Teori Belajar


A.    Teori Belajar Behaviorisme
Teori belajar behavioristik menyatakan bahwa belajar itu merubah tingkah laku. Para ahli-ahli behavioristik mengatakan bahwa proses belajar itu terjadi apabila tingkah laku siswa sudah berubah, apabila siswa belum merespon, maka tingkah laku siswa tidak berubah maka belum dikatakan belajar. Dan di teori belajar behavioristik, apabila tingkah laku siswa belum berubah maka akan berlaku sistem hukuman. Apabila belajar tidak bisa terus, dan diajarkan lagi, tidak bisa lagi, maka akan berlaku sistem hukuman dan dengan hukuman itu dapat membuat siswa jera dan akan membuat siswa untuk belajar lebih giat lagi. Sebagai contoh, seorang anak disusurh oleh gurunya untuk menghapal perkalian dan maju keesokan harinya, namun anak tersebut belum menghapalnya dan disuruh berdiri didepan kelas oleh gurunya dan boleh duduk hingga menghapalnya. Di Indonesia yang berlaku adalah teori belajar behavioristik, karena sistem kurikulum kita berbasis kompetensi. Maka dari itu biasanya di sekolah-sekolah biasanya gurulah yang lebih berkuasa, karena memang begitulah teori belajar ini. Proses belajar mengajarnya dapat digambarkan sebagai berikut: 

Penguatan
       

                                   Penguatan
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa (Asri Budiningsih, 2008- 16) contohnya daftar perkalian dan lain sebagainya. Dan proses adalah proses belajar mengajar berlangsung. Respon adalah tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Kekurangan dalam teori belajar ini yaitu proses belajar yang komplek tidak terjelaskan, asumsi stimulus respon terlalu sederhana. Contoh aplikasi teori behaviorisme yaitu:
•    Menetukan tujuan-tujuan instruksional
•    Menganalisis lingkungan yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi “entry behavior” mahasiswa (pengetahuan awal mahasiswa)
•    Menetukan materi pelajaran (pokok bahasan, topik)
•    Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil (sub pokok bahasan, sub topik)
•    Menyajikan materi pelajaran
•    Memberikan stimulus berupa: pertanyaan, tes, latihan, tugas-tugas
•    Mengamati dan kengkaji respons yang diberikan
•    Memberikan penguatan/reinforcement (positif atau negatif)
•    Memberikan stimulus baru
•    Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan (mengevaluasi hasil belajar) dan memberikan penguatan.
Ada 3 jenis teori belajar menurut Teori Behaviorisme dalam Lapono,dkk (2008:3-8) yaitu teori:
a)    Respondent Conditioning
Teori ini dikenalkan oleh Pavlov (1849-1936 : 3 ) yang didasarkan pada pemikiran bahwa perilaku atau tingkah laku merupakan respon yang dapat diamati dan diramalkan. Kondisi tertentu (yang disebut stimuli atau rangsangan) dapat mempengaruhi individu dan membawanya ke arah perilaku (respon) yang diharapkan. Keterpakuannya pada perilaku yang aktual dan yang dapat diamati atau terukur itu yang menyebabkan teori ini digolongkan ke dalam teori behaviorisme.
b)    Operant Conditioning
Teori ini dikenalkan B.F Skinner ( 1945:5 ) yang berpendapat bahwa belajar menghasilkan perubahan perilaku yang dapat diamati, sedang perilaku dan belajar diubah oleh kondisi lingkungan. Operant Conditioning yang berunsur rangsangan atau stimuli, respon, dan konsekuensi. Stimuli (tanda/syarat) bertindak sebagai pemancing respon, sedangkan konsekuensi tanggapan dapat bersifat positif atau negatif, namun keduanya memperkukuh atau memperkuat (reinforcement).
c)    Observational Learning
Teori ini dikenalkan Albert Bandura ( 1969:8 ) yang menjelaskan bahwa belajar observasi merupakan sarana dasar untuk memperoleh perilaku baru atau mengubah pola perilaku yang sudah dikuasai.
B.    Teori Belajar Kognitivisme
Teori belajar kognitivisme menyatakan bahwa belajar adalah perubahan persepsi atau pemahaman. Teori belajar ini lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya (Asri Budinigsih, 2008-26). Teori belajar kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Pada teori belajar kognitivisme terdapat kelemahan-kelemahan sebagai berikut: lebih dekat ke psikologi, sulit melihat “stuktur kognitif” pada setiap individu. Contoh aplikasi-aplikasi teori kognitivisme yaitu:
•    Menetukan tujuan-tujuan instruksional
•    Memilih materi palajaran
•    Menetukan materi yang mungkin dipelajari mahasiswa secara aktif
•    Menentukan dan merancang kegiatan belajar yang cocok untuk topik yang akan dipelajari mahasiswa
•    Mempersiapakan pertanyaan yang dapat memacu kreatifitas mahasiswa untuk berdiskusi dan bertanya
•    Mengevaluasi proses dan hasil belajar
C.    Teori Belajar Konstruktivisme
    Teori kontruktivistik merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri. Nik Aziz Nik Pa ( 1999: 25) menjelaskan : Konstruktivisme adalah tidak lebih daripada satu komitmen terhadap pandangan bahwa manusia membina pengetahuan sendiri. Ini bermakna bahwa sesuatu pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang individu adalah hasil dari pada aktiviti yang dilakukan oleh individu tersebut, dan bukan sesuatu maklumat atau pengajaran yang diterima secara pasif daripada luar. Pengetahuan tidak boleh dipindahkan daripda pemikiran seseorang individu kepada pemikiran individu yang lain sebaliknya, setiap insan membentuk pengetahuan sendiri dengan menggunakan pengalamannya sendiri. Jadi teori ini menyatakan bahwa pengetahuan adalah bentukkan siswa yang sedang balajar lewat interaksi dengan bahan atau pengalaman baru. Proses mendapatkan ilmu dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa belajar dengan teori konstruktivisme dihasilakan dari lingkungan sekitar dengan menggunakan pancaindera seperti melihat, mendengar menjamah, mencium dan merasakan. Ataupun dengan pengetahuan sebelumnya seperti pengetahuan fisik, pengetahuan kognitif, ataupun pengetahuan mental. Strategi pembelajaran kontruktivisme yaitu: belajar aktif, belajar mandiri, belajar kooperatif dan lain sebagainya.
D.    Teori Belajar Humanisme
Konsep belajar humanisme adalah suatu gagasan, ide, atau pokok- pokok pikiran mengenai belajar dengan mendasar pada aliran humanisme, yaitu memfokuskan pada peran pendidikan dalam meningkatkan sifat kemanusiaan. Teori Belajar Humanisme dikenalkan oleh Carl Ransom Rogers ( 1902-1987:34 ) yang didasarkan pada pemikiran bahwa belajar merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan dan cinta dari orang lain. Dalam proses pembelajaran, kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu diperhatikan agar peserta didik tidak merasa dikecewakan. Apabila peserta didik merasa upaya pemenuhan kebutuhannya terabaikan maka besar kemungkinan di dalam dirinya tidak akan tumbuh motivasi dalam belajarnya.
E.    Teori Belajar Koneksionisme
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasiasosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut Stimulus (S) dengan Respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencobacoba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:

S      R     S1         R1           dst

Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1.    Hukum law of readiness (Kesiapan), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan menggambar, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menggambar akan menghasilkan prestasi yang memuaskan. Masalah pertama, hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain. Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya. Masalah ketiga, adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2.    Hukum law of exercise (latihan), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.    Hukum law of effect (akibat), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan.
Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa dipeantarai pengartian.
Selain daripada itu Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a.    Hukum Reaksi Bervariasi (multiple responses).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b.    Hukum Sikap (Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.
c.    Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Pre-potency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (selective response).
d.     Hukum Response by Analogy
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e.    Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru dalam perjalanan penyampaian teorinya Thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain:
1.    Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
2.    Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3.    Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
4.    Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaiyu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.

No comments

Powered by Blogger.