BAB VI: LANDASAN PSIKOLOGIS PENDIDIKAN
BAB VI: LANDASAN PSIKOLOGIS PENDIDIKAN
1. Pengertian Landasan Psikologis
Pendidikan
Secara
etimologis, istilah psikologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata
psyche berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi
berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan.
Namun apabila mengacu pada salah satu syarat ilmu yaitu adanya objek yang
dipelajari maka tidaklah tepat mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa karena
jiwa bersifat abstrak. Oleh karena itu yang sangat mungkin dikaji adalah
manifestasi dari jiwa itu sendiri yaitu dalam wujud perilaku individu dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Dengan dasar ini maka psikologi dapat diartikan
sebagai ilmu yang memperlajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi
dengan lingkungannya.
Landasan
psikologis pendidikan adalah suatu landasan dalam proses pendidikan yang
membahas berbagai informasi tentang kehidupan manusia pada umumnya serta
gejalagejala yang berkaitan dengan aspek pribadi manusia pada setiap tahapan
usia perkembangan tertentu untuk mengenali dan menyikapi manusia sesuai dengan
tahapan usia perkembangannya yang bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan.
Kajian psikologi yang erat hubungannya dengan pendidikan adalah yang berkaitan
dengan kecerdasan, berpiki, dan belajar (Tirtarahardja, 2005: 106).
Landasan
psikologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari studi ilmiah
dalam bidang psikologi yang menjadi sandaran, tumpuan atau titik tolak studi
dan praktek pendidikan Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia dalam hubungannya dengan lingkungan. Psikologi pendidikan merupakan
salah satu cabang ilmu pendidikan yang dipengaruhi oleh perkembangan dan hasil-hasil
penelitian psikologi, yang bertolak dari asumsi bahwa pendidikan ialah hal
ihwal individu yang sedang belajar.
2. Dimensi Proses Pendidikan
Pendidikan
mempunyai dimensi tujuan untuk memperbaiki perilaku. Pendidikan bertujuan untuk
mendidik anak agar anak memiliki integritas kepribadian, serta mampu
bertanggung jawab. Prof. Dr. Kohnstamm
berpendapat tentang pembedaan lapisan perilaku pada berbagai jenis makluk yang
di sebut sebagai “nevous van gedringen”, yaitu:
1. Lapisan perilaku anorganis, seperti peristiwa jatuh baik
pada makhluk hidup maupun mati.
2. Lapisan vegetative atau nabati, yaitu lapisan tentang
segala proses yang terdapat dalam tubuh untuk memelihara kehidupan jasmani.
3. Perilaku animal atau hewani, yaitu lapisan yang sifatnya
sudah berupa dorongan yang bersifat naluriah.
4. Perilaku manusiawi, yaitu perilaku yang hanya dimiliki
manusia. Lapisan ini meliputi potensi-potensi manusiawi, yaitu: (1) adanya
kemauan yang dapat menguasai hawa nafsu, sehingga manusia dapat menunda
perbuatannya, (2) adanya kesadaran intelektual, sehingga manusia dapat
mengembangkan ilmunya, (3) adanya kesadaran diri, yaitu kemampuan menyadari
sifat-sifat yang ada pada diri, (4) manusia sebagai makhluk sosial, misalnya
dapat mengatur hidupnya dengan orang lain, (5) manusia mempunyai bahasa
simbolis, (6) manusia dapat menyadari nilai-nilai.
5. Lapisan mutlak, manusia dapat menghayati kehidupan
beragama dan religious, sehingga dapat berkomunikasi dengan Tuhan.
Dalam pendidikan, lapisan perilaku yang menjadi bidang
garapan ialah jenis-jenis perilaku dari lapisan human dan mutlak. Proses
pendidikan dapat berlangsung dalam berbagai jenis dimensi perilau, dan
menyangkut aspek kognitif yang sebagaian besar dilakukan di sekolah.
3. Tugas – Tugas Pokok Perkembangan
Proses
pendewasaan manusia itu adalah pertemuan antara pertumbuhan potensi dari dalam
pada anak dan pengaruh dari lingkungan yang sebagian diatur dengan sengaja yang
disebut pendidikan. Dengan demikian, pendidikan terdiri atas pelaksanaan
tugas-tugas perkembangan potensi pada anak (development tasks). Dalam
pelaksanaan tugas-tugas perkembangan, harus memperhatikan tahap-tahap
pertumbuhan tertentu, dan setiap pertahapan perkembangan anak mempunyai dasar pemikiran
sendiri sesuai dengan konsep atau teori yang dipakai untuk mengadakan
periodesasi itu.
Menurut
Robert Havighurst, tugas perkembangan ialah tugas yang terdapat pada suatu
tahap kehidupan seseorang, yang akan membawa individu kepada kebahagiaan dan
keberhasilan dalam tugas-tugas pengembangan berikutnya, yaitu apabila tahap
kehidupan tersebut dijalani dengan berhasil. Sedangkan kegagalan dalam
melaksanakan tugas pengembangan, akan mengakibatkan kehidupan tidak bahagia
pada individu dan kesukaran-kesukaran lain dalam hidupnya kelak.
Tahap-tahap
pengembangan menurut Erickson, yang diadopsi oleh Sikun Pribadi (1984; 156-159)
adalah sebagai berikut:
1. The sense of trust (kemampuan mempercayai), kira-kira
umur 0-12 bulan. Kemampuan dan penghayatan ini telah mulai berkembang sejak
bayi lahir, karena diliputi oleh suasana yang hangat, mesra dan kasih sayang
oleh ibu terhadap anak dan semua anggota keluarga, sehingga mempercayai bahwa
segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Kemampuan ini adalah dasar kepercayaan
pada orang lain, diri sendiri, dan percaya bahwa hidup ini penuh dengan
kebaikan. Anak yang tidak dapat mengembangkan kemampuan ini, akan menghadapi
kesulitan-kesulitan dalam hidup, kurang dapat menghayati kebaikan-kebaikan dan
kebahagiaan hidup, mudah gelisah, akan merasa kurang disayangi dan kurang dapat
menyayangi orang lain, kurang dapat mempercayai diri sendiri dan orang lain.
2. The sense of authonomy
(kemampuan berdiri sendiri) kira-kira umur 1,5 - 3 tahun. Pada tahap ini anak
menghadapi tugas untuk mempertegas kehadirannya sebagai manusia yang mempunyai
kesadaran dan kemauan sendiri serta dapat berdiri sendiri, walaupun dalam
hal-hal tertentu ia membutuhkan bantuan dan bimbingan dari orang lain. Pada
masa ini, pendidik sebaiknya jangan meremehkan keberadaan anak dan dijaga
jangan sampai anak dipermalukan.
Kita harus mendukung perasaan anak, bahwa ia adalah pribadi
yang mempunyai harga diri dan kita perlukan, dengan toleransi, penghargaan dan
kehormatan. Kepercayaan tersebut merupakan pantulan dari kondisi kejiwaan ibu
dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri, maka kemampuan anak akan otonomi
merupakan pantulan dari kondisi kejiwaan orang tuanya, yaitu bahwa mereka
mempunyai perasaanharga diri yang mantap.
3. The sense of initiative
(kemampuan berprakarsa) kira-kira umur 3,5 - 5,5 tahun. Anak pada umur
ini ingin menemukan kemampuan-kemampuan
yang tersimpandalam dirinya. Dia mencari kesempatan dan rasa kebebasan
untuk mengembangkan kemampuannya itu dengan banyak mencoba-coba, meniru orang
lain, mengembangkan daya fantasinya, kreativitasnya dan inisiatifnya. Banyak
kritikan, ejekan, penekanan kemampuannya, akan menghambat perkembangan
kepribadiannya, untuk selanjutnya anak membutuhkan dorongan, penghargaan dan
dukungan, bukan kritikan dan penekanan.
4. The sense of accomplishment (kemampuan menyelesaikan
tugas),kirakira umur 6 - 12 tahun. Pada periode ini anak nampak rajin dan
aktif, karena ingin menyelesaikan tugas-tugas yang dirasakan pada dirinya. Oleh
karena itu, penting sekali untuk menjaga perasaan anak jangan sampai ia merasa
dirinya rendah diri, merasa kurang mampu berprestasi. Pada satu pihak, kita
harus menjaga jangan sampai anak ini kekurangan tantangan tugas-tugas untuk
diselesaikan, dan pada pihak lain kita tidak boleh terlambat membebani anak
dengan tugas-tugas yang dirasakan terlampau berat baginya, yaitu untuk menjaga
jangan sampai ia merasa dirinya rendah atau timbul sikap putus asa. Periode ini
juga dapat disebut umur sekolah, oleh
karena itu, anak tidak boleh gagal dalam sekolahnya, ia harus dapat memperoleh
kepuasan karena ia telahberhasil, dan rasa keberhasilan ini akan memperkuat
perkembangan kepribadiannya. Setiap sukses akan memberikan perasaan mampu pada
dirinya, mampu menyelesaikan tugas-tugas yang dijadikan modal untuk menyelesaikan
tugas-tugas lebih lanjut yang lebih berat.
5. The sense of identity
(kemampuan meyakini identitasnya) kira-kira umur 12 - 18 tahun. Periode
ini adalah periode remaja atau adolesensi, yaitu periode dimana anak mencari
identitasnya, yang dapat menjawab siapakah dia, bagaimana sifat-sifat baiknya,
bagaimana hubungannya dengan orang lain. Mula-mula ia diombang-ambing antara
perasaan dirinya masih anak-anak, tetapi sebaliknya ia merasa sudah mulai
dewasa. Dalam mencari keseimbangan pada dirinya untuk menemukan dirinya, ia
mencoba-coba memainkan berbagai peranan, dimana ia mencoba mengidentifikasikan
dirinya dengan berbagai tokoh yang dianggapnya berkepribadian. Ia ingin tahu
orang bagaimanakah dia itu, bagaimana orang lain menilai dirinya, apakah dia sudah
memenuhi norma-norma yang ideal. Pada umumnya, kesadaran akan identitas anak
berkembang dari penilaian oleh kelompoknya, orang tuanya dan dirinya.
6. Tahap kedewasaan: ada tiga tahap periode ini yang dimulai
dari tahap keakraban (intimacy),
kemampuan mengurus (generativity) dan
tahap keutuhan kepribadian (integrity)
a. Intimacy
(keakraban), merupakan ciri yang penting pada periode dewasa, yang
memperlihatkan kedekatan kepada lain jenis, persahabatan, kepemimpinan, kasih
sayang, cinta, perjuangan, persaingan dan cita-cita.
b. Generativity
(kemampuan mengurus), adalah ciri yang menunjukkan seseorang mampu
mengurusi orang lain, baik terhadap keluarga maupun masyarakat, sehingga mampu
membentuk keluarga, seperti suami mampu mengurusi istri atau sebaliknya dan
terhadap anak-anaknya.
c. Integrity
(integritas kepribadian), merupakan tingkat kedewasaan yang penuh
tanggungjawab, yang dapat menerima dirinya dan orang lain, memiliki rasa sayang
terhadap sesama manusia lainnya, jujur, memiliki harga diri yang tinggi,
memiliki pandangan yang objektif terhadap dirinya, orang lain dan segala
peristiwa dalam kehidupan, serta memiliki kejiwaan yang stabil dan otentik (tidak dibuat-buat).
4.
Pemahaman terhadap Perkembangan Pribadi
Anak
Perkembangan
terhadap perkembangan pribadi anak tidak hanya dilakukan dengan observasi dan
eksperimen, tetapi juga dapat dilakukan dengan introspeksi dan empati, yaitu
kemampuan menempatkan diri dalam pribadi anak, sehingga dunia kejiawaan anak
dapat dipahami. Pemahaman dunia anak bukan hanya sebagai makhluk biologis saja,
melainkan sebagai makhluk psikis dan spiritual.
Pemahaman taerhadap dunia anak
adalah dalam rangka upaya mengembangkan potensi anak agar memahami kemampuan
dirinya, serta mencapai kedewasaan. Secara umum, perkembangan kehidupan anak
dapat dibagi ke dalam peiodasi sebagai berikut:
1. Anak bayi (0 – 1 tahun)
2. Kanak – kanak (1 – 5 tahun)
3. Anak sekolah (5 – 12 tahun)
4. Remaja (12 – 18 tahun)
Pada
setiap periode perkembangan mempunyai kekhasannya sendiri, karena ada dimensi –
dimensi tertentu yang menonjol sehingga kita dapat memahami karakteristik
perilaku anak pada tiap – tiap periodenya.
1. Anak bayi (0 – 1 tahun)
Periode
ini disebut sebagai periode vital. Periode ini mempunyai makna mempertahankan
hidup, yaitu anak dilengkapi dengan beberapa kemampuan, terutama dengan insting
dan naluri. Insting adalam kemampuan yang telah ada sejak lahir yang sifatnya
psiko-fisik (mempunyai segi psikis dan fisik) untuk dapat mereaksi terhadap
lingkungan. Perilaku mereaksi terhadap lingkungan terjadi tanpa belajar dan
meliputi segi – segi kognitif (kesadaran), afektif (emosi) dan konatif
(perilaku yang melibatkan sistem psiko-motorik) serta kejasmanian.
Beberapa contoh perbuatan insting ialah sebgai berikut:
- Insting anak menangis, misal sebagai
reaksi terhadap rasa dingin, maka setelah diangkat dan dibelai oleh ibunya ia
langsung diam karena ia telah terpenuhi rasa aman. Rasa aman sangat vital bagi
kelangsungan hidup bayi. Belaian (stroking hunger) merupakan kebutuhan primer
bagi bayi. Bayi yang kurang mendapat belaian kasih saying dari ibunya, kelak
dalam hidupnya akan merasa kurang tenang dan selalu mencoba manarik perhatian
orang lain.
- Insting lari (flight instinct), yaitu
sebuah reaksi seperti menangis. Walauun anak tidak melakukan gerakan lari
karena memang belum bisa berlari, insting ini berupa suatu reaksi takut yang
dapat kita perhatikan melalui reaksi mukanya. Lari dalam hal ini diartikan
menghindar.
- Insting sosial, sebagai alat untuk
memungkinkan anak berkomunikasi dengan lingkungannya (lingkungan sosial). Hal
tersebut dapat diamati ketika seorang bayi mereaksi dengan senyum ketika ibunya
mengajak bicara, walaupun bayi tersebut belum mengerti kata – kata yang
diucapkan ibunya.
- Insting meniru, yaitu anak suka meniru
perbuatan ibunya, misalnya menirukan kata – kata “mama” dan “papa” pada saat
anak mulai belajar bicara. Tanpa adanya insting meniru anak tak dapat belajar
bahasa. Oleh karena itu, bahasa yang dipelajari anak pada permulaan hidupnya
adalah bahasa ibu.
- Insting refleks, yaitu suatu reaksi
otomatis dari bagian – bagian badan terentu bila terkenan rangsangan, seperti
biji mata pupil (pupil reflex) bila ada perubahan cahaya yang mengenai matanya,
maka ia akan berkedip bila terkena caha terlalu kuat. Refleks – refleks yang
lainnya, misalnya terkejut, menggenggam, refleks jari kaki, dsb.
Modal
kejiwaan anak bayi selain insting dan refleks, juga ada kemampuan untuk
belajar, walaupun belum dalam bentuk belajar intelektual. Anak bayi dapat
meningkatkanketerampilan yang termasuk gerak – gerik badan serta anggota badan
lainnya seperti tangan dan kaki. Ia dapat belajar memegang benda, berbaring
dengan sisi badannya, menelungkup, merangkak, duduk, berdiri, berjalan, dan
lari – lari kecil. Belajar juga dapat dalam bentuk pembiasaan, sehingga perilakunya
lebih lancer dan efisien serta tertib dalam hal waktu dan tempat. Beberapa
contoh belajar hasil pembiasaan, misalnya tidur, bangun, makan, dan buang air
pada waktu dan tempat tertentu. Dasar belajar adalah pengalaman dan pengulangan
atau sering melakukan perbuatan tertentu.
Dalam hal yang berkaitan dengan
psikis anak, kita dapat memperhatikan adanya kesadaran sensoris, artinya anak
dapat mereaksi terhadap rangsangan dari luar melalui alat pada dirinya,
seperti: penglihatan (cahaya dan warna), pendengaran, penciuman, perabaan, dan
cita rasa. Mulut pada bayi sering digunakan sebagai alat peraba, untuk
mengenali benda – benda yang ada di sekitarnya termasuk tangan dan kakinya.
2. Peiode kanak – kanak (1 – 5 tahun)
Yaitu
usia pra sekolah sebagai periode peralihan dari masa bayi ke usia anak sekolah.
Sebelum anak masuk sekolah, jiwanya telah matang untuk berseklah karena
sipersiapkan di Taman Kanak – Kanak atau TPA, dan jenis – jenis pedidikan anak
pra sekolah. Kohnstamm menyebut periode dengan periode estetis, yang berarti
keindahan. Pada periode ini terdapat tiga ciri khas yang tidak terdapat pada
periode lain, yaitu perkembangan emosi kegembiraan hidup, kebebasan, dan
fantasi. Ketiga ciri tersebut dapat dikembangkan melalui berbagai kegiatan seperti
permainan, dongeng, nyanyian, dan atau menggambar.
Perkembangan
lainnya yang sangat penting adalah perkembangan bahasa. Ada tiga jenis fungsi
bahasa, yaitu untuk menyatakan isi hati dan perasaan, mengadakan komunikasi
dengan orang lain, dan sebagaifungsi berfikir dengan mempergunakan berbagai
jenis pengertian yang terkandung dalam tiap – tiap kata dan kalimat. Bahasa
sebagai alat berfikir adalah yang paling sulit, terutama penggunaan simbol –
simbol atau lambang – lambang.
Pelajaran
bahasa yang telah dimulai sejak anak – anak merupakan pelajaran yang sangat
pentingdalam rangka mengembangkan daya – daya berfikir, berimigrasi, kreasi,
sosial, dan emosi. Dari segi minat, anak memiliki minat egosentrik, artinya
segala perhatiannya masih berkisar pada kepentingan dan pandangan dirinya,
belum dapat memahami kepentingan orang lain. Periode ini disebut pula periode
keras kepala atau trotzalter, yaitu dimana kemauannya sukar dibelokkan dan
sering membandel, tidak dapat dipaksa, suka berguling – guling di lantai untuk
memaksakan kehendaknya. Namun pada periode ini pula anak sudah mulai belajar
bersih dari buang air, tidak lagi ngompol dan buang air sembarangan.
3. Anak sekolah (6 – 12 tahun)
Periode
ini oleh Kohnstamm disebut sebagai periode intelektual, karena sebagian besar
waktu anak dipergunakan untuk pengembangan kemampuan intelektualnya. Perhatian
anak ditujukan kepada dunia ilmu pengetahuan tentang alam dan sekitarnya,. Anak
pada usia ini berada pada sekolah dasar, yang ulai belajar tentang alam dan
masyarakat.
Anak pada umur ini mudah diberi
tugas untuk dilaksanakan, dan mereka bila lingkungannya penuh pengertian, akan
mudah belajar berbagai kebiasaan, misalnya; tidur dan bangun pada waktunya,
makan dan belajar pada waktu dan tempatnya. Anak juga mudah diajak berkerja
sama dan patuh. Anak juga senang membaca buku – buku tentang petualangan,
tentang alam, dan anak mudah menghafal fakta – fakta IPA dan IPS.
Apabila pada usia ini terjadi
kesalahan Pendidikan, akan timbul berbagai masalah perilaku seperti berbohong,
suka berkelahi, nakal, suka mengganggu adik-adiknya, malas belajar, melamun,
tidak naik kelas, merokok, dsb. Untuk memperbaiki salah penyesuaian diri itu,
perlu diteliti latar belakang kehidupan anak, mengapa hal – hal perilaku
menyimpang itu terjadi.
4. Masa remaja atau pubertas (12 – 18
tahun)
Kohnstamm
menyebut periode ini dengan periode sosial, karena dalam masa ini anak
mempunyai minat terhadap hal – hal kemasyarakatan, dan senang hidup dalam
ikatan organisasi. Pada masa ini, remaja sangat menonjol perkembangan nafsu
birahinya karena aktifnya kelenjar – kelenjar hormone sex, dan mulai tertarik
dengan lawan jenisnya.
Pada
usia ini, anak mengalami pertumbuhan jasmani yang cepat, sehingga kadang –
kadang merasa canggung karena perbandingan pertumbuhan kaki dan tangan dengan
tubuhnya yang dirasa kurang serasi. Dia mulai memperhatikan bentuk badannya
dengan sering bercermin, memperhatikan potongan rambutnya, raut muka, pakaian,
dsb. Anak wanita, pertumbuhan jasmaninya lebih menunjukan sebagai wanita
dewasa, yaitu pertumbuhan pinggul, buah dada, kulit yang halus, rambut, dsb.
Dalam
perkembangan moralnya, pada masa ini anak mulai mengenal nilai-nilai rohani,
seperti nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, keindahan, dan ketuhanan. Anak
akan mencari identitas dirinya, ingin tahu bagaimana orang lain memandang
dirinya, memeperhatikan soal – soal kemasyarakatan dan politik serta
kebudayaan.
Pubertas
ialah periode dimana anak duduk di sekolah lanjutan pertama. Sesudah itu tiba
waktu adolesensi yang dapat dilanjutkan sampai umur 21 tahun, yaitu apabila
anak sudah masuk perguruan tinggi. Pada periode ini anak mulai menunjukkan
sifat – sifat kedewasaan, lebih stabil, lebih besar tanggung jawabnya, tertarik
pada pekerjaan dan cita – cita yang sudah mantap. Pada umumnya, jika anak sudah
melewati umur 18 tahun anak mulai memiliki teman akrab dari lawan jenis dan
mulai mantap. Prestasi sekolah yang baik akan membawa stabilitas kepribadian
menjadi lebih baik, sebaliknya jika terjadi kegagalan dalam sekolah akan
menimbulkan berbagai jenis masalah dan tidak sesuai dalam perilaku.
5. Teori-teori Belajar dalam Pendidikan
Pemahaman
terhadap teori-teori belajar dari sudut pendekatan psikologis, merupakan upaya
mengenali realitas kondisi obyektif terhadap anak yang sedang mengalami proses
belajar dalam rangka proses pertumbuhan dan perkembangan menuju kedewasaannya.
Pendekatan dari suatu teori tertentu bukanlah merupakan kebenaran yang diyakini
sebagai satu-satunya pendekatan, tetapi merupakan asumsi yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaannya, berkaitan dengan dengan berbagai aspek
dan efek yang mungkin akan menimbulkan dampak tertentu. Di bawah ini teori-teori perkembangan yang
memiliki pengaruh terhadap perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.
A. Teori Psikologi Kognitif (Kognitivisme)
Psikologi
kognitif yang dipengaruhi oleh Kurt Lewin, John Dewey, dan Kohler, mempunyai
pandangan bahwa proses belajar pada manusia melibatkan proses pengenalan yang
bersifat kognitif. Cara belajar orang dewasa berbeda dari cara belajar anak,
dimana cara belajar pada orang dewasa lebih banyak melibatkan kemampuan
kognitif yang lebih tinggi. Untuk menjelaskan proses belajar harus
mempertimbangkan proses kognisi (pengetahuan) yang turut ambil bagian selama
proses belajar berlangsung. Pengenalan terhadap sesuatu secara langsung yang
melibatkan logika ataupun dengan pengalaman disebut discovery atau penemuan,
sedangkan proses belajar yang melibatkan kognisi tingkat tinggi, disebut
belajar dengan intuisi.
Para
ahli psikologi kognitivisme memandang bahwa perkembangan kognisi seseorang
mengalami tahap-tahap perkembangan sesuai dengan bertambahnya usia individu.
Jean Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognisi dari usia anak dan remaja
menjadi empat tahap, yaitu :
a. Tahap sensori-motorik (0,0 -2,0).
Tingkah laku anak pada tahap ini dikendalikan oleh perasaan dan aktivitas
motorik, impresi anak akan dunianya dibentuk oleh persepsi akan perasaannya.
Pengenalan anak terbatas pada benda konkrit.
b. Tahap operasi awal (2,0 - 6,0), dimana
anak mulai mengenal simbol, termasuk simbol verbal.
c. Tahap operasi konkrit (7,0 – 11,0),
yaitu masa anak mulai membandingkan pendapat orang lain, mulai bisa membedakan,
sekalipun masih bergantung pada masalah-masalah yang konkrit.
d. Tahap operasi formal (12,0 – keatas),
yaitu perkembangan kognisi anak yang sudah mampu berpikir abstrak, tanpa
terbatas kepada hal-hal yang konkrit. (M.I. Soelaeman, 1985; 328)
Ahli
lain , Jerome Bruner mengemukakan tiga sistem pengolahan informasi oleh
individu yang berkaitan dengan perkembangan kognisi yang akan membentuk
struktur pengenalan terhadap dunianya. Menurut Brunner, perkembangan
intelektual dapat dijelaskan ke dalam tiga sistem atau tahapan, yaitu:
a. Tahap enactive, yaitu tahapan
perkembangan kognisi anak dalam memahami lingkungan melalui respon-respon
motorik,
b. Tahap iconic, yaitu perkembangan
kognisi anak yang mulai mampu berpikir atas dasar model,gambar, atau hal-hal
konkrit,
c. Tahap symbolic, yaitu tahap berpikir
anak yang tidak terbatas pada hal-hal konkrit, anak mampu berpikir abstrak atas
dasar simbol bahasa, mampu menggunakan bahasa sebagai alat berpikir, hingga
dapat diketahui tingkat struktur pengetahuan seseorang atau sebaliknya.
Teori
Piaget tersebut, bukanlah teori belajar, tetapi mempunyai implikasi terhadap
proses belajar mengajar. Teori tersebut mengimplikasikan bahwa proses belajar
mengajar harus memperhatikan tahap perkembangan kognisi anak. Guru harus
memiliki rancangan materi belajar yang memungkinkan anak dapat mengembangkan
kesadaran terhadap masalahnya sendiri. Guru mempunyai peranan penting dalam
aktivitas belajar mengajar, yaitu guru harus lebih aktif dalam kegiatan belajar
mengajar, memilih materi belajar dan menciptakan situasi belajar, sehingga anak
terlibat secara aktif. Implikasi lainnya adalah bahwa guru harus mempertimbangkan
kemampuan berpikir anak sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak. Peranan
guru dalam proses belajar mengajar yang didasarkan pada teori Piaget, dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.Merancang program, menata lingkungan
yang kondusif, memilih materi pelajaran, dan mengendalikan aktivitas murid
untuk melakukan inkuiri dan interaksi dengan lingkungan,
2.Mendiagnosa tahap perkembangan murid,
menyajikan permasalahan kepada murid yang sejajar dengan tingkat
perkembangannya,
3.Mendorong perkembangan murid ke arah
perkembangan berikutnya dengan cara memberikan latihan, bertanya, dan mendorong
murid untuk melakukan eksplorasi.
Pentahapan
perkembangan intelektual dari Brunner, mempunyai implikasi yang tidak jauh
berbeda dengan teori Piaget. Guru yang mengajar pada tahap enactive,
menciptakan situasi yang memungkinkan murid berbuat sesuai dengan objek yang
nyata secara fisik. Pada tahap iconic, guru dapat menyajikan masalah melalui
pertunjukan (demonstrasi) atau dengan menyajikan gambar dan model. Sedangkan
pada tahap symbolic, guru dapat menyajikan persoalan melalui bahasa verbal, dan
murid telah mampu berpikir secara verbal.
Redja
Mudyahardjo (1989;73-74) mengemukakan, bahwa pengaruh teori belajar kognitif
terhadap pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Individualisasi: perlakuan individual
didasarkan pada tingkat perkembangan anak.
b. Motivasi: motivasi belajar bersifat
intrinsik melalui pengetahuan yang telah dimiliki,
c. Metodologi: mempergunakan kurikulum dan
metode yang mengembangkan keterampilan dasar berpikir, dan juga mengembangkan
bahan pelajaran.
d.
Tujuan
kurikuler: memusatkan diri pada pengembangan kemampuan secara keseluruhan,
gera, pedriaan (pengamatan), berbahasa, dan berpikir. Interaksi sosial
dibutuhkan dalam rangka mengembangkan intelegensi.
e. Bentuk pengelolaan kelas: berpusat pada
anak, peranan guru adalah berfungsi membimbing anak dalam belajar bereksplorasi
dan bereksperimentasi,
f. Efektivitas pengajaran: program
pengajaran disusun dalam bentuk pengetahuan yang terpadu, konsep dan
keterampilan dirancang secara hierarkhis,
g.Partisipasi siswa: partisipasi siswa
terutama dituntut untuk melakukan pengembangan kemampuan berpikir, dan melalui
belajar dan bekerja.
h.Kegiatan belajar siswa: kegiatan
belajar mengutamakan metode tilikan dan pemahaman,
i. Tujuan umum pendidikan: mengembangkan
fungsi-fungsi kognitif secara optimal, dan menggunakan kecerdasan secara
bijaksana.
B. Teori Psikologi Humanistik
Abraham
H. Maslow dan Carl R. Rogers, adalah tokoh humanisme. Menurut aliran humanisme
bahwa perilaku manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh faktor
internal, dan bukan oleh kondisi lingkungan ataupun pengetahuannya. Manusia
yang mencapai puncak perkembangan adalah yang mampu mengaktualisasi dirinya;
mampu mengembangkan potensinya dan merasa dirinya itu utuh, bermakna , dan
berfungsi.
Aliran
humanisme menolak proses belajar yang mekanis, karena belajar merupakan fungsi
keseluruhan pribadi. Aliran ini meyakini bahwa motivasi belajar harus datang
dari dalam diri individu sendiri. Belajar akan bermakna, manakala melibatkan
pengalaman langsung, berpikir dan merasa, atas kehendak sendiri dan melibatkan
seluruh pribadi siswa. Carl R. Rogers dalam Dasar-dasar Kependidikan
(1988;332), mengemukakan prinsip-prinsip belajar sebagai berikut:
a. Manusia mempunyai dorongan untuk
belajar, dorongan ingin tahu, melakukan eksplorasi dan mengasimilasi pengalaman
baru,
b. Belajar akan bermakna, apabila yang
dipelajari itu relevan dengan kebutuhan anak,
c. Belajar diperkuat dengan jalan
mengurangi ancaman eksternal, seperti hukuman, sikap merendahkan murid,
mencemoohkan dan sebagainya.
d. Belajar dengan inisiatif sendiri akan
melibatkan keseluruhan pribadi, baik intelektual maupun perasaan,
e. Sikap berdiri sendiri, kreativitas dan
percaya diri diperkuat dengan penilaian diri sendiri.
Pandangan
kaum humanis tentang proses belajar mengimplikasikan perlunya penataan
prioritas kegiatan pendidikan dan peranan guru. Pendidikan yang bersifat
humanis, menekankan pada pertumbuhan yang seimbang antara kognitif dan afektif
dari pada aspek isi yang dipelajari. Peranan guru lebih berperan sebagai
fasilitator daripada sebagai pengajar.
Tujuan
pendidikan menurut kaum humanis adalah realisasi diri, yakni suatu kondisi
dimana individu mencapai kesadaran akan dirinya sendiri, lingkungan dan sistem
nilai. Individu yang mencapai realisasi diri akan merasa dirinya penuh makna,
bebas, karena mampu hidup dalam keragaman, sadar akan tanggung jawab, kreatif
dan produktif. Untuk mencapai tujuan tersebut, guru berperan sebagai
narasumber, fasilitator belajar, dan bukan inspektor atau instruktur yang
mengendalikan kelas. Apabila guru berperan sebagai fasilitator, menurut Carl R.
Rogers (1985;334) maka ia mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Membantu menciptakan iklim kelas yang
kondusif dan sikap positif terhadap belajar,
b. Membantu siswa mengklasifikasikan
tujuan belajar, dan guru memberikan kesempatan secara bebas kepada siswa untuk
menyatakan apa yang hendak ingin mereka pelajari,
c. Membantu siswa mengembangkan dorongan
dan tujuannya sebagai kekuatan untuk belajar,
d. Menyediakan sumber-sumber belajar,
termasuk juga menyediakan dirinya sebagai sumber belajar bagi siswa.
Proses
belajar yang berlandaskan pada
humanisme, menekankan kepada pentingnya hubungan “interpersonal”, sikap
menerima murid sebagai seorang pribadi yang mempunyai kemampuan, dan peranan
guru sebagai partisipan dalam proses belajar bersama.
C. Teori
belajar Behavioristik
E.L.
Thorndike dan B.F. Skinner adalah dua orang tokoh psikologi yang berpandangan
behavioristik. Aliran ini memandang bahwa perilaku manusia adalah hasil pembentukan
melalui kondisi lingkungan. Prinsip ini dikenal dengan prinsip “operant
conditioning” yang dikembangkan oleh Skinner. Perilaku adalah hal-hal yang
berubah dan dapat diamati. Perilaku individu dipahami dalam hubungannnya dengan
peristiwa yang mendahuluinya. Asumsi pokok yang melandasi behaviorisme, menurut
M.I. Soelaiman; (1985;335) adalah sebagai berikut:
a. Perilaku itu
dipelajari dan terbentuk dengan adanya ikatan asosiatif antara stimulus dan
respon (S-R)
b. Manusia pada
dasarnya mencari kesenangan dan menghindari hal-hal yang menyakitkan,
c. Perilaku pada
dasarnya ditentukan oleh lingkungan.
Menurut
teori behavioristik, ada tiga hal yang mempengaruhi proses belajar seseorang
yaitu: stimulus, respon, dan akibat. Stimulus sebagai sesuatu yang datang dari
lingkungan yang dapat membangkitkan respon individu. Sedangkan akibat adalah
sesuatu yang terjadi setelah individu merespon, baik yang sifatnya positif
maupun negatif. Akibat yang memberikan kepuasan, bersifat positif bagi
individu, dan akan memperkuat motivasi belajar yang lebih jauh, sedangkan
akibat yang tidak memberikan kepuasan, cenderung dihindarkan. Prinsip ini
disebut “reinforcement”.
Hasil
belajar adalah perilaku yang dapat diobservasi dan diukur, yang
mengimplikasikan bahwa proses belajar behaviorisme menekankan pentingnya
keterampilan dan pengetahuan akademis maupun perilaku sosial sebagai hasil
belajar. Adapun tujuan pendidikan menurut aliran behaviorisme adalah
berorientasi pada pengembangan kompetensi, penguasaan secara tuntas terhadap
apa-apa yang dipelajari. Tujuan pendidikannya adalah bersifat eksternal, yaitu
dirumuskan dan ditentukan berdasarkan pengaruh lingkungan, baik yang sifatnya
sosio-kultural maupun lingkungan fisik. Tujuan-tujuan pendidikannya mengabaikan
masalah kehidupan pribadi siswa, lebih berorientasi kepada tujuan-tujuan diluar
diri siswa. Murid dianggap tidak perlu melakukan pengendalian belajar sendiri.
Peranan
guru dalam proses belajar adalah sebagai pengambil inisiatif dan pengendali
proses belajar. Tugas-tugas guru dalam hal ini adalah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi perilaku yang dipelajari dan merumuskannya
dalam rumusan spesifik
2) Mengidentifikasi perilaku yang diharapkan dari proses
belajar. Bentuk-bentuk kompetensi yang diharapkan dalam bidang studi,
dijabarkan secara spesifik dalam tahap-tahap kecil. Penguasaan keterampilan
melalui tahap-tahap ini sebagai tujuan yang akan dicapai dalam proses belajar
3) Mengidentifikasi reinforcer yang memadai. Reinforcer
dapat berbentuk mata pelajaran, kegiatan belajar, perhatian dan penghargaan,
dan kegiatan-kegiatan yang dipilih siswa
4) Menghidarkan perilaku yang tidak diharapkan dengan jalan
memperlemah pola perilaku yang dikehendaki.
Ada dua hal pokok yang merupakan implikasi dari teori
behaviorisme, yaitu:
1) Modifikasi perilaku dengan menggunakan cara-cara yang
spesifik dan menggunakan sistem ganjaran (reinforcer).
2) Pengajaran berprogram yang menunjuk kepada: (a) cara umum
tentang perencanaan dan sistem penyajian pengajaran, (b) hasil yang spesifik,
teks yang diprogram, atau pertunjukkan film slide dan televisi. Salah satu
implikasi dari teori belajar behavioristik adalah model pengajaran dengan
menggunakan mesin (teaching machine), pengajaran berkomputer, dan
pengajaran moduler.
Pengaruh
teori belajar behaviorisme terhadap pendidikan, sebagaimana yang diuraikan oleh
Redja Mudyahardjo (1989;72) dapat dirangkum sebagai berikut:
1) Individualisasi: Perlakuan individual didasarkan pada
tugas, ganjaran dan disiplin
2) Motivasi: Motivasi belajar bersifat ekstrinsik melalui
pembiasaan terus menerus (dapat menjadi reinforcement)
3) Metode: Metode belajar dijabarkan secara rinci untuk
mengembangkan keterampilan dan pengetahuan tertentu serta menggunakan teknologi
pendidikan
4) Tujuan-tujuan kurikuler: Tujuan kurikuler, memusatkan
diri pada pengetahuan dan keterampilan akademis serta tingkah laku sosial
5) Bentuk pengelolaan kelas: Berpusat pada guru, sedangkan
hubungan sosial digunakan sebagai cara berkomunikasi, bukan sebagai tujuan
pengajaran
6) Usaha mengefektifkan kelas: Program pengajaran disusun
secara rinci dan bertingkat, dan proses belajar lebih mengutamakan penguasaan
bahan
7) Partisipasi siswa: Secara umum siswa menunjukkan perilaku
pasif
8) Kegiatan belajar siswa: Pemahiran keterampilan melalui
pembiasaan bertahap, yaitu melakukan praktek setapak demi setapak secara rinci
9) Tujuan umum pendidikan: Pendidikan bertujuan mencapai
kemampuan mengerjakan sesuatu atau mencapai tingkat kompetensi tertentu.
Proses
belajar yang behavioristik menunjukkan proses belajar setahap demi setahap
secara terperinci dan tergambarkan dalam sekuensi logis dari informasi yang
akan disajikan. Prinsip ini mengimplikasikan bahwa kurikulumnya lebih
menggambarkan perincian tentang apa-apa yang akan disajikan kepada murid.
Setiap tujuan umum dijabarkan menjadi tujuan yang lebih khusus. Suatu bidang
studi dipecah menjadi pokok-pokok bahasan, dan sub-sub pokok bahasan. Semuanya
linier dengan tujuan khusus yang dirumuskan terlebih dahulu.
6. Jenis – Jenis Upaya Pendidikan
Upaya
pendidikan adalah suatu cara usaha pendidikan untuk membimbing anak mencapai
kedewasaannya.cara usaha itu dapat berbentuk pendidikan atau situasi yang
dengan sengaja diadakan untuk pendidikan anak. Upaya pendidikan berbeda artinya
dengan faktor pendidikan. Pada faktor pendidikan,adalah suatu pengaruh yang
tidak sengaja dilakukan oleh pendidik, tetapi walaupun demikian dapat mempunyai
pengaruh terhadap anak yang sama dengan upaya yang dengan sengaja diadakan oleh
pendidik.
Perbuatan
pendidik yang sengaja ditonjolkan kepada anak sebagai teladan atau nasehat yang
selalu dikemukakan kepada anak, biasanya memberikan efek yang diharapkan,
karena anak akan merasa tersinggung dalam kemandiriannya. Sebenarnya yang
mendidik anak itu bukan nasehat atau teladan yang kita tonjolkan, melainkan
suasana lingkungan atau iklim psikologis yang kita ciptakan oleh keberadaan
kita dengan kualitas dan suasana tertentu yang dapat memotivasi anak berbuat
sebaik mungkin demi kepentingan perkembangan jiwanya sendiri menuju kedewasaan.
Proses
pendidikan berlangsung dalam pergaulan antara pendidik dan anak didik, dalam
upaya pendidikan dilaksanakan dalam pergaulan pedagogis tersebut. Upaya
pendidikan dapat berupa: perintah, larangan, ajakan, saran, dorongan, dsb.
Sebagai cara upaya itu mempunyai hasil yang diharapkan, sangat tergantung
kepada kepribadian pendidik. Bila pendidik tidak berwibawa, maka upaya
pendidikan yang dilaksanakan akan kurang atau tidak mempunyai efek kepada anak.
Jadi upaya pendidikan sebenarnya suatu perbuatan kewibawaan. Pendidik yang
berwibawa adalah bila ia telah melaksanaka sendiri nilai yang ingin disampaikan
kepada anak didik. Setiap upaya pendidikan dilaksanakan berhubungan tiga hal,
yaitu:
1. Mencapai suatu tujuan pendidikan.
Tujuan-tujuan pendidikan tersebut dibagi menjadi beberapa jenis tujuan, yaitu:
tujuan umum, khusus, incidental, sementara, tujuan tidak lengkap.
2. Bentuk upaya yang dipergunakan, seperti
larangan, perintah, dsb.
3. Efek terhadap anak.
7. Perkembangan Individu dan Implikasinya
Terhadap Pendidikan
Dalam
perjalanan hidupnya setiap individu mengalami perkembangan, yaitu
perubahan-perubahan yang teratur sejak dari pembuahan sampai mati. Perubahan
pada indiividu dapat berbentuk kematangan (maturation) dan berbentuk
belajar. Kematanagn adalah perubahan yang terjadi secara alami dan spontan
tanpa dipengaruhi dari luar, sedangkan belajar merupakan perubahan yang terjadi
sebagai hasil dari pengalaman atau latihan. Sekurang-kurangnya ada tiga prinsip
umum perkembangan individu, yaitu (1) perkembangan setiap individu menunjukkan
perbedaan dalam kecepatan dan irama; (2) perkembangan berlangsung relatif teratur,
dan (3) perkembangan berlangsung berangsur secara bertahap. Setiap tahap
perkembangan individu mempunyai tugas-tugas perkembangan (developmental task)
yang harus diselesaikan oleh individu ( Robert Havigurst).
Berdasarkan
perkembangan indiviidu, tenaga kependidikan memerlukan ilmu pendidikan yang cocok
dengan tingkat perkembangan usia. Bagi anak-anak, pendidikan dikenal dengan
istilah pedagogi yang berarti ilmu dan seni mengajar (membelajarkan) anak-anak
(pedagogy is the science and arts of teaching children) (Knowles, 1977).
Bagi orang dewasa, pendidikan dikenal dengan istilah andragogi yaitu ilmu dan
seni membantu orang dewasa belajar (andragogy is the science and arts of
helping adults learn) (Cross, 1982). Bagi lanjut usia, pendidikan dikenal
dengan gerogogi yaitu ilmu dan seni untuk membantu manusia lanjut usia belajar
(gerogogy is the science and arts of helping aging learn). Masing-masing
ilmu pendidikan tersebut dalam prakteknya memiliki asumsi dan karekateristik
yang berbeda sesuai dengan tingkat perkembangan individu yang menjadi peserta
didiknya.
8. Teori Belajar dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan
Salah
satu bentuk proses pendidikan adalah interaksi belajar mengajar. Pola belajar
mengajar antara lain dipengaruhi oleh penampilan guru dalam mengajar, dan
penampilan guru dalam mengajar antara lain dipengaruhi oleh pengetahuan guru
tentang mengajar yang tidak lain adalah teori belajar yang digunakan guru .
Teori belajar telah banyak dikembangkan orang, namun dalam rangka pengenalan
teori belajar yang menjadi acuan pokok dapat dikemukakan tiga kelompok besar
teori belajar yaitu teori belajar kognivisme, teori belajar behaviorisme dan
teori belajar humanisme. Ketiga teori belajar tersebut masing-masing memiliki karakteristik
dan implikasi yang berbeda dalam prosespendidikan.
Leave a Comment