Tujuan, Batas, dan Kemungkinan Pendidikan


A. Tujuan Pendidikan
    Pedagogik adalah ilmu mendidik anak, sebagai pendidikan dalam arti terbatas, merupakan bimbingan yang diberikan orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapat kedewasaannya. Jadi tujuan pendidikan secara khusus adalah untuk mendewasakan seorang anak yang belum dewasa, yang berarti bahwa anak harus dapat menentukan diri sendiri dan bertanggung jawab sendiri.
    Menurut Langeveld (1980) mengemuakan ada beberapa jenis tujuan pendidikan, yaitu:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum merupakan sesuatu yang akhirnya akan dicapai oleh pendidikan. Semua aktivitas pendidikan harus diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu kedewasaan.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus diartikan sebagai suatu pengkhususan dari tujuan umum. Seperti disebutkan bahwa tujuan umum edewasaan adalah universal. Manusia dewasa yang universal itu diberi bentuk yang nyata berhubung dengan kebangsaan, kebudayaan, agama, sistem politik, dsb.  Faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan tujuan khusus yaitu Jenis Kelamin anak didik, pembawaan anak didik, usia/ taraf perkembangan anak didik, tugas lembaga yang mendidik contohnya keluarga, falsafah negara dan kesanggupan pendidik.
3. Tujuan  insidental
Tujuan Insidental yaitu tujuan menyangkut suatu peristiwa khusus. Tujuan ini dikatakan sukar mencari hubungan dengan tujuan umum, namun sebenarnya tujuan insidental tersebut terarah kepada pencapaian tujuan umum.
4. Tujuan Sementara
Tujuan sementara merupakan tujuan yang terdapat pada langkah-langkah pencapaian tujuan umum. Tujuan Sementara memberi kesempatan kepada pendidik untuk menguji nilai yang ingin dicapainya dengan perbuatan nyata.
5. Tujuan tak Lengkap
Tujuan Tak Lengkap yaitu tujuan yang hanya berkenaan dengan salah satu aspek kemampuan.
6. Tujuan intermedier
Merupakan tujuan pendidikan yang apabila dapat dicapai menjadi alat atau menjadi jembatan untuk mencapai tujuan pendidikan lainnya yang lebih luas atau lebih tinggi tingkatannya.
Adapun manfaat dari tujuan pendidikan adalah sebagai berikut
1. Tujuan pendidikan sebagai arah pendidikan
Tujuan itu menunjukkan arah dari suatu usaha, sedangkan arah tad imenunjukkan jalan yang harus ditempuh dari situasi sekarang ke situasi berikutnya. Dalam meninjau tujuan sebagai arah ini, tidak ditekankan pada masalah ke jurusan mana garis yang telah memberi arah pada usaha tersebut,tetapi ditekankan kepada soal garis manakah yang harus kita ambil dalam melaksanakan usaha tersebut, atau garis manakah yang harus ditempuh dalam keadaan “sekarang” dan “disini”. Misalnya guru yang bertujuan membentuk anak didiknya menjadi manusia yang cerdas, maka arah dari usahanya ialah menciptakan situasi belajar yang dapat mengembangkan kecerdasan.
2. Tujuan Pendidikan sebagai Tujuan Akhir
Tujuan di samping dapat dipandang dari segi titik tolaknya, juga dapa tdipandang dari segi titik akhir yang akan dicapainya. Di sini perhatian pada hal yang akan dicapai atau dituju  terletak pada jangkauan masa datang, dan bukan pada situasi sekarang atau pada jalan yang harus diambil dalam situasi tadi. Misalnya seorang pendidik yang bertujuan agar anak didiknya menjadi manusia susila, maka tekanannya di sini ialah gambaran tentang pribadi susila yangmenjadi idamannya tadi.
3. Tujuan Pendidikan sebagai titik pangkal
Dalam hal ini tujuan pendidikan yang satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
4. Memberi Nilai pada Usaha yang sudah dilakukan
Dalam konteks usaha-usaha yang dilakukan didapati tujuannya yang lebih luhur dibanding yang lainnya, semua ini terlihat berdasarkan nilai-nilai tertentu.
B. Batas-Batas Pendidikan
    Dalam pelaksanaannya, pendidikan pasti mempunyai batas-batas yang mempengaruhinya diantaranya tujuan pendidikan, anak didik, pendidik, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan.
1. Pendidik
    Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab membimbing anak untuk mencapai kedewasaan. Orang tua merupakan pendidik yang tidak dapat digantikan oleh siapa pun, walaupun anak disekolahkan dan dididik oleh seorang guru, bukan berarti seorang guru dapat menggantikan semua tugas orang tuanya. Namun, baik orang tua maupun guru mempunyai peran yang sama yaitu sebagai pendidik.
2. Peserta Didik
    Anak didik adalah sosok manusia sebagai individu/pribadi (manusia seutuhnya). Untuk itu anak didik harus dipandang secara filsofis, atau menerima kehadian kelakuannya, keindividuannya, sebagaimana dia hseharusnya berada (eksistensinya). Karena anak didik diakui “kelakuannya”, maka dalam hal ini pendidik tetap memegang peranan tidak membiarkan tindakan anak didik, m elainkan tetap membantu, memberi pertolongan, melayani sesuai dengan eksistensiya agar menuju perkembangan yang dewasa sesuai dengan norma yang berlaku.
    Pendidikan yang keras dengan menggunakan hukuman badan dapat menjurus kepada pengabaian anak tersebut, sehingga anak nyaris diperlakukan seperti hewan. Begitu juga pendidikan yang memberlakukan dan bertindak terhadap anak didiknya seperti terhadap orang dewasa, atas dasar pandangan bahwa anak itu adalah orang dewasa daam bentuk kecil.
3. Alat Pendidikan
Alat pendidikan merupakan suatu tindakan/perbuatan atau situasi yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan, yaitu kedewasaan. Sebagai contoh, anak diajak/diperintah makan, maka kita baru akan melakukan tindakan pendidikan, kalau tujuan yang dikejar dengan ajakan/perintah tersebut, umpamanya untuk membiasakan si anak turut serta dengan perbuatan bersama yang dilakukan oleh dan dalam rumah tangga itu. Ajakan/perintah tersebut merupakan alat pendidikan.
    Dalam situasi lain mungkin juga bahwa seorang anak diajak/diperintah untuk makan hanya karena orang tua merasa senang dapat makan bersama-sama dengan anaknya, atau karena dianggapnya menyusahkan/melelahkan mereka kalu masih ada anak yang belum makan, atau karena mereka kuatir anak itu akan “kekurangan makan”, kalau ia tidak makan bersama atau sebagainya. Akibat ajakan atau perintah tersebut bisa sama secara insidental, dan lambat laun dapat juga anak itu memiliki kebiasaan yang dikehendaki. Namun ajakan/perintah demikian hanya merupakan faktor pendidikan, bukan alat pendidikan.
Jika suatu situasi diciptakan dengan maksud mempengaruhi secara pedagogis, misalnya dinding rumah/kamar tidur dicat putih bersih untuk membiasakan anak melihat setiap kotoran yang terlekat di dinding atau serta mendidik kebersihan, maka kita memiliki alat pendidikan. Seandainya dinding itu kita cat putih bersih hanya atas pertimbangan estetis (keindahan), maka akibatnya dapat sama dengan yang diuraikan di atas, namun yang kita hadapi dalam hal terakhir bukan alat pendidikan melainkan faktor pendidikan.
Langeveld (1980) mengelompokan lima jenis alat pendidikan, yaitu: 1) perlindungan, 2) kesepahaman, 3) kesamaan arah dalam pikiran dan perbuatan, 4) perasaan bersatu, dan 5) pendidikan karena kepentingan diri sendiri.
a.    Perlindungan
Perlindungan merupakan syarat dasar bagi semua pergaulan, termasuk di dalamnya pergaulan pendidikan. Perlindungan harus datang dari pihak orang dewasa, yang bertindak untuk melindungi anak didik, baik jasmani maupun rohani, sehingga anak merasa terlindungi oleh orang dewasa. Beberapa tindakan atau perbuatan pendidikan yang dapat dilakukan berupa memerintah, membiarkan, menghalangi atau melarang, menciptakan dan memelihara tata tertib.
Orang dewasa (orang tua, guru) menjaga anak, selalu memperhatikannya, anak dilindunginya pada latar jasmaniah, rohaniah, dengan membatasi diri pada perbuatan, kelakuan dan ucapan, dan menjaga anak tersebut agar jangan sampai merugikan dirinya sendiri. Dalam situasi pendidikan bisa muncul alat-alat pendidikan berupa membuat supaya mengalami, membiarkan supaya menyelidiki, menghalangi atau melarang, memerintahkan, menciptakan dan mempertahankan tata tertib dan aturan (misalnya tidur harus pada waktunya, kalau makan apa yang ada dalam piringnya harus dihabiskan, dsb)
b.    Kesepahaman
Kesepahaman timbul karena orang dewasa, baik disadari maupun tidak disadari, akan menjadi contoh (teladan) bagi anak didik, dan sebaliknya pula disadari atau tindak, anak akan mencoba (meniru) perbuatan pendidik, hal ini berarti bahwa anak telah memahami perbuatan pendidik sebagai orang dewasa. Dengan kesepahaman ini terjadilah interaksi pendidikan antara anak dan pendidik, sehingga orang dewasa dan anak dapat berbuat bersama-sama. Dalam hal ini pendidik termasuk guru, tidak hanya menyampaikan (mengajar) kebaikan, melainkan juga harus memberikan teladan. Anak meniru perbuatan pendidik, karena ia berkesempatan untuk ikut berpartisipasi dengan pendidik, yang menjelaskan, menunjukan, dan memberi tugas.
Orang tua atau guru, berbuat bersama-sama dengan anak, atau berbuat di hadapan anak (perbuatan ini dapat ditujukan kepada anak, namun mungkin juga tidak). Dalam situasi pendidikan mungkin akan muncul alat-alat pendidikan seperti: menjadi teladan dengan memperlihatkan atau berbuat sesuatu yang dapat dijadikan contoh bagi anak, menyuruh meniru (perbuatan), memberi kesempatan untuk turut serta atau untuk melihat dalam suatu kegiatan, menjelasakan, menugaskan, melarang, menghambat (supaya jangan terjadi).
c.    Kesamaan Arah dalam Pikiran dan Perbuatan
Kesamaan arah dalam pikiran dan perbuatan dapat berupa pembauran dari pendidik dan penyesuaian dari anak didik. Jadi, kesamaan arah ini terjadi antara pembuatan pendidik dan perbuatan anak didik. Kesamaan arah telah melampaui kesepahaman. Karena dalam hal ini anak didik berbuat atau bertindak sesuai dengan kata hati dan kehendaknya. Anak diikutsertakan dalam kehidupan orang dewasa (pendidik) dengam memberikan kesempatan kepadanya turut bertanggung jawab agar anak-anak makin mau memikul tanggung jawab.  Dalam hal-hal tertentu anak dapat diberikan tanggung jawab penuh.  Anak mengamati berkaitan dengan kepentingannya sendiri.
Dalam hubungan ini perlu diadakan perencanaan bersama, dikemukakan maksud dan tujuan kegiatan, diadakan perjanjian, anak diingatkan pada tanggung jawabnya dan pada janjinya. Dari pihak anak dituntut kedisiplinan pada peraturan dan janjinya.
d.    Perasaan karena Kepentingan Diri Sendiri
Pendidikan karena kepentingan sendiri,  berarti si anak telah menyadari kepentingan dirinya sendiri,  dan ia bertanggung jawab untuk membentuk dirinya sendiri. Pendidik memberikan tanggung jawab penuh kepada anak didik agar ia dapat melaksanakan tugas sebagai hasil pilihannya sendiri. Pendidik mengetahui dan menyadari terhadap kepentingan si anak untuk membentuk diri sendiri, dan anak menuadarinya terhadap kepentingan tersebut.
Memberi kebebasan kepada anak didik merupakan alat pendidikan yang terakhir karena anak didik harus bertanggung jawab, harus berdiri sendiri dan bebas untuk memilih nilai-nilai hidup yang sesuai dengan kata hatinya,  dan di sinilah ia memilih pendidikan dalam taraf penyadarannya.  Jadi alat pendidikan ini diberikan kepada anak pada tahap akhir dari pendidikan,  di mana anak akan mencapai kedewasaannya.
4. Lingkungan Pendidikan
    Lingkungan dalam pengertian umum berarti situasi disekitar kita. Dalam pendidikan, lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada di luar diri anak. Lingkungan tempat mendapatkan pendidik disebut lingkungan pendidikan. Sejak lahir di dunia, anak secara langsung berhadapan dengan lingkungan. Lingkungan di sekitar anak dapat dikelompokkan menjadi lingkungan alam fisik, budaya, sosial dan spiritual.
C. Kemungkinan dan Keharusan Pendidikan
Manusia sejak lahir sangat membutuhkan bantuan orang lain, khususnya kedua orang tuanya. Dapat dibayangkan seandainya anak manusia pada saat lahir dibiarkan begitu saja oleh ibunya, tanpa sentuhan apapun sedikitpun. Dengan mengabaikan kekuasaan Tuhan, kematianlah yang akan menjemputnya pada anak yang ditelantarkan tersebut.
Keharusan mendidik anak telah disebut-sebut, misalnya karena anak pada saat lahir dalam keadaan tidak berdaya, anak tidak langsung dewasa, sehingga anak memerlukan perhatian dan bantuan orang lain. Dengan keterbatasan kemampuan anak menyebabkan ia perlu mendapat pendidikan. Keterbatasan anak dikarenakan, anak lahir dalam keadaan tidak berdaya, dan ia tidak langsung dewasa.
1. Keharusan Pendidikan
a.    Anak Dilahirkan dalam Keadaan Tidak Berdaya
Dilihat dari sudut anak, pendidikan merupakan suatu keharusan. Pada waktu lahir anak manusia belum bisa berbuat apa-apa. Sampai usia tertentu anak masih memerlukan bantuan orang tua. Begitu anak lahir ke dunia, ia memerlukan uluran orang lain (ibu dan ayah) untuk dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya, dan berdiri sendiri, berbeda dengan binatang yang begitu lahir sudah dilengkapi kelengkapan fisiknya dan dapat berbuat sesuatu untuk mempertahankan hidupnya.
Dilihat dari orang tua pendidikan juga merupakan suatu keharusan. Tanpa ada yang memaksa, dengan sendirinya orang tua akan mendidik anaknya. Hal tersebut disebabkan karena adanya rasa kasih sayang dan rasa tanggung jawab dari orang tua terhadap anaknya. Perasaan kasih sayang merupakan fitrah kemanusiaan yang akan timbul dengan sendirinya pada manusia. Rasa tanggung jawab menyebabkan orang tua, bahwa anak itu perlu memperoleh bimbingan agar ia di kemudian hari dapat berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Anak perlu mendapat pendidikan dan orang tua merasa wajib untuk memberikan pendidikan bagi anaknya. Keduanya bertemu dalam kegiatan pendidikan yang berlangsung secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga.
Pendidikan karena dorongan orang tua, yaitu hati nuraninya yang terdalam yang memiliki sifat kodrati untuk mendidik anaknya baik dari segi fisik, sosial, emosi, maupun intelegensinya agar memperoleh keselamatan, kepandaian, memperoleh kebahagiaan hidup yang dicita-citakan, sehingga ada tanggung jawab moral atas hadirnya anak tersebut yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dapat dipelihara, dan dididik dengan sebaik-baiknya.
b.    Manusia Lahir Tidak Langsung Dewasa
Untuk sampai pada kedewasaan yang merupakan tujuan pendidikan dalam arti khusus, memerlukan wazktu lama. Pada manusia primitif mungkin proses pencapaian kedewasaan tersebut akan lebih pendek dibandingkan dengan manusia modern dewasa ini. Pada manusia primitif cukup dengan mencapai kedewasaan secara konvensional, di mana apabila seseorang sudah memiliki keterampilan unuk hidup, khususnya untuk hidup berkeluarga, seperti dapat berburu, dapat bercocok tanam, mengenal nilai-nilai atau norma-norma hidup bermasyarakat, sudah dapat dikatakan dewasa. Dilihat dari segi usia, misalnya usia 12-15 tahun, pada masyarakat primitif sudah dapat melangsungkan hidup berkeluarga. Pada masyarakat modern tuntutan kedewasaan lebih kompleks, sesuai dengan makin kompleksnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga makin kompleksnya sistem nilai.
Manusia merupakan makhluk yang dapat dididik, memungkinkan untuk memperoleh pendidikan. Manusia merupakan makhluk yang harus dididik, karena manusia lahir dalam keadaan tidak berdaya, lahir tidak langsung dewasa.Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan sesamanya.
c.    Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial.Ia tidak akan menjadi manusia seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lainnya. Lain halnya dengan hewan, di mana pun hewan dibesarkan, tetap akan memiliki perilaku hewan. Seekor kucing yang dibesarkan dalam lingkungan anjing akan tetap berperilaku kucing, tidak akan berperilaku anjing, karena setiap jenis hewan sudah dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti dan seragam, yang berbeda antara jenis hewan yang satu dengan jenis hewan lainnya.
Manusia hidup bersama orang lain, tidak sendirian. Mereka menentukan berbagai perjanjian agar hidup bersama itu menguntungkan kedua belah pihak.Menguntungkan bagi masyarakat, dan juga menguntungkan bagi kehidupan individu masing-masing. Manusia sebagai makhluk sosial, disamping memiliki dorongan untuk hidup secara individual, ia juga menunjukan gejala-gejala sosial. Ia senang hidup bersama dengan orang lain.
Seorang manusia perlu mencapai suatu taraf kedewasaan tertentu agar ia dapat hidup bersama dengan orang lain. Kalau tidak, akan berbuat di luar perjanjian (kebiasaan, adat, aturan) yang berlaku. Hal itu berarti bahwa ia tidak dewasa secara sosial. Walaupun secara biologis ia sudah matang, tetapi untuk hidup bersama dengan orang lain, ia perlu mendapatkan pendidikan.

d.    Manusia sebagai Makhluk Individu yang Berdiri Sendiri
Pengertian makhluk sosial tidak berarti bahwa individu (perorangan) tiadak ada. Pengertian sosial harus diartikan bahwa manusia hidup bersama dalam kepribadian sendiri-sendiri.Ia masih tetap berdiri sendiri, namun bersama-sama dengan orang lain. Pergaulan hidup, adalah hidup antara pribadi-pribadi (individu-individu) satu sama lain. Tidak berarti bahwa individu itu luluh menyatu dengan yang lain, seperti halnya boneka-boneka yang hanya bergerak dengan pola yang sama. Manusia memang hidup bersama, namun tetap secara individu dan individu.
Dengan adanya pribadi-pribadi orang perorangan yang berbeda, karena itulah pendidikan diperlukan, karena setiap orang yang bersifat individu itu perlu belajar hidup dengan individu lannya.Pendidikan tidak mendidik agar setiap orang (individu) dapat berperilaku sebagai individu bersama dengan individu lainnya.
e.    Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Bertanggung Jawab
Seorang manusia mampu atau tepatnya harus mampu bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Setiap tindakan manusia membawa akibat, dan sering kali akibat itu menimpa orang lain, karena kita hidup bersama-sama dengan orang lain.
Bertanggung jawab adalah sejajar dengan manusia sebagai makhluk sosial. Kalau sikap bertanggung jawab tidak dimiliki setiap oleh setiap insan, maka kehidupan akan kacau, kaerena manusia akan bertindak semaunya, setiap orang hanya akan menuruti kehendaknya sendiri, dan tidak akan bertahan hidup lama.
Pendidikan itu sendiri merupakan tindakan yang bertanggung jawab, yaitu bertanggung jawab terhadap generasi manusia selanjutnya, karena kita tahu bahwa setiap anak membutuhkan bantuan. Kalau tidak bertanggung jawab terhadap generasai berikutnya, mereka akan terlantar. Disinilah pendidikan bertanggung jawab bagi kelanjutan kehidupan dan hidup generasi berikutnya.
Untuk melaksanakan pendidikan diperlukan adanya kesediaan anak didik untuk menerima pengaruh. Pada saat anak masih kecil kesediaan ini belum ada, baru timbul kemudian kalau anak itu merasa dirinya tidak mampu melakukan sesuatu dan perlu bantuan orang lain, sehingga ia perlu belajar dari orang lain. Selama anak belum mau menerima pengaruh orang lain diluar dirinya, tidak akan muncul ketaatan terhadap pihak lain yang berusaha mempengaruhinya. Kalau anak sudah menyadari kekurangannya, ia akan mau menerima pengaruh dan mau taat, dengan kata lain ia mau menerima kewibawaan pendidik.
f.    Sifat Manusia dan Kemungkinan Terjadinya Pendidikan
Apa sebabnya pendidikan hanya terjadi pada manusia? Pada tumbuh-tumbuhan sebagai makhluk hidup sama sekali tidak terjadi pendidikan. Pada tingkat hewan ada perilaku yang mirip dengan pendidikan, namun sangat jauh berlainan dengan pengertian pendidikan yang sebenarnya. Tindakan yang mirip pendidikan itu disebut “dressur” (pembiasaan dan dilatih terus menerus).
Pada manusia juga terjadi “ dressur “ pada saat anak belum memiliki kesadaran akan kekurangan dirinya. Pada saat itu anak merasakan untuk meniru dan berbuat, akan berbuat sesuatu. Anak usia sekitar 2 – 6 tahun misalnya, ia akan berbuat apa saja, ia bergerak menurut kemauannya. Anak dibelikan sepeda oleh ayahnya agar anak bisa naik sepeda dan ayahnya mendorong sepeda tersebut. Namun apa yang terjadi anak tidak mau naik sepeda, bahkan ia akan turun dan mendorong sepeda tersebut seperti ayahnya mendorong sepeda tadi.
Jadi dengan sifat anak suka meniru beridentifikasi dengan orang lain, suka bermain, bisa menerima pengaruh dan menerima kewibawaan orang lain, merupakan keharusan bagi orang tua ( pendidik ) membimbingnnya. Pendidikan harus menjadi contoh bagi anak didiknya, memberi pengaruh yang positif untuk mengisi kedewasaan anak kelak.
2. Kemungkinan Dididik
    Sejak dahulu orang berpendapat, bahwa bakat yang dibawa lahir seseorang belum merupakan kenyataan, melainkan potensi. Jadi tentaang adanya bakat-bakat tertentu, pendidik tidak bertanggung jawab. Yang dapat diusahakannya melalui pendidikan, dan hal itu termasuk ruang lingkup tanggung jawabnya ialah, apa yang telah diperbuatnya sehubungan dengan bakat yang  dimiliki anak itu? Apakah dibiarkan saja merana ataukah dipupuk dan dikembangkan, dan bakat mana yang dikembangkan?Seberapa jauhkah bakat yang dimiliki anak didik itu telah dimanfaatkan dalam rangka pencapaian dan pengisian kedewasaan itu?
Demikian pula dengan jenis kelamin.Orang tidak dapat diminta pertanggung jawaban tentang jenis kelamin yang dimilikinya.Mengapa anda menjadi wanita?Mengapa jadi pria? Namun yang dapat dan harus menjadi pertanggung jawaban pendidik, dan juga tanggung jawab yang bersangkutan  apabila telah dewasa ialah, seberapa jauhkah ia telah menjadikan kepribadian kelaki-lakian atau kewanitaanya sebagai “ model “ dalam pengisian dan pencapaian kedewasaannya sebagai pria dewasa atau wanita dewasa?
Jadi permasalahannya disini bukan persoalan jenis bakat atau jenis kelaminnya, melainkan dengan situasi seperti itu seberapa jauhkah pendidikan telah berperan? Apakah pendidikan sudah “ bermanfaat “ secara optimal dalam mendewasakan anak sesuai dengan nilai-nilai manusiawi?
Sehubungan dengan masalah batas pendidikan perlu dikemukakan, bahwa batas kemungkinan pendidikan tidak dapat disamaratakan bagi semua orang. Tidak dapat dikatakan, bahwa untuk semua orang terdapat batas kemungkinan dididik yang sama. Sebab masing-masing individu bersifat unik.Akan tetapi secara umum dapat dikatakan, bahwa kemungkinan dididik itu tercapai mana kala tidak dapat dikembangkan lagi lebih lanjut kehidupan rohaninya khususnya kehidupan moralnya.Adapun yang menjadi latar belakangnya dapat beraneka ragam. Mungkin karena bakat bawaannya, mungkin karena potensi kecerdasan yang berbeda, seperti berbeda dalam potesi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual, atau mungkin terdapat kelainan.
    Anak manusia telah diakui oleh para ahli berbagai pakar disiplin ilmu yang berbeda, memiliki potensi untuk kemungkinan dididik dan bahkan menjadikannya harus dididik, umpamanya :
a.    Filsafat
Pakar Filsafat menilai manusia sebagai Homo Sapien, makhluk yang memiliki akal, karenanya dia mungkin dan harus dididik agar dapat berkembang kearah yang diinginkan.
b.    Sosiologi
Pakar sosiologi menganggap manusia sebagai Homo socius, yakni makhluk yang punya keinginan untuk hidup bersama. Dengan kebersamaan ini dimungkinkannya terjadi proses transfer nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan. Karenanya dengan potensi ini manusia dimungkinkan untuk dididik. Dasar kehidupan sosial adalah karena adanya kebutuhan. Agar kehidupan sosial itu berjalan dengan baik dan langgeng, maka diperlukan adanya nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan dalam memenuhi kebutuhan itu, sehingga memang manusia harus dididik.
c.    Psikologi
Dalam pandangan psikologi, bahwa manusia bukan hanya terdiri bentuk lahir dengan panca inderanya saja, tapi juga memiliki aspek psikis dengan berbagai demensinya, seperti emosi, intelegensi, konasi, imajinasi (daya khayal), dll. Yang semua itu memungkinkan dan mengharuskan manusia untuk dididik, sehingga dapat berkembang menjadi manusia yang sempurna bukan hanya aspek pisik tapi juga aspek psikisnya.
d.    Antropologi
Dalam pandangan antropologi manusia adalah makhluk yang berbudaya, karena manusia mempunyai akal dan rasa keingintahuan dan punya kemampuan pisik untuk mengembangkannya. Potensi akal dan keingintahuan serta kemampuan untuk mengembangkan ini adalah potensi yang menyebabkan manusia mungkin dan harus didik, sehingga budaya manusia terus berkembang kearah kesempurnaan.
e.    Agama
Dalam pandangan psikologi agama, manusia adalah human religious, atau mahkluk yang memiliki potensi beragama. Potensi ini dapat menjadi dasar bagi dimungkinkannya manusia dididik dan adalah merupakan suatu keharussan untuk mendidiknya agar menjadi manusia yang beragama secara benar.
Sebagai sebuah agama yang universal, Islam memandang manusia (anak) sebagai makhluk yang memiliki tiga unsur pokok, yaitu tubuh, hayat dan jiwa. Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat hancur, hayat yang berarti hidup, akan hancur bersama dengan datangnya kematian,  sedangkan jiwa bersifat kekal. Berbeda dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, “mereka mempunyai jiwa, tapi eksistensi jiwa di sini terikat dengan tubuh yang bersifat materi, karenanya jika makhluk yang bersangkutan mati,  jiwanya pun ikut hancur”  karena jiwa yang dimaksud di sini oleh sebahagian kalangan filosof Islam adalah hayat yang berarti hidup. Manusia dipandang dalam islam sebagai makhluk yang termulia diantara makhluk-makhluk Allah yang lain.

No comments

Powered by Blogger.