What is "Mafia Hukum" ??
1.1 Pengertian Mafia Hukum
Mafia hukum adalah kelompok oknum-oknum petugas hukum, hakim, pengacara, polisi yang seharusnya menegakkan, melaksanakan hokum, memberikan keadilan pada masyarakat, namun mafia hukum tersebut berbuat sebaliknya, mereka malah melakukan kegiatan melakukan jual-beli, menekan, mengancam para orang yang tersangkut perkara dan kasus hukum dan dari perbuatan itu mendapat keuntungan material dan finansial. Dengan adanya mafia hokum ini mereka merusak rasa keadilan dan kejujuran serta kepastian hukum.
Dengan banyaknya ketidakadilan di Indonesia menyebabkan aksi-aksi masyarakat menentang pemerintahan. Zaman sekarang ini banyak kasus hukum yang tidak diselesaikan dengan adil, bahkan tidak sesuai dengan pasal yang ada. Dimana para penegak hukum memanfaatkan perannya sebagai hakim dan mafia hukum dikalangan pemerintah Indonesia.
Dengan adanya aksi-aksi para mafia hukum yang tidak terlihat disambut banyak protes dan kritik oleh masyarakat Indonesia. Perbedan hukuman antara orang berstrata tinggi dengan orang yang melakukan kesalahan dari kalangan strata rendah. Negara Indonesia memiliki Pancasila yang harus dijunjung tinggi agar keadilam merata tidak memandang dari kalangan apapun karena setiap warga Negara berhak memperoleh Hak yang sama. Semua kalangan di Indonesia harus memperoleh perlakuan yang sama dari pemerintah, yang harus di usahakan setiap saat agar kenyamanan hokum di Indonesia merata.
Mafia hukum adalah kelompok oknum-oknum petugas hukum, hakim, pengacara, polisi yang seharusnya menegakkan, melaksanakan hokum, memberikan keadilan pada masyarakat, namun mafia hukum tersebut berbuat sebaliknya, mereka malah melakukan kegiatan melakukan jual-beli, menekan, mengancam para orang yang tersangkut perkara dan kasus hukum dan dari perbuatan itu mendapat keuntungan material dan finansial. Dengan adanya mafia hokum ini mereka merusak rasa keadilan dan kejujuran serta kepastian hukum.
Dengan banyaknya ketidakadilan di Indonesia menyebabkan aksi-aksi masyarakat menentang pemerintahan. Zaman sekarang ini banyak kasus hukum yang tidak diselesaikan dengan adil, bahkan tidak sesuai dengan pasal yang ada. Dimana para penegak hukum memanfaatkan perannya sebagai hakim dan mafia hukum dikalangan pemerintah Indonesia.
Dengan adanya aksi-aksi para mafia hukum yang tidak terlihat disambut banyak protes dan kritik oleh masyarakat Indonesia. Perbedan hukuman antara orang berstrata tinggi dengan orang yang melakukan kesalahan dari kalangan strata rendah. Negara Indonesia memiliki Pancasila yang harus dijunjung tinggi agar keadilam merata tidak memandang dari kalangan apapun karena setiap warga Negara berhak memperoleh Hak yang sama. Semua kalangan di Indonesia harus memperoleh perlakuan yang sama dari pemerintah, yang harus di usahakan setiap saat agar kenyamanan hokum di Indonesia merata.
1.2 Lahan dan Praktik Mafia Hukum
Hasil telusur, tidak ada yang memberikan jawaban selain dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sebastian Pompe. Menurutnya, wajah peradilan Indonesia mulai berubah suram sejak tahun 1974. Pada saat itu meletus peristiwa Malari yang menyebabkan mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala lini pemerintahan untuk melindungi oligarki kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, tunas-tunas mafia hukum yang telah tertanam menjadi tumbuh subur hingga menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya.
Setelah hampir empat dekade dari peristiwa di atas, praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dalam dunia hukum semakin mempertajam giginya. Sebutlah misalnya, proses penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga putusan hakim, semuanya dapat diatur oleh oknum-oknum pengacara, institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Ironisnya lagi, para Saksi, Ahli, atau Akademisi yang diminta untuk memberikan keterangan di persidangan dapat ”dipesan” sesuai dengan keinginan terdakwa lewat prakarsa para pengacaranya. Tak terbayangkan seandainya saja dunia akademis lambat laun kian terseret ke lembah praktik hitam mafia hukum, maka Indonesia tinggal menunggu kehancurannya.
Praktik-praktik tersebutlah yang kemudian dianggap ikut memberi andil atas bertenggernya Indonesia pada peringkat pertama negara terkorup dari 14 negara Asia menurut Political and Economic Risk Concultancy (PERC) pada 2009. Lebih spesifik lagi, International Transparency dalam Global Corruption Barometer pada 2008 menempatkan lembaga peradilan sebagai salah satu lembaga terkorup di Indonesia.
Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, mencatat 4 faktor utama yang menyebabkan sistem peradilan Indonesia menjadi terkorup seperti sekarang ini. Pertama, Moralitas yang sangat rendah dari aparat penegak hukum, seperti aparat kepolisian, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara yang dalam praktiknya bekerja sama dengan cukong, makelar kasus, dan aktor politik; Kedua, Budaya politik yang korup telah tumbuh subur dalam birokrasi negara dan pemerintahan yang feodalistik, tidak transparan, dan tidak ada kekuatan kontrol dari masyarakat; Ketiga, Tingginya apatisme dan ketidakpahaman masyarakat tentang arti dan cara bekerja aparat yang berperan dalam praktik kriminal tersebut; Keempat, Kriteria dan proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih belum sepenuhnya transparan dan profesional; dan Kelima, Rendahnya kemauan negara (political will) di dalam memberantas praktik mafia peradilan secara sungguh-sungguh dan jujur.
1.3 Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH)
Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) pernah dibentuk oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 30 Desember 2009 melalui Keputusan Presiden Nomor 37 tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Keppres No. 37/2009). Namun telah dibubarkan , kepastian pembubaran satgas ini diumumkan lewat siaran pers yang dikeluarkan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan pada tahun 2012. Tujuan pembentukan Satgas PMH adalah untuk mempercepat pemberantasan praktik mafia hukum yang semakin lama dianggap semakin mengkhawatirkan dan merusak upaya penegakan hukum di Indonesia.
1.3.1 Tugas, wewenang, dan tanggung jawab
Berdasarkan Keppres No. 37/2009, Satgas PMH bertugas untuk melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi dan pemantauan agar pemberantasan mafia hukum dapat dilakukan secara efektif. Dalam menjalankan tugas tersebut, Satgas PMH diberi kewenangan bekerja sama dengan berbagai lembaga negara serta melakukan penelaahan, penelitian serta hal-hal lain yang dianggap perlu untuk memperoleh segala informasi yang dibutuhkan dari semua instansi, baik di Pusat maupun Daerah, BUMN, BUMD dan pihak lain.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Satgas PMH bertanggungjawab langsung kepada Presiden melalui Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pembangunan (UKP4). Satgas PMH melaporkan pelaksanaan tugasnya sewaktu-waktu kepada Presiden disamping memberikan laporan secara rutin setiap 3 (tiga) bulan.
1.4 Pemberantasan Mafia Hukum
Di Indonesia telah akutnya permasalahan mafia hukum, sehingga sudah selayaknya diambil langkah luar biasa untuk menuntaskan masalah yang berkepanjangan ini. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, beragam forum pembahasan telah dilakukan dan beribu jenis solusi sudah seringkali ditawarkan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita harus memberikan apresiasi terhadap segala pemetaan dan solusi yang telah ada itu, sebab tidak dapat dinafikan bahwa terdapat beberapa hasil dalam upaya pemberantasan mafia hukum, sehingga tidak perlu juga untuk menghentikan implementasi upaya eksekusi dari solusi yang disajikan.
Namun demikian, beberapa pihak menilai bahwa ternyata laju pengembangbiakkan mafia hukum bergerak lebih cepat dari upaya pemberantasannya itu sendiri bahkan mampu menarik generasi baru hingga terjebak ke dalamnya. Akibatnya, selisih antara upaya pemberantasan dan pengembangbiakan mafia hukum menjadi negatif nilainya. Berangkat dari fenomena tersebut, maka solusinya ialah pemerintah selaku pemegang otoritas harus secara tegas menerapkan sistem yang dapat menutup segala celah terjadinya jual beli perkara. Jika ada kemauan politik semuanya bisa berjalan, jangan segan-segan untuk memberhentikan penegak hukum yang nyata-nyata melanggar. Harus ada suatu upaya masif yang hasilnya benar-benar nyata bisa dirasakan bahwa pemberantasan mafia hukum bisa berhasil, dan terdapat satu langkah lain yang masih menjanjikan dan belum pernah dilakukan, namun juga membawa konsekuensi serius, yaitu amputasi satu generasi.
Amputasi satu generasi di sini dilakukan dengan cara ‘memotong’ para aparat hukum yang terindikasi dengan keterlibatan mafia huku, baik dengan tindakan pemberhentian dengan hormat, tidak hormat apabila terbukti salah, atau pengunduran diri secara sukarela dengan konsekuensi diberikannya pemutihan. Pro-kontra dan perlawan terhadap gagasan ini sudah tentu akan terjadi, terlebih lagi dalam menghadapi keguncangan kepemimpinan di masing-masing instansi penegak hukum. Namun di sinilah justru kesempatan bangsa Indonesia untuk menyelamatkan generasi yang belum tercemar perspektif moral dan perilakunya, sehingga mereka dapat diproyeksikan untuk menduduki pucuk-pucuk kepemimpinan dengan harapan tidak akan ada lagi yang merasa tersandera atau terancam untuk mengambil kebijakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam praktik kotor mafia peradilan.
Langkah ini memang terbilang cukup drastis karena melompat jauh ke depan di antara varian solusi yang ditawarkan. Filosofis keberangkatan solusi ini berawal dari pidato Cicero di tengah-tengah Tribunus ketika mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan adalah dengan memotong dan membuang kepala ikan tersebut terlebih dahulu.
Salah satu negara bekas bagian Uni Soviet, yakni Georgia, telah melakukan cara ini, yaitu merombak sistem peradilannya dengan memberhentikan semua hakim dan kemudian melakukan rekrutmen baru dengan proses yang ketat, selektif, transparan, dan berbobot. Untuk menghindari adanya intervensi terhadap proses tersebut, rekrutmen sengaja dilakukan bukan di Georgia tetapi di Amerika Serikat. Keputusan fenomenal ini dilakukan karena adanya keinginan yang sama antara pemerintah dan masyarakat untuk membuka lembaran baru (clean state) dari gelap gulitanya dunia hukum Georgia.
Bilapun langkah ini dianggap cukup ekstrim untuk dijalankan di Indonesia, maka jalan lain yang lebih soft harus dimulai melalui ekor, yaitu dengan melindungi satu generasi di bawah melalui pengawasan dan pembinan sangat khusus untuk membentuk generasi pembaharu dunia hukum di Indonesia. Hanya saja diperlukan sebuah komitmen tinggi dan bersama serta waktu yang relatif panjang dengan dimulai dari target grup di tingkat generasi sekolah dasar, perguruan tinggi hukum, hingga para pekerja hukum pemula di berbagai institusi dan lembaga profesi hukum.
Leave a Comment