliki motivasi yang tinggi karena didorong dan didukung dari rekan sebaya. Pembelajaran kooperatif juga menghasilkan peningkatan kemampuan akademik, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, membentuk hubungan persahabatan, menimba berbagai informasi, belajar menggunakan sopan-santun, rneningkatkan motivasi siswa memperbaiki sikap terhadap sekolah dan belajar mengurangi tingkah laku yang kurang baik, serta membantu siswa dalam menghargai pokok pikran orang lain (Johnson, 1993).
Stahl et.al (1994), mengemukakan bahwa melalui model cooperative learning siswa dapat memperoleh pengetahuan, kecakapan sebagai pertimbangan untuk berpikir dan menentukan serta berbuat dan berpartisipasi sosial. Selanjutnya Zaltman et.al ( 1972) mengemukakan bahwa siswa yang bersama-sama bekerja dalam kelompok akan menimbulkan persahabatan yang akrab, yang terbentuk dikalangan siswa. ternyara sangat berpengaruh pada tingkah laku atau kegiatan masing-masing secara individual Kerjasama antar siswa dalam kegiatan belajar menurut Menurut Santos (1983) dapat memberikan berbagai pengalaman.
Mereka lebih banyak mendapatkan kesempatan berbicara, inisiatif, menentukan pilihan dan secara umum mengembangkan kebiasaan yang baik Selanjutnya Jarolimek & Parker (1993) mengarakan kelebihan yang diperoleh dalam pembelajaran ini adalah sebagai berikut : 1) Saling ketergantungan yang positif; 2). Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu; 3) Siswa dilibatkan daiam perencanaan dan pengelolaan kelas; 4) Suasana kelas yang rileks dan menyenanakan; 5 Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan guru; dan 6) Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan. (2) Kekurangan Cooperative Learning.
Kekurangan model pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut: 1) Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikran dan waktu; 2) Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai; 3) Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas. Sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan; 4) Saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasip..Faktor dari luar erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah yaitu padamya kurikulum pembelajaran sejarah, selain itu pelaksanaan tes yang terpusat seperti UN/UNAS sehingga kegiatan belajar mengajar di kelas cenderung dipersiapkan untuk keberhasilan perolehan UN/UNAS.
Dalam pembelajaran kooperatif di Sekolah Dasar, pengelolaan di kelas diarahkan kepada tiga hal penting yaitu pengelompokkan, semangat cooperative learning dan penataan ruang kelas. Tujuan utama pengelolaan kelas pembelajaran kooperatif adalah membantu siswa dalam berinteraksi dan bekerjasama dengan siswa lain.
2) Model Pembelajaran Konstektual
Model pembelajaran konstektual merupakan konsep belajar yang menghubungkan antara materi yang dijabarkan oleh guru dengan situasi nyata siswa (lingkungan) dan mendorong siswa membuat hubungan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya di dalam masyarakat/lingkungan. Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk memecahkan maslah dalam kehdupan nyata, mengalami sendiri dan mengaplikasikan yang dimilikinya kedalam kehidupan sehari – hari.
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif – nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
Ada tujuh indikator pembelajaran kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara).
Karakteristik model pembelajaran kontekstual yaitu kerjasama, gembira, siswa aktif, menyenangkan tidak membosankan, siswa kritis dan guru kreatif. Oleh karena itu, model pembelajaran kontekstual tidak hanya menuntut siswa untuk aktif dan kritis, seorang guru juga harus menjadi kreatif dalam memberrikan mata pelajaran dan menggunakan media yang menarik agar siswa tidak jenuh dalam proses pembelajaran.
Komponen model pembelajaran kontekstual di Sekolah Dasar menerapkan lima komponen utama, yaitu :
a) Kontruktivisme
b) Menemukan (Inquiry)
c) Bertanya ( Questioning)
d) Masyarakat Belajar (Learning Community)
e) Pemodelan (Modeling)
Keunggulan dari model pembelajaran kontekstual adalah mengutamakan hal nyata, berpusat pada siswa aktif, kreatif, kritis dan pengetahuannya merupakan belajar. Kelemahan dari model ini bagi guru kelas, guru harus memiliki kemampuan untuk memahami secara mendalam tentang konseppembelajaran kontekstual itu sendiri, potensi siswa dan sarana/mediayang semua tidk tersedia di Sekolah Dasar.
3) Model pembelajaran Kontruktivisme
Pembelajaran kontruktivisme adalah suatu model pembelajaran dimana siswa membangun pengetahuan atau konep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Mengajar menurut kontruktivisme bukan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Peranan guru dalam kontruktivisme ini adalah sebagai mediator dan fasiitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dngan baik.
Karakteristik model pembelajaran kontruktivisme yaitu pengetahuan awal siswa sangat berperan dlam pengalaman belajar mereka,mengutamakan inisiatif siswa, bertanya dan berdialog dengan guru, proses dan hasil pembelajaran sama penting dan mengutamakan pembelajaran kooperatif.
Strategi pembelajaran kontruktivisme di Sekolah Dasar sebagai berikut :
a) Orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik, kegiatan pembelajaran diarahkan untuk mengembangkan sikap dan minat belajar serta potensi dari siswa.
b) Membuat pembelajaran bermakna bagi siswa dengan memilih topik – topik masalah yang akan dibahas dalam pembelajaran harus bersifat menantang dan menarik bagi siswa agar siswa mengapresiasi terhadap materi pembelajaran.
c) Metode mengajar mampu melibatkan siswa untuk aktif dalam belajar.
d) Memprioritaskan kesempatan siswa untuk bermain dan bekerjasama.
e) Bahan – bahan dalam pembelajaran sebaiknya digunakan bahan yang konkrit.
f) Menilai hasil belajar siswa secara komperehensif.
g) Guru berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran.
Pembelajaran dengan Model kontruktivisme memiliki keunggulan antara lain:
1. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
2. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa. Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
3. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar. Murid yang belajar secara konstruktivisme diberi peluang untuk membina sendiri kefahaman mereka tentang sesuatu. Ini menjadikan mereka lebih yakin kepada diri sendiri dan berani menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4. Pembelajaran Konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka. Kefahaman murid tentang sesuatu konsep dan idea lebih jelas apabila mereka terlibat secara langsung dalam pembinaan pengetahuan baru. Seorang murid yang memahami apa yang dipelajari akan dapat mengaplikasikan pengetahuan yang baru dalam kehidupan dan situasi baru.
5. Pembelajaran Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
6. Murid yang berkemahiran sosial boleh bekerjasama dengan orang lain dalam menghadapi sebarang cabaran dan masalah. Kemahiran sosial ini diperoleh apabila murid berinteraksi dengan rakan-rakan dan guru dalam membina pengetahuan mereka.
Kelemahan Model Konstruktivisme
Model pembelajaran konstruktivisme memiliki beberapa kendala pada pengaplikasiannya. Ada beberapa kendala yang mungkin timbul dalam penerapan teori belajar dengan pendekatan konstruktivis yaitu:
1. Guru merasa kesulitan memberikan contoh-contoh konkrit dan realistik dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini guru harus memiliki kreatifitas yang tinggi dalam menyampaikan materi. Apalagi dalam hal ini guru sejarah kurang bisa membawa nilai-nilai masa lalu untuk diterapkan dalam masa sekarang.
2. Guru tidak ingin berubah dalam menggunakan model pembelajaran. Guru merasa nyaman dengan model pembelajaran tradisional, yaitu model ceramah. Pandangan guru terhadap siswa diibaratkan siswa seperti bejana yang masih kosong perlu diisi oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki guru. Guru merasa dengan menggunakan model tradisional saja bisa mendapatkann nilai yanng tinggi, sehingga tidak perlu menggunakan model pembelajaran lainnya.
3. Guru berpikir bahwa pembelajaran konstruktivisme memerlukan lebih banyak waktu. Proses pembelajaran konstruktivisme ingin membuat siswa menjadi aktif, hal in terkadang juga terkendala dengan kemampuan kognitif siswa. Beban mengajar guru sudah terlalu banyak.
4. Belum adanya alat-alat laboratorium yang cukup memadai untuk jumlah siswa yang besar. Kebanyakan sekolahan masih terbatas dalam menyediakan fasilitas guna mendukung pembelajaran konstruktivisme. Sarana dan prasarana kurang mendukug pembelajaran model konstruktivisme.
5. Terlalu banyak bidang studi yang harus dipelajari dalam kurikulum. Masih ada banyak guru yang mengajar diluar bidang studi sesuai kualifikasinya. Sehingga penguasaan materi oleh guru kurang memadai.
Leave a Comment