PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN BAHASA DI SEKOLAH DASAR
Dalam modul dibahas 3 hal, yakni:
1. Pendekatan Pembelajaran Bahasa
2. Metode dan Strategi Pembelajaran Bahasa
3. Model-model Pembelajaran Bahasa
Ketiga aspek ini sangat penting Anda kuasai sebab keseluruhannya akan mewarnai proses belajar-mengajar di kelas, perencanaan, pemilihan bahan, media pembelajaran dan proses penilaian. Apa pun bentuk kurikulum yang Anda gunakan, ketika sampai pada tataran implementasi kurikulum di kelas, maka Anda harus dapat melakasanakan pembelajaran sesuai dengan keyakinan tentang hakikat serta pengajaran dan belajar bahasa, khususnya bagi siswa sekolah dasar. Ketidakberhasilan siswa SD dalam kemampuan berkomunikasi, salah satu penyebabnya guru kurang menguasai berbagai pendekatan pembelajaran bahasa sehingga kurang bervariasi dalam pemilihan metode atau strategi pembelajaran. Untuk itu setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat:
1. Menjelaskan berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia, khususnya untuk SD kelas rendah
2. Menjelaskan ciri-ciri setiap pendekatan
3. Menjelaskan berbagai metode dan strategi pembelajaran bahasa
4. Menyusun model/perencanaan pembelajaran berdasarkan berbagai pendekatan.
Kegiatan Belajar 1
Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Pendekatan merupakan seperangkat asumsi yang aksiomatik tentang hakikat bahasa, pengajaran dan belajar bahasa yang dipergunakan sebagai landasan dalam merancang, melaksanakan dan menilai proses belajar-mengajar bahasa. Asumsi tentang bahasa bermacam-macam, antara lain asumsi yang menganggap bahasa sebagai kebiasaan; bahasa sebagai sistem komunikasi dan ada pula yang menganggap bahasa sebagai seperangkat peraturan/kaidah. Di bawah ini akan dibahas beberapa pendekatan yang selayaknya difahami oleh guru-guru sekolah dasar, baik guru kelas maupun guru bidang studi.
1. Pendekatan Behaviorisme
Kelompok ini berpandangan bahwa proses penguasaan kemampuan berbahasa anak sebenarnya dikendalikan dari luar sebagai akibat berbagai rangsangan yang diterapkan lingkungan kepada Si Anak. Bahasa sebagai wujud perilaku manusia merupakan kebiasaan yang harus dipelajari. Jadi kemampuan berkomunikasi anak melalui bahasa pada dasarnya sangat ditentukan oleh stimulus-respon dan peniruan-peniruan.
2. Pendekatan Nativisme
Pandangan ini berpendapat bahwa anak sudah dibekali secara alamiah dengan apa yang disebut LAD (Language Acquisition Device). LAD sudah diprogramkan untuk mengolah butir-butir tatabahasa yang dianggap sebagai suatu bagian dari otak. LAD membekali anak dengan kemampuan alamiah untuk dapat berbahasa. Dengan demikian belajar berbahasa pada hakikatnya hanyalah mengisi detail dalam struktur yang sudah ada secara alamiah.
3. Pendekatan Kognitif
Kemapuan berbahasa anak berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif anak. Bahasa dalam pandangan kognitif distrukturlisasi dan dikendalikan oleh nalar. Dengan demikian perkembangan kognisi sangat berpengaruh pada perkembangan bahasa.
4. Pendekatan Interaksi Sosial
Pendekatan ini merupakan perpaduan teori-teori yang telah disebutkan di atas. Kesimpulan teori-teori bahasa anak mempunyai potensi dasar (kognitif) dari bawaannya yang tidak terlepas dari pengaruh lingkungan melalui proses interaksi. Inti pembelajaran interaktif adalah siswa membuat pertanyaan atau mencari masalah sendiri dan berusaha menyelesaikan sendiri. Hal ini akan meningkatkan kreativitas dan berfikir kritis mereka.
5. Pendekatan Tujuan
Penerapan pendekatan tujuan ini sering dikaitkan dengan ‘’cara belajar tuntas’’. Dengan ‘’cara belajar tuntas’’, berarti suatu kegiatan belajar mengajar dianggap berhasil, apabila sedikit-dikitnya 85% dari jumlah siswa yang mengikuti pelajaran itu menguasai minimal 75% dari bahan ajar yang diberikan oleh guru. Penetuan keberhasilan itu didasarkan hasil tes sumatif; jika sekurang-kurangnya 85% dari jumlah siswa dapat mengerjakan atau dapat menjawab dengan betul minimal 75% dari soal yang diberikan oleh guru maka pembelajaran dapat dianggap berhasil.
6. Pendekatan Struktural
Pandangan ini berpendapat bahwa bahasa adalah data yang didengar/ditulis untuk dianalisis sesuai dengan tatabahasa. Jadi belajar bahasa adalah belajar strukturstruktur (tatabahasa).
7. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif didasarkan pada pandangan bahwa bahasa adalah sarana ,berkomunikasi. Karena itu tujuan utama pengajaran bahasa adalah meningkatkan keterampilan berbahasa siswa, bukan kepada pengetahuan tentang bahasa, pengetahuan bahasa diajarkan untuk menunjang pencapaian keterampilan bahasa.
8. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan ini mengutamakan keterampilan berbahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu berbahasa, seperti: pemeran serta, tujuan, situasi, konteks juga aspek pengembangan: emosi, moral, sosial dan intelektual.
9. Pendekatan “Whole Language”
Suatu pendekatan untuk mengembangkan mengajarkan bahasa yang dilaksanakan secara menyeluruh, meliputi: mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Keterampilan tersebut memiliki hubungan yang interaktif yang tidak terpisahpisah dengan aspek kebahasaan: fonem, kata, ejaan, kalimat, wacana dan sastra. Di samping itu pendekatan ini juga mementingkan multimedia, lingkungan, dan pengalaman belajar anak.
10. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning atau CTL)
1. Pendekatan Pembelajaran Bahasa
2. Metode dan Strategi Pembelajaran Bahasa
3. Model-model Pembelajaran Bahasa
Ketiga aspek ini sangat penting Anda kuasai sebab keseluruhannya akan mewarnai proses belajar-mengajar di kelas, perencanaan, pemilihan bahan, media pembelajaran dan proses penilaian. Apa pun bentuk kurikulum yang Anda gunakan, ketika sampai pada tataran implementasi kurikulum di kelas, maka Anda harus dapat melakasanakan pembelajaran sesuai dengan keyakinan tentang hakikat serta pengajaran dan belajar bahasa, khususnya bagi siswa sekolah dasar. Ketidakberhasilan siswa SD dalam kemampuan berkomunikasi, salah satu penyebabnya guru kurang menguasai berbagai pendekatan pembelajaran bahasa sehingga kurang bervariasi dalam pemilihan metode atau strategi pembelajaran. Untuk itu setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat:
1. Menjelaskan berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia, khususnya untuk SD kelas rendah
2. Menjelaskan ciri-ciri setiap pendekatan
3. Menjelaskan berbagai metode dan strategi pembelajaran bahasa
4. Menyusun model/perencanaan pembelajaran berdasarkan berbagai pendekatan.
Kegiatan Belajar 1
Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Pendekatan merupakan seperangkat asumsi yang aksiomatik tentang hakikat bahasa, pengajaran dan belajar bahasa yang dipergunakan sebagai landasan dalam merancang, melaksanakan dan menilai proses belajar-mengajar bahasa. Asumsi tentang bahasa bermacam-macam, antara lain asumsi yang menganggap bahasa sebagai kebiasaan; bahasa sebagai sistem komunikasi dan ada pula yang menganggap bahasa sebagai seperangkat peraturan/kaidah. Di bawah ini akan dibahas beberapa pendekatan yang selayaknya difahami oleh guru-guru sekolah dasar, baik guru kelas maupun guru bidang studi.
1. Pendekatan Behaviorisme
Kelompok ini berpandangan bahwa proses penguasaan kemampuan berbahasa anak sebenarnya dikendalikan dari luar sebagai akibat berbagai rangsangan yang diterapkan lingkungan kepada Si Anak. Bahasa sebagai wujud perilaku manusia merupakan kebiasaan yang harus dipelajari. Jadi kemampuan berkomunikasi anak melalui bahasa pada dasarnya sangat ditentukan oleh stimulus-respon dan peniruan-peniruan.
2. Pendekatan Nativisme
Pandangan ini berpendapat bahwa anak sudah dibekali secara alamiah dengan apa yang disebut LAD (Language Acquisition Device). LAD sudah diprogramkan untuk mengolah butir-butir tatabahasa yang dianggap sebagai suatu bagian dari otak. LAD membekali anak dengan kemampuan alamiah untuk dapat berbahasa. Dengan demikian belajar berbahasa pada hakikatnya hanyalah mengisi detail dalam struktur yang sudah ada secara alamiah.
3. Pendekatan Kognitif
Kemapuan berbahasa anak berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif anak. Bahasa dalam pandangan kognitif distrukturlisasi dan dikendalikan oleh nalar. Dengan demikian perkembangan kognisi sangat berpengaruh pada perkembangan bahasa.
4. Pendekatan Interaksi Sosial
Pendekatan ini merupakan perpaduan teori-teori yang telah disebutkan di atas. Kesimpulan teori-teori bahasa anak mempunyai potensi dasar (kognitif) dari bawaannya yang tidak terlepas dari pengaruh lingkungan melalui proses interaksi. Inti pembelajaran interaktif adalah siswa membuat pertanyaan atau mencari masalah sendiri dan berusaha menyelesaikan sendiri. Hal ini akan meningkatkan kreativitas dan berfikir kritis mereka.
5. Pendekatan Tujuan
Penerapan pendekatan tujuan ini sering dikaitkan dengan ‘’cara belajar tuntas’’. Dengan ‘’cara belajar tuntas’’, berarti suatu kegiatan belajar mengajar dianggap berhasil, apabila sedikit-dikitnya 85% dari jumlah siswa yang mengikuti pelajaran itu menguasai minimal 75% dari bahan ajar yang diberikan oleh guru. Penetuan keberhasilan itu didasarkan hasil tes sumatif; jika sekurang-kurangnya 85% dari jumlah siswa dapat mengerjakan atau dapat menjawab dengan betul minimal 75% dari soal yang diberikan oleh guru maka pembelajaran dapat dianggap berhasil.
6. Pendekatan Struktural
Pandangan ini berpendapat bahwa bahasa adalah data yang didengar/ditulis untuk dianalisis sesuai dengan tatabahasa. Jadi belajar bahasa adalah belajar strukturstruktur (tatabahasa).
7. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif didasarkan pada pandangan bahwa bahasa adalah sarana ,berkomunikasi. Karena itu tujuan utama pengajaran bahasa adalah meningkatkan keterampilan berbahasa siswa, bukan kepada pengetahuan tentang bahasa, pengetahuan bahasa diajarkan untuk menunjang pencapaian keterampilan bahasa.
8. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan ini mengutamakan keterampilan berbahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu berbahasa, seperti: pemeran serta, tujuan, situasi, konteks juga aspek pengembangan: emosi, moral, sosial dan intelektual.
9. Pendekatan “Whole Language”
Suatu pendekatan untuk mengembangkan mengajarkan bahasa yang dilaksanakan secara menyeluruh, meliputi: mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Keterampilan tersebut memiliki hubungan yang interaktif yang tidak terpisahpisah dengan aspek kebahasaan: fonem, kata, ejaan, kalimat, wacana dan sastra. Di samping itu pendekatan ini juga mementingkan multimedia, lingkungan, dan pengalaman belajar anak.
10. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning atau CTL)
Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalamai, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks tersebut, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan begaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti.
11. Pendeka Terpadu
Pendekatan terpadu dalam bidang bahasa hampir sama dengan pendekatan “Whole Language”, yang pada dasarnya pembelajaran bahasa senantiasa harus terpadu, tidak terpisahkan antara keterampilan berbahasa (menyimak,berbicara,membaca,menulis) dengan komponen kebahasaan (tatabunyi, tatamakna, tatabentuk, tatakalimat) juga aspek sastra. Di samping itu untuk kelas-kelas rendah pendekatan terpadu ini menggunakan jenis pendekatan lintas bidang studi, yang artinya pembelajaran Bahasa Indonesia dapat disatukan dengan mata pelajaran lain seperti: Pendidikan Agama, Matematika, Sains, Pengetahuan Sosial, Kesenian dan Pendidikan Jasmani.
11. Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Pendekatan ini merupakan suatu sistem pembelajaran yang menekankan kadar keterlibatan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kadar CBSA dapat dilihat dari aktivitas belajar siswa tinggi, aktivitas guru sebagai fasilitator, desain pembelajaran berfokus pada keterlibatan siswa, suasana belajar kondusif. Misal:dalam pembelajaran membaca permulaan di kelas satu, dapat dilaksanakan secara individual, kelompok atau klasikal. Kegiatan secara individual dapat membaca nyaring (bagi siswa yang sudah lancar membaca), dapat pula membaca gambar, menyusun balok-balok huruf menjadi kata, menjodohkan gambar dan kata.
12. Pendekatan Keterampilan Proses
Keterampilan proses adalah kemampuan yang dibangun oleh sejumlah keterampilan dalam proses pembelajaran yang meliputi:
1. keterampilan intelektual
2. keterampilan sosial
3. keterampilan fisik
Keterampilan proses berfungsi sebagai alat menemukan dan mengembangkan konsep. Konsep itu akan menunjang pula keterampilan proses. Keterampilan proses dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia meliputi kegiatan: mengamati, menggolongkan, menafsirkan, menerapkan, dan mengkomunikasikan.
RANGKUMAN
1. Pendekatan merupakan seperangkat asumsi yang aksiomatik tentang hakikat bahasa, pengajaran dan belajar bahasa yang dipergunakan sebagai landasan dalam merancang, melaksanakan dan menilai proses belajar-mengajar bahasa.
2. Ada beberapa pendekatan yang selayaknya difahami oleh guru-guru sekolah dasar, baik guru kelas maupun guru bidang studi, yaitu pendekatan behaviorisme, pendekatan nativisme, pendekatan kognitif, pendekatan interaksi sosial, pendekatan tujuan, pendekatan struktural, pendekatan komunikatif, pendekatan pragmatik, pendekatan “Whole Language”, pendekatan kontekstual, pendekatan terpadu, pendekatan CBSA dan keterampilan proses.
Definisi Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan menurut Kosadi, dkk (1979) adalah seperangakat asumsi mengenai hakikat bahasa, pengajaran dan proses belajar-mengajar bahasa. Menurut Tarigan (1989) Pendekatan adalah seperangkat korelatif yang menangani teori bahasa dan teori pemerolehan bahasa. Sedangkan menurut Djunaidi (1989) Pendekatan merupakan serangkaian asumsi yang bersifat hakikat bahasa, pengajaran bahasa dan belajar bahasa.
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
2.2 Penerapan Pendekatan Pengajaran Bahasa Dalam Pembelajaran
Berikut merupakan macam- macam pendekatan pengajaran bahasa, di antaranya adalah:
A. Pendekatan Tujuan
Pendekatan tujuan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam pembelajaran yang harus dipikirkan dan ditetapkan lebih dahulu ialah tujuan yang hendak dicapai (Zuchdi dkk. 1997:32). Dengan memperhatikan tujuan yang telah ditetapkan itu dapat ditentukan metode mana yang akan digunakan dan teknik pembelajaran yang bagaimana yang diterapkan agar tujuan pembelajaran tersebut dapat dicapai. Jadi proses pembelajaran ditentukan oleh tujuan yang telah ditetapkan, untuk mencapai tujuan itu sendiri.
Sejalan dengan itu, maka mata pelajaran apapun orientasinya pada pendekatan tujuan, demikian juga pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Oleh karena orientasinya pada tujuan, maka pembelajarannya pun penekanannya pada tercapai tujuan.
Contoh berikut ini.
Untuk subtema menulis, tujuan pembelajaran yang ditetapkan ialah “Siswa mampu membuat karangan/cerita berdasarkan pengalaman atau informasi dari bacaan”. Berdasarkan pada pendekatan tujuan, maka yang penting adalah pencapaian tujuan, yakni siswa memiliki kemampuan mengarang. Adapun bagaimana proses pembelajarannya, bagaimana metodeya, dan bagaimana teknik pembelajarannya tidak merupakan masalah yang penting.
Demikian pula kalau misalnya diajarkan subtema struktur, dengan tujuan “siswa memiliki pemahaman mengenai bentuk-bentuk kata bahasa Indonesia” Tujuan tersebut dapat dicapai melalui pembelajaran morfologi bahasa Indonesia.
Penerapan pendekatan tujuan ini sering dikaitkan dengan “cara belajar tuntas”. Dengan “cara belajar tuntas”, berarti suatu kegiatan pembelajaran dianggap berhasil, apabila sedikitnya 85% dari jumlah siswa mengikuti pelajaran itu mengusai minimal 75% dari bahan ajar yang diberikan oleh guru. Penentuan keberhasilan itu didasarkan hasil tes sumatif. Jika sekurang-kurangnya 85% dari jumlah siswa dapat mengerjakan atau dapat menjawab betul minimal 75% dari soal yang diberikan oleh guru maka pembelajaran dapat dianggap berhasil.
B. Pendekatan Tematik
Pendekatan tematik merupakan suatu strategi yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada pebelajar (Ariantani, 2003). Keterpaduan dapat dilihat dari segi proses, waktu, segi kurikulum, dan segi aspek belajar-mengajar. Menurut Puskur (2002) pembelajaran tematik hanya diajarkan pada siswa sekolah dasar kelas rendah (kelas I dan II), karena pada umumnya mereka masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holostik), perkembangan fisiknya tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial, dan emosional. Untuk itu, strategi pembelajaran tematik hendaknya, (1) bersahabat, menyenangkan, tetapi tetap bermakna bagi anak, (2) dalam menanamkan konsep atau pengetahuan dan keterampilan, anak tidak harus didrill, tetapi ia belajar melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah dipahami. Bentuk pembelajaran ini dikenal dengan pembelajaran terpadu, dan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan siswa. Sesuai dengan perkembangan fisik dan mental siswa kelas I dan II, pembelajaran pada tahap ini menurut Ariantini (2003:1) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) Berpusat pada siswa
2) Memberikan pengalaman langsung pada anak
3) Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas
4) Menyajikan konsep dari beberapa mata pelajaran
5) Bersifat fleksibel
6) Hasil belajar dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa
Disamping itu, pembelajaran tematis memiliki beberapa kekuatan yakni :
1) Pengalaman dan kegiatan belajar yang relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak
2) Menyenangkan karena bertolak dari minat dan kebutuhan anak
3) Hasil belajar akan bertahan lebih lama karena lebih terkesan dan bermakna
4) Mengembangkan berpikir anak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi
5) Menumbuhkan keterampilan sosial dalam bekerja sama, toleransi, komunikasi, dan tangap terhadap gagasan.
Sedangkan peran tema dalam pembelajaran tematik menurut Puskur (2001;23), yakni :
1) Siswa mudah memusatkan perhatian pada satu tema atau topik tertentu
2) Siswa dapat mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam tema yang sama
3) Pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan
4) Kompetensi berbahasa bisa dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi anak
5) Siswa lebih bergairah belajar karena mereka bisa berkomunikasi dalam situasi yang nyata, misalnya bertanya, bercerita, menulis deskripsi, menulis surat untuk mengembangkan keterampilan berbahasa, sekaligus untuk mempelajari mata pelajaran lain
6) Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara terpadu dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan 2 atau 3 kali pertemuan. Waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remidial, pemantapan atau pengayaan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran tematis adalah sebagai berikut :
1) Pembelajaran tematik dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan pembelajaran menjadi lebih bermakna
2) Dalam pelaksanaan pembelajaran tematik perlu mempertimbangkan antara lain alokasi waktu setiap tema, memperhitungkan banyak dan sedikitnya bahan yang ada dilingkungan
3) Pilihan tema yang terdekat dengan anak
4) Lebih mengutamakan kompetensi dasar yang akan dicapai dari pada tema
Untuk lebih memantapkan pelaksanaan pembelajaran tematik ada beberapa langkah yang perlu diikuti menurut Ariantini (2003), yakni :
1) Membaca dan memahami semua kompetensi dasar pada kelas dan semester yang sama dan setiap mata pelajaran di kelas I dan II SD.
2) Memilih tema yang dapat mempersatukan kompetensi-kompetensi tersebut untuk setiap semester (Ariantini, 2003)
Pilihan Tema : Diri Sendiri; Keluarga; Kegiatan Sehari-hari; Lingkungan; Tempat Umum; Pengalaman; Budi Pekerti; Kegemaran; Hiburan; Binatang; Tumbuh-Tumbuhan; Transfortasi; Kesehatan; Makanan; Pendidikan; Pekerjaan; Peristiwa; Pertanian.
C. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang secara eksplisit tercantum dalam kurikulum 2004 GBPP Bahasa Indonesia SD. Pendekatan komunikatif lahir disebabkan oleh terlalu lamanya situasi pengajaran bahasa diwarnai oleh pendekatan struktural. Di samping itu, ada kebutuhan yang mendesak untuk memusatkan perhatian pada “kemampuan komunikatif”. (Muchlisoh, 1993:7).
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang dilandasi oleh pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Tampak bahwa bahasa tidak hanya dipandang sebagai seperangkat kaidah, tetapi lebih luas lagi, yakni sarana berkomunikasi. Ini berarti, bahasa ditempatkan sesuai dengan fungsinya, yakni fungsi komunikasi.
Menurut Littiewood (dalam Rofi’uddin, 1999:23) pendekatan komunikatif didasarkan pada pemikiran bahwa :
1) Pendekatan komuikatif membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa. Hal ini terutama menyebabkan orang melihat bahwa bahasa tidak terbatas pada tata bahasa dan kosa kata, tetapi juga pada fungsi komunikasi bahasa.
2) Pendekatan komunikatif membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa pembelajaran bahasa, tidak cukup dengan memberikan kepada siswa bagaimana bentuk-bentuk bahasa itu, tetapi siswa harus mampu mengembangkan cara-cara menerapkan bentuk-bentuk itu sesuai dengan fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi dalam situasi dan waktu yang tepat.
Munculnya pendekatan komunikatif inilah yang menandai perubahan pandangan pengajaran bahasa dari “struktural” ke “fungsional”. Perbedaan pendekatan komunikatif dan pendekatan struktural menurut Muchlisoh, dkk, (1993) adalah pendekatan struktural menuntut ketepatan pengucapan dan menunda latihan kelancaran, sedangkan pendekatan komunikatif lebih mengutamakan kelancaran berkomunikasi, ketepatan komunikasi serta perbaikan struktur dapat dilakukan dalam pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran bahasa dengan menggunakan pendekatan komunikatif lebih tepat dilihat sebagai sesuatu yang berkenaan dengan apa yang dapat dilakukan (fungsi) atau berkenaan dengan makna apa yang dapat diungkapkan (nosi) melalui bahasa, bukannya berkenaan dengan butir-butir tata bahasa (struktural). Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Meley (dalam Brumfit, 1986) bahwa kemampuan berkomunikasi adalah kemampuan berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya. Dengan demikian, pendekatan komunikatif adalah pendekatan pengajaran bahasa yang sasaran akhirnya adalah kemampuan berkomunikasi.
Berdasarkan uraian diatas, maka penerapan pendekatan berkomunikatif bertujuan agar siswa mampu berkomunikasi dan mampu menggunakan bahasa secara baik, benar, dan secara nyata dan wajar, serta dapat digunakan untuk berbagai tujuan dan keadaan. Di samping itu kemampuan komunikasi menuntut adanya kemampuan gramatika, kemampuan sosiolinguistik, kemampuan wacana, dan kemampuan strategi. Dalam proses pembelajaran, guru hanya berfungsi sebagai komunikator, fasilitator, dan motivator. Sehubungan dengan itu, yang menjadi acuan adalah kebutuhan siswa untuk dapat berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya. Sugono (1993:7) mengatakan bahwa pembelajaran bahasa sebagai alat komunikasi akan menarik minat siswa didesak oleh kebutuhannya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi atau meningkatkan keterampilan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi itu, pembelajaran bahasa yang paling tepat adalah menggunakan pendekatan komunikatif.
Richard and Rodgers (1986) menganggap pendekatan komunikatif sebagai suatu pendekatan yang menetapkan kompetensi komunikasi sebagai tujuan utama pengajaran bahasa. Sehubungan dengan itu, Zuchdi (1997:23) menyatakan, “pendekatan komunikatif adalah pendekatan yang menekankan pada kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pengajaran bahasa”.
Sehubungan dengan itu, penerapan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa Indonesia menurut Kaseng (1989:45) berpedoman pada lima prinsip, yaitu : (1) mengutamakan pelaksanaan isi kurikulum, bukan penyelesaian jenjang demi jenjang; (2) bertolak dari komunikasi dan berlanjut pada penyajian butir linguistik; (3) memberikan penekanan pada faktor ekstrinsik bahasa; (4) mementingkan dan mengkutsertakan tanggung jawab siswa; (5) mengubah peran guru menjadi fasilitator, peserta, peneliti dalam kegiatan belajar-mengajar.
1) Pembelajaran tematik dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan pembelajaran menjadi lebih bermakna
2) Dalam pelaksanaan pembelajaran tematik perlu mempertimbangkan antara lain alokasi waktu setiap tema, memperhitungkan banyak dan sedikitnya bahan yang ada dilingkungan
3) Pilihan tema yang terdekat dengan anak
4) Lebih mengutamakan kompetensi dasar yang akan dicapai dari pada tema
Untuk lebih memantapkan pelaksanaan pembelajaran tematik ada beberapa langkah yang perlu diikuti menurut Ariantini (2003), yakni :
1) Membaca dan memahami semua kompetensi dasar pada kelas dan semester yang sama dan setiap mata pelajaran di kelas I dan II SD.
2) Memilih tema yang dapat mempersatukan kompetensi-kompetensi tersebut untuk setiap semester (Ariantini, 2003)
Pilihan Tema : Diri Sendiri; Keluarga; Kegiatan Sehari-hari; Lingkungan; Tempat Umum; Pengalaman; Budi Pekerti; Kegemaran; Hiburan; Binatang; Tumbuh-Tumbuhan; Transfortasi; Kesehatan; Makanan; Pendidikan; Pekerjaan; Peristiwa; Pertanian.
C. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang secara eksplisit tercantum dalam kurikulum 2004 GBPP Bahasa Indonesia SD. Pendekatan komunikatif lahir disebabkan oleh terlalu lamanya situasi pengajaran bahasa diwarnai oleh pendekatan struktural. Di samping itu, ada kebutuhan yang mendesak untuk memusatkan perhatian pada “kemampuan komunikatif”. (Muchlisoh, 1993:7).
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang dilandasi oleh pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Tampak bahwa bahasa tidak hanya dipandang sebagai seperangkat kaidah, tetapi lebih luas lagi, yakni sarana berkomunikasi. Ini berarti, bahasa ditempatkan sesuai dengan fungsinya, yakni fungsi komunikasi.
Menurut Littiewood (dalam Rofi’uddin, 1999:23) pendekatan komunikatif didasarkan pada pemikiran bahwa :
1) Pendekatan komuikatif membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa. Hal ini terutama menyebabkan orang melihat bahwa bahasa tidak terbatas pada tata bahasa dan kosa kata, tetapi juga pada fungsi komunikasi bahasa.
2) Pendekatan komunikatif membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa pembelajaran bahasa, tidak cukup dengan memberikan kepada siswa bagaimana bentuk-bentuk bahasa itu, tetapi siswa harus mampu mengembangkan cara-cara menerapkan bentuk-bentuk itu sesuai dengan fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi dalam situasi dan waktu yang tepat.
Munculnya pendekatan komunikatif inilah yang menandai perubahan pandangan pengajaran bahasa dari “struktural” ke “fungsional”. Perbedaan pendekatan komunikatif dan pendekatan struktural menurut Muchlisoh, dkk, (1993) adalah pendekatan struktural menuntut ketepatan pengucapan dan menunda latihan kelancaran, sedangkan pendekatan komunikatif lebih mengutamakan kelancaran berkomunikasi, ketepatan komunikasi serta perbaikan struktur dapat dilakukan dalam pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran bahasa dengan menggunakan pendekatan komunikatif lebih tepat dilihat sebagai sesuatu yang berkenaan dengan apa yang dapat dilakukan (fungsi) atau berkenaan dengan makna apa yang dapat diungkapkan (nosi) melalui bahasa, bukannya berkenaan dengan butir-butir tata bahasa (struktural). Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Meley (dalam Brumfit, 1986) bahwa kemampuan berkomunikasi adalah kemampuan berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya. Dengan demikian, pendekatan komunikatif adalah pendekatan pengajaran bahasa yang sasaran akhirnya adalah kemampuan berkomunikasi.
Berdasarkan uraian diatas, maka penerapan pendekatan berkomunikatif bertujuan agar siswa mampu berkomunikasi dan mampu menggunakan bahasa secara baik, benar, dan secara nyata dan wajar, serta dapat digunakan untuk berbagai tujuan dan keadaan. Di samping itu kemampuan komunikasi menuntut adanya kemampuan gramatika, kemampuan sosiolinguistik, kemampuan wacana, dan kemampuan strategi. Dalam proses pembelajaran, guru hanya berfungsi sebagai komunikator, fasilitator, dan motivator. Sehubungan dengan itu, yang menjadi acuan adalah kebutuhan siswa untuk dapat berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya. Sugono (1993:7) mengatakan bahwa pembelajaran bahasa sebagai alat komunikasi akan menarik minat siswa didesak oleh kebutuhannya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi atau meningkatkan keterampilan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi itu, pembelajaran bahasa yang paling tepat adalah menggunakan pendekatan komunikatif.
Richard and Rodgers (1986) menganggap pendekatan komunikatif sebagai suatu pendekatan yang menetapkan kompetensi komunikasi sebagai tujuan utama pengajaran bahasa. Sehubungan dengan itu, Zuchdi (1997:23) menyatakan, “pendekatan komunikatif adalah pendekatan yang menekankan pada kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pengajaran bahasa”.
Sehubungan dengan itu, penerapan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa Indonesia menurut Kaseng (1989:45) berpedoman pada lima prinsip, yaitu : (1) mengutamakan pelaksanaan isi kurikulum, bukan penyelesaian jenjang demi jenjang; (2) bertolak dari komunikasi dan berlanjut pada penyajian butir linguistik; (3) memberikan penekanan pada faktor ekstrinsik bahasa; (4) mementingkan dan mengkutsertakan tanggung jawab siswa; (5) mengubah peran guru menjadi fasilitator, peserta, peneliti dalam kegiatan belajar-mengajar.
Untuk dapat merancang materi pengajaran yang mengacu pada pendekatan komunikatif (Brown 1994 dalam Sato1999), guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Tujuan pembelajaran didalam kelas difokuskan pada semua komponen dari kemampuan berkomunikasi
2) Teknik dalam pembelajaran bahasa dirancang untuk melibatkan siswa dalam penggunaan bahasa yang pragmatis, autentik, fungsional dan bermakna,
3) Kelancaran dan ketepatan berbahasa yang dapat melandasi teknik-teknik komunikatif,
4) Siswa pada akhirnya harus menggunakan bahasa, baik secara produktif maupun reseptif.
Untuk lebih mengoperasionalkan pendekatan komunikatif ke dalam metode dan strategi di kelas, Brumfilt (1986) mengemukakan lima prinsip metode komunikatif, yakni :
1) Ketahuilah apa yang anda kerjakan
2) Keseluruhan lebih penting dari bagian-bagiannya
3) Proses sama pentingnya dengan bentuk bahasa yang dihasilkan
4) Untuk mempelajari sesuatu, kerjakanlah hal itu
5) Kekeliruan bukanlah suatu kesalahan
Finocchiaro dan Brumfit (dalam Akhadiah M.K, 1992:34) mengemukakan ciri-ciri pendekatan komunikatif, sebagai berikut :
1) Mengutamakan makna
2) Dialog jika digunakan, berpusat disekitar fungsi komunikas dan tidak dihafalkan
3) Kontekstualisasi sangat penting
4) Belajar berbahasa ialah belajar belajar berkomunikasi
5) Pegucapan harus dapat dimengerti
6) Kegiatan komunikasi dianjurkan sejak dini
7) Penggunaan bahasa ibu diperbolehkan jika diperlukan
8) Terjemahan juga dapat digunakan bila diperlukan
9) Membaca dan menulis dimulai pada hari pertama jika dikehendaki
10) Sistem bahasa target dipelajari melalui proses belajar berkomunikasi
11) Kemampuan komunikasi merupakan tujuan sama
12) Variasi bahasa merupakan konsep utama dalam materi dan metode
13) Urutan ditentukan oleh berbagai pertimbangan tentang isi, fungsi, atau makna yang dapat menarik minat
14) Guru menolong siswa dengan berbagai cara yang dapat memotivasi siswa menggunakan bahasa
15) Bahasa dibentuk oleh siswa dan kerap kali dengan banyak membuat kesalahan
16) Kelancaran dan bahasa yang berterima adalah tujuan utama
17) Siswa diharapkan berinteraksi dengan orang lain
18) Motivasi intrinsik akan timbul melalui minat terhadap hal-hal yang dikomunikasikan.
Secara operasional, Muchlisoh, dkk (1993) mengemukakan bahwa ciri-ciri pendekatan komunikatif tersebut dalam pengajaran seperti berikut.
1) Kegiatan komunikatif yang disajikan betul-betul yang diperlukan oleh siswa. Misalnya, kalau siswa tidak tahu tentang cara me-namun padi, suruhlah ia mewawancarai petani, sehingga ia akan memperoleh informasi yang betul-betul dibutuhkan. Kalau siswa bertanya tentang sesuatu, tetapi sudah tahu jawabannya, ini bukan komunikasi, sebab tidak ada kesengajaan informasi (Hubard dalam Subyakto, 1989). Jadi, salah satu ciri pendekatan komunikatif adalah adanya kekosongan informasi.
2) Untuk mendorong siswa mau belajar, hendaknya guru memberikan kegiatan belajar yang bermakna, Misalnya, tugas yang diberikan guru agar mengganti satu bentuk kalimat ke bentuk kalimat yang lain yang tidak begitu bermakna bagi siswa misalnya : Ibu memanggil adik,à Adik dipanggil Ibu, Tugas yang bermakna, misalnya, siswa menulis pengalamannya atau menulis hasil kunjungan.
3) Materi dan silabus kurikulum komunikasi dipersiapkan setelah diadakan suatu analisis mengenai kebutuhan berbahasa.
4) Penekanan pendekatan komunikatif ialah pada pelayanan individu siswa.
5) Peran guru ialah sebagai pelayan. Ia menjadi fasilitator, motivator bagi perkembangan individu siswa. Guru tidak selalu dibenarkan selalu mendominasi kelas karena yang dipentingkan ialah bagaimana siswa dapat dibimbing untuk berkomunikasi dengan wajar (memiliki keterampilan berbahasa baik lisan maupun tulisan).
6) Materi interaksional berperan menunjang komunikasi siswa secara aktif. Materi ini terdiri atas tiga macam : materi berdasarkan teks (buku-buku pelajaran), materi berdasarkan tugas (berupa tugas seperti membuat peta perjalanan dari rumah ke sekolah atau melakukan tugas bermain peran), materi berdasarkan bahan otentik/realita (materi yang diambil dari surat kabar, majalah , percakapan yang sesungguhnya dan sebagainya).
Pada dasarnya, bahasa dipergunakan untuk berkomunikasi, untuk menyampaikan dan menerima pesan dari orang lain, dari penulis kepada pembaca, , dari pembicara kepada pendengar, pembaca menerima dari penulis, pendengar menerima dari pembicara. Pendekatan ini bertujuan mengaktifkan siswa agar memiliki kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan.
Komunikasi terjadi oleh adanya berbagai faktor. Faktor yang mendukung terjadinya komunikasi adalah :
1) Siapa dengan siapa yang berkomunikasi?
2) Untuk tujuan apa terjadinya komunikasi?
3) Dalam situasi apa berkomunikasi?
4) Dalam konteks apa?
5) Melalui jalur apa: tulisan, lisan?
6) Dengan media apa: telepon, surat telegram.surat kabar, buku?
7) Dalam peristiwa apa: bercakap-cakap, ceramah, upacara, lamaran pekerjaan, pernyataan emosi, laporan.
Pada bagian terdahulu sudah dikemukakan bahwa pandangan tentang bahasa dan pembelajaran bahasa selalu mengalami perubahan, sejalan dengan perkembangan pola pikir masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa Indonesia, akhir-akhir ini sedang digalakkan penerapan pendekatan komunikatif dan pendekatan terpadu.
Alternatif lain yang dapat dipakai sebagai acuan penerapan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa menurut Rafiudin (1999:35) yang mengutip pendapat Litlewood adalah dengan cara, siswa diberi latihan dengan teknik sebagai berikut.
1) Memberikan Informasi Secara Terbatas
a) Mengidentifikasi gambar
Dua orang siswa ditugasi melakukan percakapan tentang gambar yang disediakan oleh guru. Pertanyaan dapat mengenai warna, jumlah, bentuk, dan sebagainya.
b) Menemukan informasi yang ditiadakan
Guru memberikan informasi tentang gambar, tetapi ada bagian-bagian yang sengaja ditiadakan. Siswa siswa ditugasi atau menemukan bagian-bagian yang tidak ada itu. Kemudian A mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada B, sehingga A dapat mengetahui gambar yang mana yang tidak ada pada gambar milik B.
2) Memberikan informasi tanpa dibatasi (bebas tak terbatas)
a) Mengomunikasikan contoh dan gambar
Siswa A membawa sebuah model bentuk-bentuk yang diatur/disusun ke dalam (menjadi) sebuah contoh, Siswa B juga membawa bentuk-bentuk yang sama. Mereka A dan B, harus saling memberikan informasi sehingga B dapat mengetahui contoh yang ada pada A dengan setepat-tepatnya.
b) Menemukan perbedaan
Siswa A dan B masing-masing mempunyai sebuah gambar yang sama, kecuali beberapa bagian . Para siswa harus mendiskusikan gambar tersebut sehingga menemukan perbedaanya.
c) Menyusun kembali bagian-bagian cerita
Sebuah gambar cerita (tanpa dialog) dipotong-potong. Setiap anggota kelompok memegang satu bagian tanpa mengetahui bagian gambar yang dipegang oleh yang lain; kelompok itu harus menentukan urutan aslinya, dan menyusun kembali cerita.
3) Mengumpulkan informasi untuk memecahkan masalah
Siswa mempunyai rencana akan mangunjungi sebuah kota yang menarik. B mempunyai daftar/jadwal bus. Mereka harus merencanakan perjalanan yang akan dilakukan yang memungkinkan mereka untuk mengunjungi beberapa tempat (misalnya 5 tempat) dalam satu hari, dan menggunakan waktu sekurang-kurangnya setengah jam untuk setiap tempat. Siswa harus memilih tempat yang paling menarik bagi mereka.
4) Menyusun informasi
Siswa diminta membayangkan bahwa mereka akan mengadakan “camping” (berkemah) selama tiga hari. Tiap anggota hanya boleh membawa barang kira-kira seberat tiga kg. Kelompok itu harus menentukan apa saja yang mereka bawa, dengan melihat daftar barang yang patut dibawa, yang diberikan oleh guru, dan mempersiapkan pembekalan apabila mereka ditentang oleh kelompok lain.
Latihan-latihan tersebut merupakan latihan penggunaan bahasa dalam aktivitas berkomunikasi yang bersifat fungsional di dalam kelas. Di samping itu, juga terdapat tipe aktivitas berkomunikatif yang lain, yakni aktivitas interaksi sosial, yang diberikan kepada siswa yang lain berupa :
(1) Kelas sebagai konteks sosial
Contoh :
Percakapan atau diskusi
(2) Simulasi dan bermain peran
Contoh :
(a) Siswa diminta membayangkan dirinya ada dalam situasi yang dapat terjadi di luar kelas. Ini dapat saja berupa kejadian yang sederhana, misalnya bertemu seorang teman di jalan; tetapi dapat pula kejadian yang bersifat kompleks, negosiasi di dalam bisnis.
(b) Mereka (siswa) diminta memilih peran tertentu dalam suatu situasi. Dalam beberapa kasus, mungkin mereka berlaku sebagai dirinya sendiri, tetapi dalam beberapa kasus-kasus lain mungkin mereka memperagakan sesuatu, di dalam simulasi.
(c) Mereka diminta berbuat seperti kalau situasi ini benar-benar terjadi, sesuai dengan peran mereka masing-masing. Permainan peran tidak selalu dalam bentuk akting, tetapi dapat juga dalam bentuk debat, atau improvisasi.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran bahasa dengan menggunakan pendekatan komunikatif, yaitu :
1) Konsep komunikasi (siapa, apa, dimana, dan bagaimana) harus diperhatikan.
2) Pelatihan kepekaan siswa untuk memilih ragam bahasa yang tepat sesuai dengan situasi komunikasi perlu diperhatikan, karena selama ini ada salah tafsir bahwa penggunaaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar diartikan sebagai penggunaan bahasa Indonesia baku.
3) Untuk pelatihan bermacam komunikasi, pelatihan bermain peran atau drama sangat baik dan menyenangkan siswa, (Sugono,1993)
4) Dengan demikian, acuan pokok setiap unit pembelajaran adalah fungsi bahasa, bukan tata bahasa. Dengan kata lain, tata bahasa disajikan bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sarana untuk mencapai maksud melaksanakan komunikasi.
Berikut ini dijelaskan mengenai kompetensi komunikatif dalam pembelajaran bahasa dan implementasi pendekatan komunikatif.
Kompetensi Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa
Sandra J. Savignon dalam bukunya berjudul: “Communicative Competence: An Experiment in Foreign Language Teaching” (1972) mengunakan beberapa karakteristik kompetensi komunikatif yakni:
1) Kompetensi komunikasi lebih bersifat dinamis daripada statis, bergantung kepada negosiasi makna antara dua penutur atau lebih yang sama-sama mengetahui kaidah pemakaian bahasa.
2) Kompetensi komunikasi meliputi pemakaian bahasa lisan maupun tulis.
3) Kompetensi komunikasi bersifat kontekstual, karena komunikasi selalu terjadi dalam konteks atau situasi tertentu. Kompetensi komunikatif pemakai bahasa memungkinkan untuk memilih ragam bahasa dan gaya bahasa yang sesuai dengan situasi komunikasi.
4) Berkaitan dengan dikotomi kompetensi dan performansi bahasa dalam hubungannya dengan kopetensi komunikasi, kompetensi adalah apa yang diketahui, sedangkan performasi adalah apa yang dikerjakan. Hanya performasi yang dapat diamati, dan hanya melaluo performasi kompetensi dapat dikembangkan, dipertahankan dan dievaluasi
5) Kompetensi komunikasi adalah bersifat relatif dan bergantung pada aspek-aspek lain yang terkait, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Mencermati kompetensi kebutuhan siswa untuk dapat ber-komunikasi dalam situasi yang sebenarnya, Sugono (1993) mengatakan pembelajaran bahasa sebagai alat komunikasi akan menarik minat siswa karena didesak oleh kebutuhannya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi atau meningkatkan keterampilan menggunakan bahasa sebagai untuk berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi atau meningkatkan keterampilan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi itu, pengajaran bahasa yang paling tepat adalah menggunakan pendekatan komunikatif.
Arah pembelajaran bahasa dengan menggunakan pendekatan komunikatif menurut Syafi’ie (1994) adalah mengarahkan pada tujuan pengajaran yang mementingkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sesuai. Siswa dibimbing untuk dapat menggunakan bahasa dalam berbagai peristiwa komunikasi. Pembelajaran bahasa dalam berbagai peristiwa komunikasi. Pembelajaran bahasa pendekatan komunikatif bertujuan membentuk kompetensi komunikasi (communicative competence), yaitu kemampuan menggunakan bahasa dengan baik dan benar dalam berbagai peristiwa komunikasi sesuai dengan konteks.
Canale (1983), Savignon (1983) Omaggio (dalam Syafe.is, 1994) mengatakan kompetensi komunikasi itu didukung oleh penggunaan unsur-unsur berikut ini.
1) Pengetahuan dan penguasa sistem kaidah gramatika (tata bahasa) yang meliputi : kaidah-kaidah pengucapan bunyi-bunyi bahasa serta ejaan dan tanda baca, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat, serta penguasaan kosa kata.
2) Penguasaan segi-segi sosiolingstik, berupa memahami kesesuaian penggunaan berbagai kosa kata dan kaidah gramatika untuk digunakan dalam berbagai fungsi komunikasi, seperti persuasi, deskripsi, narasi, memberikan perintah. Penguasaan segi-segi sosiolinguistik juga berupa kemampuan memilih ragam bahasa yang tepat dalam berkomunikasi dengan memperhatikan topik, hubungan antarperan komunikasi, suasana, serta latar komunikasi.
3) Penguasaan kewacanaan, merujuk pada kemampuan pengguna bahasa untuk menyelaraskan bentuk dan makna bahasa menuju pada terbentuknya wacana yang kohesif dan koheren, atau wacana yang memiliki kesatuan dan kepaduan yang tepat.
4) Penguasaan strategis komunikasi, berupa kemampuan menggunakan strategi nonverbal untuk mengatasi berbagai kesenjangan yang terjadi antara pembicara/penulis dengan pendengar atau pembaca. Kesenjangan ini mungkin disebabkan oleh penguasaan bahasa yang lemah, kurangnya penguasaan konsep-konsep materi yang disampaikan, hubungan yang kurang serasi antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca.
Berdasarkan hal tersebut di atas, seorang yang telah memiliki potensi yang berupa kompetensi komunikatif diharapkan dapat menampilkan penggunaan bahasa (produktif dan reseptif) secara lancar, baik dan benar. Agar dapat menampilkan penggunaan bahasa yang demikian itu, pengguna bahasa selain dituntut memiliki empat unsur kompetensi komunikatif di atas, mereka juga “diwajibkan” memiliki keterampilan berbahasa yang memadai (teliti, cermat, dan lancar) serta mempunyai pengalaman yang cukup dalam penggunaan bahasa target.
Implementasi Pendekatan Komunikatif
Kurikulum Bahasa Indonesia 2004 untuk sekolah dasar menggunakan pendekatan komunikatif. Hal ini dapat kita lihat da;am butir rambu-rambu dalam kurikulum 2004.
Butir 1 : Pada hakekatnya belajar bahasa adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan.
Butir 4 : Pembelajaran kebahasaan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan penggunaan bahasa.
Butir 11 : Konteks dan tema digunakan untuk mengembangkan dan perluasan pembendaharaan kata siswa serta mempersatukan kegiatan berbahasa. Tujuannya adalah agar pembelajaran bahasa berlangsung dalam suasana kebahasaan yang wajar, tidak disajikan dalam kalimat-kalimat yang lepas dari konteks (misalnya penggam-baran kegiatan di rumah, di dapur, di jalan, di desa, di sekolah, dan sebagainya) terutama digunakan di kelas rendah, sedangkan di kelas tinggi pembelajaran menekankan pada kemampuan bernahasa, bukan pada materi yang berkaitan dengan tema. Tema dapat dijabarkan dalam anak tema.
Butir 14 : Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan untuk bermacam-macam fungsi sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh penutur, misalnya :
Untuk menyatakan informasi faktual (melaporkan, menanyakan, mengoreksi, dan mengidentifikasi)
Menyatakan sikap intelektual (menyatakan setuju atau tidak setuju, menyanggah, dan sebagainya)
Menyatakan sikap emosional (senang tidak senang, harapan, kepuasan, dan sebagainya)
Menyatakan sikap moral (meminta maaf, menyatakan penyasalan, penghargaan, dan sebagainya
Menyatakan perintah (mengajak, mengundang, memperingatkan, dan sebagainya).
Pengajian fungsi itu sebaiknya disajikan di dalam konteks, tidak dalam bentuk kalimat-kalimat yang lepas.
D. Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran bahasa, yang dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahasa sebagai perangkat kaidah. Atas dasar anggapan tersebut, maka pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa atau tata bahasa. Pembelajaran bahasa dititik beratkan pada pengetahuan tentang struktur bahasa yang tercangkup dalam fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dalam hal ini pengetahuan tentang pola-pola kalimat, pola-pola gabungan kata, pola kata, dan suku kata menjadi sangat penting.
E. Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan didasarkan pada asumsi bahwa belajar merupakan proses mengubah tingkah laku, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Dalam kegiatan belajar perwujudan dari pendekatan keterampilan proses adalah CBSA. CBSA merupakan pendekatan dalam proses belajar-mengajar yang mengutamakan aktivitas mental psikologis siswa, siswa berperan sebagai subjek dalam kegiatan pembelajaran sedangkan guru berfungsi sebagai pembimbing, pengamat, dan memberikan bantuan apabila diperlukan. Tarigan (dalam supriyadi, 1991 : 34) mengemukakan prinsip CBSA, yaitu :
1) Belajar lebih dipentingkan dari pada mengajar
2) Siswa dipandang sebagai subjek, bukan objek dalam kegiatan belajar-mengajar
3) Melalui pertisipasi (ketika guru menjelaskan siswa cermat mendengarkan, bertanya, mendebat, menambah, contoh, dan ilustrasi, mengembagkan pikiran, mangalami, mencoba, dan melaksanakan atau mempraktekkan sesuatu yang dipelajari siswa) akan menghasilkan hasil belajar yang lebih mantap.
Pendekatan keterampilan proses dalam kurikulum 1994 dinyatakan dalam rambu-rambu berikut ini.
1) Pembelajaran bahasa, selain untuk meningkatkan keterampilan berpikir dan bernalar, (berpikir logis dan masuk akal) serta kemampuan memperluas wawasan.
2) Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra, yang berkaitan erat dengan pelatihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.
3) Sebaiknya siswa dibiasakan mencari arti kata dalam kamus (Depdikbud, 1993)
Berdasarkan pendapat diatas, prinsip belajar siswa aktif sejalan dengan semboyan pendidikan nasional, yakni “Tut Wuri Handayani” artinya para siswa diberikan keluasaan untuk menentukan kegiatan belajar sendiri tanpa harus dijejali dengan berbagai ilmu pengetahuan oleh gurunya.
Adapun penerapan konsep CBSA dalam pengajaran menulis akan diuraikan dalam kegiatan siswa, kegiatan guru, iklim belajar, dan program belajar.
Kegiatan Siswa
Sejalan dengan penerapan konsep keterampilan proses, maka dalam kegiatan belajar para siswa diberikan kesempatan untuk mengamati objek yang akan ditulinya sesuai dengan tema atau topik karangan. Misalnya apabila terdapat kata-kata yang tidak dimengerti, para siswa dapat mencari dalam kamus yang telah disediakan oleh guru atau kalau masih belum jelas siswa dapat menanyakan kepada teman, bahkan kepada guru bila perlu.
Kegiatan Guru
Guru adalah teman belajar siswa yang harus mampu memberikan dorongan, bimbingan, dan arahan kepada para siswa. Guru berperan sebagai fasilitator, artinya menyediakan fasilitas yang diperlukan oleh siswa demi kelancaran kegiatan belajar.
Dalam kegiatan belajar menulis, guru hendaknya dapat menciptaka iklim belajar yang kondusif untuk melakukan kegiatan belajar menulis. Misalnya, siswa diberikan pokok-pokok kalimat yang harus dikembangkan dengan menggunakan pilihan kata yang disediakan. Seperti contoh berikut ini :
1) Lengkpilah kalimat berikut dengan kata-kata yang sesuai atau tepat!
Ibu menanak nasi di . . . a. kebun
Pak tani menanam jagung di . . . b. kantor
Ayah bekerja di . . . c. dapur
Anak-anak ditugasi untuk melengkapi kalimat tersebut. Hasilnya sebagai berikut .
Ibu menanak nasi di dapur
Pak tani menanam jagung di kebun
Ayah bekerja di kantor
2) Susunlah huruf-huruf ini sehingga menjadi sebuah kata!
a-s-w-i-s hasilnya siswa
a-m-u-e-s hasilnya semua
h-k-o-l-a-s-e hasilnya sekolah
F. Pendekatan Integretif (Holistik)
Pendekatan integratif merupakan pendekatan pembelajaran bahasa dengan cara berpikir menyeluruh, yang menghubungkan semua aspek keterampilan berbahasa sebagai kesatuan yang bermakna (Routman, 1991:276). Selain itu, Djiwandono (1996:10) mengataka bahwa pendekatan integrative merupakan penggabungan dari bagian-bagian dan komponen-komponen bahasa, yang bersama-sama membentuk bahasa. Dalam pembelajaran bahasa, materi pembelajaran bahasa disajikan secara terpadu, yaitu terpadu antar-materi dalam pembelajaran bahasa dan berpijak pada satu tema tertentu. Pendekatan integratif menurut Pappas (1990) berlandaskan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
Siswa aktif dan merupakan pengajaran yang bersifat konstruktif,
Bahasa digunakan untuk bermacam-macam pola;
Pengetahuan diorganisasikan dan dibentuk oleh pembelajar secara individual melalui interaksi sosial.
Sedangkan pendekatan integrative berdasarkan paham filosofi Whole Language, memandang bahwa belajar bahasa menjadi mudah apabila :
1) Bersifat holistik, realistis, relevan
2) Bermakna dan fungsional
3) Tidak terlepas dari konteks pemakaiannya (Weaver,1990:5)
Untuk menciptakan proses pengajaran bahasa yang mudah dipelajari, Goodman (1986:8) menyatakan bahwa pengajaran bahasa dilangsungkan secara whole language dengan memperhatikan sejumlah kenyataan, yaitu :
1) Bahasa harus nyata (alamiah)
2) Bersifat menyeluruh
3) Logis
4) Menarik
5) Relevan dengan pebelajar
6) Menjadi milik pebelajar
7) Menggunakan bagian dari peristiwa nyata
8) Diperlukan masyarakat
9) Sesuai dengan tujuan dan kebutuhan pebelajar
10) Dapat dimengerti dan digunakan pebelajar
Untuk mengoptimalkan keterpaduan antara pembelajaran bahasa dengan pendekatan integrative, Buscing dan Chwartz (1983) mengemukakan tiga prinsip, yaitu :
1) Keefektipan komunikasi secara luas sebagai tujuan pengajaran di sekolah dasar
2) Memaksimalkan hubungan antar keterampilan berbahasa
3) Situasi pengajaran bahasa menurut konteks
Dalam kurikulum pendidikan dasar/GBPP1994, khususnya dalam rambu-rambu, ada beberapa petunjuk yang kita gunakan dalam pelaksanaan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar secara terpadu seperti berikut ini.
Rambu 2 : Dalam GBPP, tujuan khusus pengajaran disajikan dalam komponen kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan yang dalam pelaksanaan pembelajaran disajikan secara terpadu. Namun, dalam kegiatan pembelajaran guru dapat memfokuskan pada salah satu komponen.
Rambu 7 : Pembelajaran bahasa mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut sebaiknya mendapat posi yang seimbang. Dalam pelaksanaannya sebaiknya dilakukan secara terpadu, misalnya :
mendengarkan — menulis — berdiskusi
mendengarkan — bercakap-cakap — menulis
bercakap-cakap — menulis — membaca
membaca — berdiskusi –memerankan
menulis — melaporkan — membahas
Rambu 10 : Perbandingan bobot pembelajaran bahasa dan sastra sebaiknya seimbang dan dapat disajikan secara terpadu, misalnya, wacana sastra dapat sekaligus dipakai sebagai bahan pembelajaran bahasa.
Rambu 13 : Pembelajaran kosakata disajikan dalam konteks wacana, dipadukan dengan kegiatan pembelajaran seperti percakapan, membaca, menulis, dan pembelajaran sastra. Usaha memperkaya kosakata perlu dilakukan secara terus menerus, mencakup berbagai bidang dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan pengalaman siswa.
Rambu 18 : Bahan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dapat pula dipadukan atau dikaitkan dengan mata pelajaran IPA, IPS, atau matematika.
Menurut Sumarsono (2000) ada empat cara untuk memadukan berbagai hal, yakni :
1) Memadukan tiga komponen pengajaran yakni kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan.
2) Memadukan empat keterampilan berbahasa yakni menyimak, membaca, berbicara, dan menulis
3) Memadukan kosa kata dengan kegiatan pembelajaran.
4) Memadukan bahan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan bidang studi lain.
Pemaduan (integrasi) butir 1-4 merupakan integrasi internal (antara komponen dan antara aspek kebahasaan), sedangkan butir 5 merupakan integrasi eksternal ( antara bahasa Indonesia dengan bidang studi lain). Semua keterpaduan tersebut harus selalu dalam suatu konteks tertentu yang disebut dengan tema. Tema ini dapat diambil dalam kurikulum atau ditentukan sendiri oleh guru dan siswa sesuai dengan keperluan dan kebutuhannya.
Selanjutnya, Yeager (1991) mengemukakan beberapa hal yang terjadi di dalam kelas dengan pendekatan integrative yakni :
1) Siswa banyak bergaul dengan literatul (bacaan).
2) Siswa merasakan adanya peningkatan dalam belajar dan mereka memperlihatkan kesanggupan belajar yang tinggi.
3) Guru-guru berinteraksi dengan siswa, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis.
4) Guru memperlihatkan perhatiannya terhadap bacaan dan tulisan pada umumnya.
“Bertolak atau menguatkan” pendapat diatas, integrasi dalam pengajaran bahasa memiliki konsep yang lebih luas dan mendalam, yakni penyatuan unit-unit tema tidak hanya ke dalam satu tema secara dangkal, tetapi lebih merupakan hubungan yang baik antar aspek atau antar disiplin ilmu secara menyeluruh, bermakna dan alamiah.
Pandangan diatas harus ditetapkan sejak perencanaan pengajaran. Unsur penting dalam proses perencanaan pengajaran sebagai rencana pengajaran menyeluruh adalah siswa, tujuan, metode, dan evaluasi. Sehubungan dengan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar, Syaf’ie (1994) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perencanaan pengajaran bahasa Indonesia adalah keseluruhan proses pemikiran tentang hal-hal yang perlu dikerjakan secara sistematis. Perencanaan pengajaran dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen tujuan, materi, metode/teknik, serta evaluasi keberhasilan belajar.
Untuk dapat menampakan keberadaan belajar sebagai proses terpadu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Hal tersebut yaitu :
Pertama : Pembelajaran dapat berfungsi secara penuh untuk membantu perkembangan individu seutuhnya. Dalam hal ini belajar memungkinkan individu dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan secara utuh, tidak bersifat fragmentaris, memenuhi segala kebutuhan dirinya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan irama perkembangannya.
Kedua : Pembelajaran sebagai aktivitas pembelajaran siswa untuk memperoleh pengalaman menempatkan siswa sebagai pusat segalanya. Dengan demikian makna pengalaman yang ada di lingkungan sangat bergantung pada sejauh mana pengalaman itu diapresiasikan secara positif oleh siswa sebagai subjek belajar. Pemenuhan segala kebutuhan dan minat siswa merupakan suatu yang esensial dalam kegiatan belajar.
Ketiga : Pembelajaran dalam hal ini lebih menuntut kepada terciptanya suatu aktivitas yang memungkinkan adanya lebih banyak keterlibatan siswa secara aktif dan intensif. Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada siswa adalah pemberian tugas dan pendirian pusat-pusat belajar yang berperan sebagai pusat belajar.
Keempat : Pembelajaran menempatkan individu pada posisi yang terhormat dalam suasana kebersamaan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Untuk itu dipandang perlu belajar kooperatif yang tidak hanya merangsang setiap siswa mengoptimalkan dirinya dalam perkembangan intelektual karena dia dituntut berpatisipasi secara total dalam mengimplementasikan penalarannya, melainkan juga dalam peningkatan keterampilan sosial, karena dia selalu dituntut untuk saling membagi pengalamannya untuk memecahkan pengalamannya untuk memecahkan persoalan yang dihadapi.
Kelima : Pembelajaran sebagai proses terpadu mendorong setiap siswa untuk terus menerus belajar. Dalam konteks yang demikian siswa belajar tidak hanya sebatas berusaha untuk mendapatkan informasi melainkan juga yang lebih penting juga memproses informasi, sehingga tidak akan pernah ada belajar itu berakhir. Dalam posisinya yang demikian, siswa dapat menempatkan dirinya sebagai peneliti yaitu individu yang tidak pernah merasa puas dengan penemuannya.
Keenam : Belajar sebagai proses terpadu dapat berfungsi dan berperan secara efektif bila dapat diciptakan lingkungan belajar secara total yang tidak hanya memberikan dukungan fasilitas terhadap peningkatan pertumbuhan dan perkembangan salah satu aspek sajam melainkan juga semua aspek. Dengan kata lain, lingkungan belajar yang tercipta hendaknya secara kondusif bagi pengembangan semua aspek individu.
Ketujuh : Belajar sebagai proses terpadu memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk memilih tugasnya sendiri, mengembangkan kecepatan belajarnya sendiri dan bekerja berdasarkan standar yang ditentukan sendiri.
Kedelapan : Pembelajaran sebagai proses terpadu, memungkinkan pembelajaran bidang studi tidak harus secara terpisah, melainkan dilaksanakan secara terpadu. Keterpaduan dapat dilakukan antar komponen dalam satu bidang studi tertentu dan antar bidang studi. Demikian pula dapat dilakukan pembelajaran terpadu bertumpu pada suatu bidang studi tertentu dan bidang studi lainnya hanya dikaitkan sepanjang ada sentuhan dengan bidang studi utama.
Kesembilan : Pembelajaran sebagai proses terpadu memungkinkan adanya hubungan antara sekolah dan keluarga. Guru dan orang tua sama-sama memandang pentingnya pengembangan potensi anak secara optimal. Dewasa ini peran akademik dan edukatif sangat dituntut karena disadari bahwa keberhasilan keseuruhan aspek anak tidak cukup dalam pendidikan apabila proses pendidikan itu, berlangsung secara terus menerus baik disekolah maupun diluar sekolah terutama keluarga, bahkan waktu yang lama untuk setiap anak SD ketika mereka berada di rumah. Dengan demikian, sangatlah tidak diragukan bahwa keterlibatan orang tua sangat berarti bagi keberhasilan pendidikan anak-anaknya.
G. Penerapan Pendekatan Terpadu
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia dikelas-kelas rendah, keterampilan tersebut dapat diwujudkan sebagai berikut :
1) Ketika guru mengajarkan menulis kalimat atau kata-kata, sekaligus guru mengajarkan bagaimana melafalkannya (mengucapkannya) dengan tepat. Dalam hal ini guru mengkaitkan kegiatan membaca dan pemahaman tentang lafal atau ucapan yang tercakup dalam tata bunyi.
2) Ketika guru mengajarkan menulis kalimat atau kata-kata, guru sekaligus juga mengajarkan bagaimana membacanya, melafalkannya, dan bagaimana ejaannya. dalam hal ini, kecuali guru mengaitkan membaca dan lafal, guru juga mengaitkannya dengan fonem, walaupun istilah tersebut tidak dinyatakan kepada siswa . Hal ini dilihat misalnya pada waktu siswa harus menuliskan kata-kata seperti, mama, mana, mata, yang maknanya berbeda-beda karena perbedaan pada /m/n/,dan /t/.
3) Pada waktu guru mengajarkan membaca kalimat, guru sekaligus mengajarkan bagaimana intonasinya, pelafalannya, tanda baca yang ada dalam bacaan. dan bagaimana membaca kalimat itu dengan memperhatikan tanda-tanda baca yang digunakan. Disamping itu, guru berkesempatan menambah kosa kata siswa dan pada waktu guru memberikan contoh membaca atau salah seorang siswa membaca, tentu saja siswa yang lain harus menyimak.
4) Memadukan bahan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan bidang studi lain.
Pemaduan (integrasi) butir 1-4 merupakan integrasi internal (antara komponen dan antara aspek kebahasaan), sedangkan butir 5 merupakan integrasi eksternal ( antara bahasa Indonesia dengan bidang studi lain). Semua keterpaduan tersebut harus selalu dalam suatu konteks tertentu yang disebut dengan tema. Tema ini dapat diambil dalam kurikulum atau ditentukan sendiri oleh guru dan siswa sesuai dengan keperluan dan kebutuhannya.
Selanjutnya, Yeager (1991) mengemukakan beberapa hal yang terjadi di dalam kelas dengan pendekatan integrative yakni :
1) Siswa banyak bergaul dengan literatul (bacaan).
2) Siswa merasakan adanya peningkatan dalam belajar dan mereka memperlihatkan kesanggupan belajar yang tinggi.
3) Guru-guru berinteraksi dengan siswa, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis.
4) Guru memperlihatkan perhatiannya terhadap bacaan dan tulisan pada umumnya.
“Bertolak atau menguatkan” pendapat diatas, integrasi dalam pengajaran bahasa memiliki konsep yang lebih luas dan mendalam, yakni penyatuan unit-unit tema tidak hanya ke dalam satu tema secara dangkal, tetapi lebih merupakan hubungan yang baik antar aspek atau antar disiplin ilmu secara menyeluruh, bermakna dan alamiah.
Pandangan diatas harus ditetapkan sejak perencanaan pengajaran. Unsur penting dalam proses perencanaan pengajaran sebagai rencana pengajaran menyeluruh adalah siswa, tujuan, metode, dan evaluasi. Sehubungan dengan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar, Syaf’ie (1994) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perencanaan pengajaran bahasa Indonesia adalah keseluruhan proses pemikiran tentang hal-hal yang perlu dikerjakan secara sistematis. Perencanaan pengajaran dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen tujuan, materi, metode/teknik, serta evaluasi keberhasilan belajar.
Untuk dapat menampakan keberadaan belajar sebagai proses terpadu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Hal tersebut yaitu :
Pertama : Pembelajaran dapat berfungsi secara penuh untuk membantu perkembangan individu seutuhnya. Dalam hal ini belajar memungkinkan individu dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan secara utuh, tidak bersifat fragmentaris, memenuhi segala kebutuhan dirinya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan irama perkembangannya.
Kedua : Pembelajaran sebagai aktivitas pembelajaran siswa untuk memperoleh pengalaman menempatkan siswa sebagai pusat segalanya. Dengan demikian makna pengalaman yang ada di lingkungan sangat bergantung pada sejauh mana pengalaman itu diapresiasikan secara positif oleh siswa sebagai subjek belajar. Pemenuhan segala kebutuhan dan minat siswa merupakan suatu yang esensial dalam kegiatan belajar.
Ketiga : Pembelajaran dalam hal ini lebih menuntut kepada terciptanya suatu aktivitas yang memungkinkan adanya lebih banyak keterlibatan siswa secara aktif dan intensif. Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada siswa adalah pemberian tugas dan pendirian pusat-pusat belajar yang berperan sebagai pusat belajar.
Keempat : Pembelajaran menempatkan individu pada posisi yang terhormat dalam suasana kebersamaan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Untuk itu dipandang perlu belajar kooperatif yang tidak hanya merangsang setiap siswa mengoptimalkan dirinya dalam perkembangan intelektual karena dia dituntut berpatisipasi secara total dalam mengimplementasikan penalarannya, melainkan juga dalam peningkatan keterampilan sosial, karena dia selalu dituntut untuk saling membagi pengalamannya untuk memecahkan pengalamannya untuk memecahkan persoalan yang dihadapi.
Kelima : Pembelajaran sebagai proses terpadu mendorong setiap siswa untuk terus menerus belajar. Dalam konteks yang demikian siswa belajar tidak hanya sebatas berusaha untuk mendapatkan informasi melainkan juga yang lebih penting juga memproses informasi, sehingga tidak akan pernah ada belajar itu berakhir. Dalam posisinya yang demikian, siswa dapat menempatkan dirinya sebagai peneliti yaitu individu yang tidak pernah merasa puas dengan penemuannya.
Keenam : Belajar sebagai proses terpadu dapat berfungsi dan berperan secara efektif bila dapat diciptakan lingkungan belajar secara total yang tidak hanya memberikan dukungan fasilitas terhadap peningkatan pertumbuhan dan perkembangan salah satu aspek sajam melainkan juga semua aspek. Dengan kata lain, lingkungan belajar yang tercipta hendaknya secara kondusif bagi pengembangan semua aspek individu.
Ketujuh : Belajar sebagai proses terpadu memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk memilih tugasnya sendiri, mengembangkan kecepatan belajarnya sendiri dan bekerja berdasarkan standar yang ditentukan sendiri.
Kedelapan : Pembelajaran sebagai proses terpadu, memungkinkan pembelajaran bidang studi tidak harus secara terpisah, melainkan dilaksanakan secara terpadu. Keterpaduan dapat dilakukan antar komponen dalam satu bidang studi tertentu dan antar bidang studi. Demikian pula dapat dilakukan pembelajaran terpadu bertumpu pada suatu bidang studi tertentu dan bidang studi lainnya hanya dikaitkan sepanjang ada sentuhan dengan bidang studi utama.
Kesembilan : Pembelajaran sebagai proses terpadu memungkinkan adanya hubungan antara sekolah dan keluarga. Guru dan orang tua sama-sama memandang pentingnya pengembangan potensi anak secara optimal. Dewasa ini peran akademik dan edukatif sangat dituntut karena disadari bahwa keberhasilan keseuruhan aspek anak tidak cukup dalam pendidikan apabila proses pendidikan itu, berlangsung secara terus menerus baik disekolah maupun diluar sekolah terutama keluarga, bahkan waktu yang lama untuk setiap anak SD ketika mereka berada di rumah. Dengan demikian, sangatlah tidak diragukan bahwa keterlibatan orang tua sangat berarti bagi keberhasilan pendidikan anak-anaknya.
G. Penerapan Pendekatan Terpadu
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia dikelas-kelas rendah, keterampilan tersebut dapat diwujudkan sebagai berikut :
1) Ketika guru mengajarkan menulis kalimat atau kata-kata, sekaligus guru mengajarkan bagaimana melafalkannya (mengucapkannya) dengan tepat. Dalam hal ini guru mengkaitkan kegiatan membaca dan pemahaman tentang lafal atau ucapan yang tercakup dalam tata bunyi.
2) Ketika guru mengajarkan menulis kalimat atau kata-kata, guru sekaligus juga mengajarkan bagaimana membacanya, melafalkannya, dan bagaimana ejaannya. dalam hal ini, kecuali guru mengaitkan membaca dan lafal, guru juga mengaitkannya dengan fonem, walaupun istilah tersebut tidak dinyatakan kepada siswa . Hal ini dilihat misalnya pada waktu siswa harus menuliskan kata-kata seperti, mama, mana, mata, yang maknanya berbeda-beda karena perbedaan pada /m/n/,dan /t/.
3) Pada waktu guru mengajarkan membaca kalimat, guru sekaligus mengajarkan bagaimana intonasinya, pelafalannya, tanda baca yang ada dalam bacaan. dan bagaimana membaca kalimat itu dengan memperhatikan tanda-tanda baca yang digunakan. Disamping itu, guru berkesempatan menambah kosa kata siswa dan pada waktu guru memberikan contoh membaca atau salah seorang siswa membaca, tentu saja siswa yang lain harus menyimak.
4) Pada saat guru mengajarkan menulis kalimat, guru sekaligus mengajarkan ejaan bagaimana cara menggunakan tanda baca dalam kalimat., seperti titik, koma, dan tanda tanya. Disamping itu, siswa juga diminta membaca kalimat-kalimat yang telah mereka buat, siswa yang sedang tidak membaca akan mendengarkan dengan baik atau menyimak. Jika demikian telah ada pemaduan antara menulis, membaca dan menyimak tetapi dalam hal ini tekanannya pada keterampilan menulis.
5) Pada waktu guru mengajarkan keterampilan berbicara sekaligus guru mengajarkan intonasi, lafal, dan menyimak. Mungkin setelah salah satu siswa bercerita, siswa yang lain diminta mengemukakan isi cerita itu secara singkat. Dengan demikian, pada waktu salah seorang siswa bercerita, temannya benar-benar menyimak.
6) Keterampilan menyimak dapat dipadukan dengan keterampilan berbicara maupun keterampilan menulis. Pada pembelajaran menyimak ini, dapat juga guru sengaja menggunakan atau menyelipkan kata-kata baru bagi siswa, sehingga menambah pembendaharaan kata mereka. Jika demikian, berarti guru telah memadukan menyimak, berbicara, menulis dan pembendaharaan kosa kata siswa.
7) Pada waktu guru mengajarkan kata-kata baru, guru harus selalu ingat bahwa kata-kata tersebut harus masuk dalam kalimat atau dalam bacaan (di dalam konteks). Jadi dalam hal ini, guru mengajarkan kata baru sekaligus mengajarkan bagaimana penggunaannya didalam kalimat. Dalam hal ini ada pemaduan antara kosa kata keterampilan berbahasa dan struktur.
8) Pemaduan dengan bidang-bidang studi lain seperti IPA, IPS, dan matematika dilakukan melalui penyajian tema dan materi berkaitan dengan bidang studi tersebut. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, pembelajaran aspek-aspek keterampilan berbahasa diberikan secara terpadu. Misalnya:
a. Menyimak dan berbicara.
Contoh :
Guru menceritakan sebuah peristiwa, siswa menyimak cerita tersebut. Setelah selesai, siswa diberi waktu sejenak dan kemudian seorang siswa diminta menceritakan kembali isi cerita tersebut dengan bahasa (kalimat-kalimat) siswa sendiri secara singkat.
Dalam hal ini, yang diutamakan adalah kemampuan siswa memahami apa yang mereka simak dan kemampuan mengemukakan pikirannya. Karena yang mendapat kesempatan berbicara hanya beberapa siswa, yang lain diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya mengenai dialog yang dilakukan oleh teman-temannya yang mendapat kesempatan di depan kelas. Dengan cara-cara tersebut, guru memadukan, menyimak dan berbicara.
b. Menyimak dan menulis
Guru membacakan dan memperdengarkan rekaman drama atau sebuah cerpen, kemudian siswa menyimak. Beberapa drama/cerpen itu dibaca/diperdengarkan, tergantung pada tingkat kesukaran drama/cerpen tersebut. Setelah selesai, siswa diberi waktu untuk menanyakan yang tidak mereka mengerti. Sesudah itu mereka diberikan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan guru tentang drama/ cerpen itu., atau diminta menuliskan isi cerpen/drama secara ringkas dengan kalimat mereka sendiri.
Dapat juga diminta siswa mendengarkan radio atau televisi pada acara tertentu, dan diminta membuat laporan hasil simakannya secara tertulis. Dalam hal ini guru harus jeli, memiliki acara- acara yang memungkinkan dilaksanakannya tugas tersebut oleh siswa. Dengan cara-cara diatas guru memadukan pelajaran menyimak dan menulis. Cara yang lain masih cukup banyak.
c. Membaca dan menyimak
Contoh :
Siswa diberi tugas membacakan suatu wacana. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan membaca untuk orang lain harus dipahami oleh siswa. Siswa yang lain menyimak. Setelah itu siswa diberikan waktu untuk berfikir, kemudian tugas selanjutnya, mungkin siswa diminta untuk menceritakan isi yang disimak secara lisan atau mungkin tertulis. dalam hal ini, agar yang mendapat giliran membaca tidak sedikit, naskah yang dibaca sebaiknya naskah-naskah yang pendek, seperti informasi singkat, perintah,dan sebaginya. Dengan cara-cara diatas guru memadukan membaca dengan menyimak.
d. Membaca dan menulis
Contoh :
Guru memberikan tugas kepada siswa untuk membaca cerita dan tulisan-tulisan yang lain diluar kelas, dan meminta kepada mereka untuk menuliskan ringkasan hasil bacaan masing-masing. Setelah mereka menuliskan hasil ringkasannya tersebut , guru dapat meminta kepada siswa untuk mengumpulkan saja hasil mereka, atau dapat juga sebelum mereka mengumpulkan , beberapa siswa diberi giliran untuk membacakan atau mengemukakan hasil mereka masing-masing. Dengan cara seperti itu terjadi pemaduan antara membaca, menulis dan berbicara.
e. Menulis dan bercerita
Contoh :
Guru memberikan tugas kepada siswa untuk membuat karangan di luar kelas. Pada waktu yang telah ditentukan, siswa menceritakan isi karangannya, sebelum karangan itu dikumpulkan. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil.masing-masing kelompok beranggotakan tiga atau empat orang. Tiap kelompok diberi tugas merencanakan dan menuliskan sebuah adegan yang dapat diperankan. Pada jam yang telah disepakati bersama, sebelum naskah diserahkan kepada guru, tiap kelompok diminta memperagakan apa yang telah mereka rencanakan dan mereka tulis itu.
H. Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menentuakan bahwa pengetahuan kita merupakan kontruksi ( bentukan) kita sendiri. Terkain dengan hal ini, Von Glasersfeld ( dalam suparno, 1997) menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognetif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Artinya pengetahuan itu bukanlah gambaran dari dunia kenyataan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikontruksikan dari pengalaman melalui pembentukan skema, katagori, konsep, dan struktur secara terus- menerus. Sejalan dengan ini , Lorsbach & Tobin ( dalam suparno, 1997) mengemukakan pengetahuan tidak dapat dipisahkan begitu saja dari otak seseorang ( guru) ke kepada murid, melainkan murid sendirilah harus mengertikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Misalnya, bila seseorang guru bermaksud mentrasfer konsep, ide atau pengertian kepada siswa, maka trasfer atau pemindahan tersebut akan diinterprestasikan dan dikonstruksikan oleh siswa lewat pengalaman kognetif , mental, dan phisiknya. Adanya siswa yang salah menangkap apa yang diajarkan oleh guru memperjelas bahwa pengetahuan itu tidak dapat dipisahkan begitu saja, melaikan harus dikontruksikan atau diinterprestasikan oleh siswa.
Pendekatan kontruktivisme mempunyai prinsip-prinsip antara lain :
1) Pengetahuan dibangun oleh siswa yang aktif
2) Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa
3) Mengajar adalah membantu siswa belajar
4) Tekanan dalam mengajar terletak pada proses , bukan pada hasil akhir
5) Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa
6) Guru adalah fasilitator dan motifator
Pandangan-pandangan diatas mengambarkan bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman (fisik, kognitif, maupun mental) dari pada dunia itu sendiri. Berdasarkan hal itu, maka perlu diuraikan :
Makna belajar
Belajar merupakan proses aktif pelajar mengkontruksi teks, dialog, pengalaman fisis dan sebagainnya. Belajar merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki seseorang sehingga pengertian itu menjadi berkembang atau dinamis ( suparno,1997:61) dengan demikian belajar dapat juga diartikan sebgai proses membentuk makna, proses pengembangan pemikiran sehingga melahirkan pemikiran baru.
Terkait dengan pengertiaan diatas , Betterncourt ( dalam Suparno, 1997) mengemukakan bahwa kegitan belajar merupakan kegiatan aktif yaitu pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ausubel (dalam Suparno, 1977) dalam istilah bermakna (meaningful learning), yaitu suatu proses belajar dengan menghubungkan informasi baru dengan stuktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melakukan proses belajar. Lebih lanjut dikatakan bahwa belajar bermakna terjadi apabila pembelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Sejalan dengan pandangan Ausubel diatas, Posner,dkk. ( dalam Suparno 1977) mengemukakan bahwa dalam proses belajar ada perubahan konsep. Tahap pertama perubahan itu disebut asimilasi dan tahap kedua disebut akomudasi. Dengan asimilasi pembelajar menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki untuk berhadapan dengan fenomena atau informasi yang baru. Dengan akumudasi pembelajar mengubah kosepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena yang baru dihadapi . dijelaskan pula proses akumudasi akan terjadi apabila :
1) Ada ketidak puasan terhadap konsep yang telah ada. artinya, jika pembelajar yakin bahwa konsep yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman atau gejala yang baru, maka pembelajaran akan mengubah konsep yang telah dimiliki sesuai dengan fenomena atau informasi baru.
2) Konsep yang baru dapat dimengerti , resional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena baru
3) Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Ketidak puasan ini disebabkan oleh adanya peristiwa anomali, yaitu suatu peristiwa yang bertentangan dengan yang dipikirkan pembelajar. Di samping pandangan diatas Rumelhart (dalam Suparno,1977) mengemukakan teori skema dalam belajar bahwa pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket atau set informasi yang disebut skema. Skema adalah abtraksi metal seseorang yang digunakan untuk mengerti suatu hal, menemukan jalan keluar atau pemecahan masalah.
Dari beberapa pandangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian atau makna belajar adalah suatu proses mengasosialisaikan, mengasimilasikan, mengakomudasikan serta mengktuksikan fenomena baru dengan fenomena yang telah dimiliki pembelajar, dan proses ini membawa suatu perubaahan pada konsep atau pengertian yang sudah dimiliki pembelajar.
Makna Mengajar
Mengajar dengan pendekatan kontruktivisme merupakan kegiatan yang memukinkan pembelajar membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar dalam pendekatan ini diartikan suatu partisifasi dengan pembelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi ( Suparno,1977). Fungsi dan peran mengajar adalah sebagai mediator, dan berfokus pada siswa. Fungsi mediator dan fasilitator terjabar daalam beberpa kegitan berikut.
(1) Menyedikan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam pemahaman materi pembelajaran.
(2) Menyediakan atau memberikan kegitan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka, mengepresikan gagasan, ide dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
(3) Menyediakan sarana siswa berfikir produtif
(4) Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung prosess belajar
(5) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukan dinamika pemikiran siswa.
Suparno (1997) mengemukakan bahwa agar peran mediator dan fasilitator dapat berjalan secara oftimal, maka diperlukan beberpa kegiatan dan pemikiran yang harus disadari oleh guru, yaitu :
(1) Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan mereka pikirkan
(2) Tujuan dan apa yang akan direncanakan di kelas sebaiknya dibicarakan atau diinformasikan sehingga siswa dapat mempersiapakan diri untuk terlibat secara aktif.
(3) Guru perlu mempertimbangkan pengalaman belajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa melalui keterlibatan langsung di tengah-tengah pembelajaran
(4) Guru harus mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa.
Von Glasersfeld ( dalam suparno,1997) memperkuat pandangan diatas dengan mengatakan bahwa dalam proses mengajar siswa harus membangun sendiri pengetahuannya, maka seorang guru seharusnya tidak lagi memandang siswa sebagi suatu lembaran kosong (tabularasa). Maka harus dipandang sebagai suatu figure yang sudah memiliki pengetahuan awal yang nantinya digunakan untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Dengan demikian guru dituntut untuk mencermati taraf pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Terkait dengan peran seorang guru, Juklyn dan Duckworth ( dalam Suparno,1997) merangkum hal-hal penting yang harus dikerjakan guru, yaitu :
(1) Guru perlu mendengarkan secara sungguh-sungguh interprestasi siswa terhadap data yang ditemukan sambil menaruh perhatian kepada keraguan, kesulitan, dan kebinggungan setiap siswa
(2) Guru perlu memperhatiakan perbedaan pendapat dalam kelas, memberikan perhatian perbedaan pendapat dalam kelas, memberikan penghargaan setiap siswa atas pendapat atau pemahaman yang mereka capai.
(3) Guru perlu menyadari bahwa “tidak mengerti” adalah langkah penting untuk mulai menekuninya, ketidaktahuan siswa bukanlah suatu tanda yang jelek dalam proses belajar, melainkan langkah awal untuk memulai.
Peran sebagai motivator dan fasilitator seorang guru menuntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam, artinya guru harus mempunyai pandangan yang luas mengenai pengetahuan yang akan diajarkan. Karena dengan pengetahuan yang luas dan mendalam memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari siswa. Adanya penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tentang penguasaan bahan, J. Drost (dalam Setyaningsih, 2000) mengemukakan bahwa penguasaan bahan dapat juga dilakukan melalui penelusuran media massa, seminar dan loka karya yang berguna bagi profesi pengajar dan pendidik. Usaha semacam ini akan memperluas cakrawala pandang profesi seseorang pengajar pendidik. Di samping penguasaan bahan, seorang gurur juga sangat perlu memahami konteks bahan yang hendak dibelajarkan. Sebab tugas guru adalah membantu agar mampu siswa mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan siyuasi yang konkret. Tugas guru seperti ini mempersyaratkan agar dalam mengajar guru tidak hanya berpaku pada sebuah strategi. Guru harus selalu mengembangkan strateginya secara dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi kelas. Guru harus selalu menyadari bahwa mengajar adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga situasi.
Terkait dengan hal di atas, Driver dan Oldhan (dalam Suparno, 1977) mengemukakan beberapa ciri mengajar kontruktivisma, yaitu:
1) Orientasi, yaitu murid diberi kesempatan untuk mengambangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik melalui observasi terhadap topik yang hendak dipelajari;
2) Elicitasi, yaitu murid dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis dan lain-lain;
3) Retrukturisasi ide, yaitu membangun ide-ide baru atau mengklarifikasi ide dengan mengkontraskan idenya dengan ide orang lain;
4) Penggunaan ide dalam banyak situasi, yaitu mengaplikasikan ide-ide yang telah dibentuk atau dibangun oleh siswa pada bermacam-macam situasi;
5) Review, yaitu setelah proses aplikasi ide, mungkin perlu dilakukan revisi dengan menambah atau bahkan mungkin mengubahnya.
Selanjutnya, M. Solehuddin (1999) merumuskan sejumlah pemikiran yang memungkinkan aktivitas belajar anak SD lebih bermakna dengan menerapkan prinsip konstruktivisme. Pemikiran ini terutama berkenaan dengan upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran. Jika para guru cenderung menggunakan pembelajaran yang terarah dengan berpusat pada guru (teacher-centerde taeching approacch), tentu pendekatan itu tidak relevan dengan prinsip-prinsip pandangan konstruktivistik. Cara mengajar demikian tidak memberi peluang kepada anak untuk berkreasi dan membangun pengetahuan. Sebaiknya pandangan, kontruktivisme menghendaki para guru untuk menerapkan pendekatan mengajar yang berpusat pada anak (child-centered teaching approach). Menurut Mikarsa dkk (2002) secara lebih rinci, cara pembelajaran anak yang diharapkan dapat dideskripsikan berikut ini:
Pertama, orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik. Kegiatan mengajar tidak sekedar diarahkan untuk membuat anak menguasai sejumlah konsep pengetahuan dan/atau keterampilan lebih sempit bagi terampil dalam menyelesaikan soal-soal dalam tes, melainkan juga diarahkan untuk mengembangkan sikap minat belajar serta potensi dasar anak.
Kedua, untuk membuat pembelajaran bermakna bagi anak, topik-topik yang dipilih dan dipelajari didasarkan pada pengalaman-pengalaman anak yang relevan. Masalah-masalah yang dibahas harus bersifat menantang dan aktual. Hal tersebut diperlukan untuk mengembangkan sikap positif dan apresiasi anak terhadap pelajaran. Dengan cara demikian pelajaran tidak dipersepsi anak sebagai tugas dari atau sesuatu yang dipaksakan oleh guru, melainkan sebagai bagian dari atau sebagai alat yang dibutuhkan dalam kehidupan anak.
Ketiga, metode mengajar yang digunakan harus membuat anak terlibat dalam suatu aktivitas langsung dan bersifat bermain yang menyenangkan atau dan bukannya sekedar membuat anak mengikuti pelajaran yang alami dan bermakna. Mereka mengalami aktivitas belajar sebagai aktivitas sehari-hari dan bukan kegiatan yang dipaksakan dari luar.
Keempat, dalam proses belajar, kesempatan anak untuk bermain dan bekerja sama dengan orang lain juga perlu diprioritaskan. Hal demikian akan berdampak positif bukan sekedar pada perkembangan sosial anak, melainkan juga pada perkembangan berpikirnya.
Kelima, bahan-bahan pelajaran yang hendak digunakan hendaknya bahan-bahan yang konkrit dan kalau mungkin ini bahkan yang sebenarnya. Ini penting untuk membuat proses belajar yang diikuti anak tepat. Temuan Peaget menjelaskan bahwa tahap perkembangan berpikir anak itu masih terbatas pada tahap operasional konkrit.
Keenam, dalam menilai hasil belajar siswa, para guru tidak hanya menekankan pada aspek kognitif dengan menggunakan tes tulis (paper-pencil test) tetapi harus pula mencakup semua domain perilaku anak yang relevan dengan melibatkan sejumlah alat penilaian. Tentunya, baik proses maupun hasil belajar anak juga dipertimbangkan dalam penilaian itu.
Ketujuh, ide di atas akhirnya mengimplikasikan perlunya para guru menampilkan peran utama sebagai guru dalam proses pembelajaran anak, bukannya sebagai transfer pengetahuan kepada siswa. Mereka perlu memiliki kemauan yang kuat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas dengan mengubah sikap dan strategi mereka dalam mengajar. Kreativitas para guru dalam menyediakan dan mengembangkan aktivitas dan lingkungan pembelajaran yang kondusif dan juga merupakan hal yang esensial bagi mereka untuk dapat merealisasikan prinsip-prinsip dan pendekatan kontruktivisme ini dalam praktek.
I. Pendekatan Pengalaman Berbahasa (PPB)
Pendekatan pengalaman berbahasa dalam bidang membaca dapat dibatasi sebagai pengajaran membaca dengan menggunakan wacana yang dikembangkan bersama-sama dengan anak-anak. Dalam PPB guru merangsang anak-anak untuk berpikir tentang pengalaman masing-masing. Guru memberikan dorongan kepada anak-anak untuk bercerita. Rekaman guru yang menggunakan huruf-huruf yang jelas itu harus dilakukan di depan anak-anak supaya anak-anak sadar bahwa bahasa lisan itu bisa diubah menjadi bahasa tulisan.
Berikut adalah penjelasan mengenai langkah-langkah PPB, keunggulan PPB, dan kelemahan PPB.
1. Langkah-langkah PPB
Pertama, guru mengembangkan wacana bersama siswa, guru menyuruh siswa memikirkan hal-hal yang merupakan kesukaannnya. Guru memotivasi anak itu dengan jalan berkata bahwa dia ingin tahu kesenangannya.
Kedua, guru berupaya untuk mendengarkan sebaik-baiknya dan mengarahkan percakapan yang berlangsung antara murid-muridnya. Sepintas lalu, upaya yang harus dilakukan guru itu mudah, namun dalam suatu kelompok yang terdiri dari banyak murid, pekerjaan mengarahkan pembicaraan mereka supaya setiap anak mendapat giliran untuk mengemukakan pendapatnya itu.
Ketiga, menuliskan hal-hal yang disampaikan oleh murid. Biasanya guru memberikan petunjuk kepada murid supaya yang dikemukakan itu berupa sebuah cerita. Dia memberi contoh cara memulai sebuah cerita, atau yang lebih baik ialah meinta saran murid-muridnya tentang cara yang mereka sukai. Semua saran harus diperhatikan dan murid disuruh memilih yang terbaik.
Keempat, guru mendengar bacaan muridnya. Guru menyuruh muridnya membaca wacana yang merupakan hasil rekamannya itu. Jika dia bekerja dengan seorang siswa, maka dia harus memperhatikan kata-kata yang dikenal muridnya dan kata-kata mana yang tidak dikenalnya. Guru mencatat kata-kata yang diucapkan oleh muridnya itu yang tidak ada dalam wacana.
Kelima, penggunaan wacana dalam pembelajaran membaca. Guru harus memanfaatkan pengetahuan yang diperolehnya dari bacaan murid-muridnya. Kalau guru tahu bahwa siswanya tidak dapat membaca kata tertentu yang ada dalam wacana yang digunakan, dia harus mengajarkan dengan cara memisahkan kata tertentu dari wacana.
2. Keunggulan PPB
1) Sifat PPB dapat meningkatkan minat baca anak,
2) Untuk menjebatani ke dunia anak-anak dalam upaya mengenali lebih baik keperluan, keinginan dan minat anak,
3) Tidak memerlukan biaya yang banyak, cukup dengan kertas, papan tulis, pensil dan kapur.
3. Kelemahan PPB
1) Sifat PPB yang hanya digunakan pada pembelajaran membaca tingkat awal;
2) PPB menuntut waktu yang lebih banyak dibandingkan pendekatan-pendekatan lain;
PPB tidak hanya menyajikan kata-kata yang mana yang harus diperkenalkan kepada murid dan keterampilan apa yang harus diajarkan.
Leave a Comment