BAB VI: LANDASAN PSIKOLOGIS PENDIDIKAN


BAB VI: LANDASAN PSIKOLOGIS PENDIDIKAN

1.      Pengertian Landasan Psikologis Pendidikan
Secara etimologis, istilah psikologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata psyche berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Namun apabila mengacu pada salah satu syarat ilmu yaitu adanya objek yang dipelajari maka tidaklah tepat mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa karena jiwa bersifat abstrak. Oleh karena itu yang sangat mungkin dikaji adalah manifestasi dari jiwa itu sendiri yaitu dalam wujud perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungan. Dengan dasar ini maka psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang memperlajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Landasan psikologis pendidikan adalah suatu landasan dalam proses pendidikan yang membahas berbagai informasi tentang kehidupan manusia pada umumnya serta gejalagejala yang berkaitan dengan aspek pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu untuk mengenali dan menyikapi manusia sesuai dengan tahapan usia perkembangannya yang bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan. Kajian psikologi yang erat hubungannya dengan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpiki, dan belajar (Tirtarahardja, 2005: 106).
Landasan psikologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari studi ilmiah dalam bidang psikologi yang menjadi sandaran, tumpuan atau titik tolak studi dan praktek pendidikan Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan. Psikologi pendidikan merupakan salah satu cabang ilmu pendidikan yang dipengaruhi oleh perkembangan dan hasil-hasil penelitian psikologi, yang bertolak dari asumsi bahwa pendidikan ialah hal ihwal individu yang sedang belajar.

2.      Dimensi Proses Pendidikan
Pendidikan mempunyai dimensi tujuan untuk memperbaiki perilaku. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak agar anak memiliki integritas kepribadian, serta mampu bertanggung jawab.  Prof. Dr. Kohnstamm berpendapat tentang pembedaan lapisan perilaku pada berbagai jenis makluk yang di sebut sebagai “nevous van gedringen”, yaitu:
1. Lapisan perilaku anorganis, seperti peristiwa jatuh baik pada makhluk hidup maupun mati.
2. Lapisan vegetative atau nabati, yaitu lapisan tentang segala proses yang terdapat dalam tubuh untuk memelihara kehidupan jasmani.
3. Perilaku animal atau hewani, yaitu lapisan yang sifatnya sudah berupa dorongan yang bersifat naluriah.
4. Perilaku manusiawi, yaitu perilaku yang hanya dimiliki manusia. Lapisan ini meliputi potensi-potensi manusiawi, yaitu: (1) adanya kemauan yang dapat menguasai hawa nafsu, sehingga manusia dapat menunda perbuatannya, (2) adanya kesadaran intelektual, sehingga manusia dapat mengembangkan ilmunya, (3) adanya kesadaran diri, yaitu kemampuan menyadari sifat-sifat yang ada pada diri, (4) manusia sebagai makhluk sosial, misalnya dapat mengatur hidupnya dengan orang lain, (5) manusia mempunyai bahasa simbolis, (6) manusia dapat menyadari nilai-nilai.
5. Lapisan mutlak, manusia dapat menghayati kehidupan beragama dan religious, sehingga dapat berkomunikasi dengan Tuhan.
Dalam pendidikan, lapisan perilaku yang menjadi bidang garapan ialah jenis-jenis perilaku dari lapisan human dan mutlak. Proses pendidikan dapat berlangsung dalam berbagai jenis dimensi perilau, dan menyangkut aspek kognitif yang sebagaian besar dilakukan di sekolah.

3.      Tugas – Tugas Pokok Perkembangan
Proses pendewasaan manusia itu adalah pertemuan antara pertumbuhan potensi dari dalam pada anak dan pengaruh dari lingkungan yang sebagian diatur dengan sengaja yang disebut pendidikan. Dengan demikian, pendidikan terdiri atas pelaksanaan tugas-tugas perkembangan potensi pada anak (development tasks). Dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan, harus memperhatikan tahap-tahap pertumbuhan tertentu, dan setiap pertahapan perkembangan anak mempunyai dasar pemikiran sendiri sesuai dengan konsep atau teori yang dipakai untuk mengadakan periodesasi itu.
Menurut Robert Havighurst, tugas perkembangan ialah tugas yang terdapat pada suatu tahap kehidupan seseorang, yang akan membawa individu kepada kebahagiaan dan keberhasilan dalam tugas-tugas pengembangan berikutnya, yaitu apabila tahap kehidupan tersebut dijalani dengan berhasil. Sedangkan kegagalan dalam melaksanakan tugas pengembangan, akan mengakibatkan kehidupan tidak bahagia pada individu dan kesukaran-kesukaran lain dalam hidupnya kelak.
Tahap-tahap pengembangan menurut Erickson, yang diadopsi oleh Sikun Pribadi (1984; 156-159) adalah sebagai berikut:
1. The sense of trust (kemampuan mempercayai), kira-kira umur 0-12 bulan. Kemampuan dan penghayatan ini telah mulai berkembang sejak bayi lahir, karena diliputi oleh suasana yang hangat, mesra dan kasih sayang oleh ibu terhadap anak dan semua anggota keluarga, sehingga mempercayai bahwa segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Kemampuan ini adalah dasar kepercayaan pada orang lain, diri sendiri, dan percaya bahwa hidup ini penuh dengan kebaikan. Anak yang tidak dapat mengembangkan kemampuan ini, akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidup, kurang dapat menghayati kebaikan-kebaikan dan kebahagiaan hidup, mudah gelisah, akan merasa kurang disayangi dan kurang dapat menyayangi orang lain, kurang dapat mempercayai diri sendiri dan orang lain.
2. The sense of authonomy (kemampuan berdiri sendiri) kira-kira umur 1,5 - 3 tahun. Pada tahap ini anak menghadapi tugas untuk mempertegas kehadirannya sebagai manusia yang mempunyai kesadaran dan kemauan sendiri serta dapat berdiri sendiri, walaupun dalam hal-hal tertentu ia membutuhkan bantuan dan bimbingan dari orang lain. Pada masa ini, pendidik sebaiknya jangan meremehkan keberadaan anak dan dijaga jangan sampai anak dipermalukan.
Kita harus mendukung perasaan anak, bahwa ia adalah pribadi yang mempunyai harga diri dan kita perlukan, dengan toleransi, penghargaan dan kehormatan. Kepercayaan tersebut merupakan pantulan dari kondisi kejiwaan ibu dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri, maka kemampuan anak akan otonomi merupakan pantulan dari kondisi kejiwaan orang tuanya, yaitu bahwa mereka mempunyai perasaanharga diri yang mantap.
3. The sense of initiative  (kemampuan berprakarsa) kira-kira umur 3,5 - 5,5 tahun. Anak pada umur ini ingin menemukan kemampuan-kemampuan  yang tersimpandalam dirinya. Dia mencari kesempatan dan rasa kebebasan untuk mengembangkan kemampuannya itu dengan banyak mencoba-coba, meniru orang lain, mengembangkan daya fantasinya, kreativitasnya dan inisiatifnya. Banyak kritikan, ejekan, penekanan kemampuannya, akan menghambat perkembangan kepribadiannya, untuk selanjutnya anak membutuhkan dorongan, penghargaan dan dukungan, bukan kritikan dan penekanan.
4. The sense of accomplishment (kemampuan menyelesaikan tugas),kirakira umur 6 - 12 tahun. Pada periode ini anak nampak rajin dan aktif, karena ingin menyelesaikan tugas-tugas yang dirasakan pada dirinya. Oleh karena itu, penting sekali untuk menjaga perasaan anak jangan sampai ia merasa dirinya rendah diri, merasa kurang mampu berprestasi. Pada satu pihak, kita harus menjaga jangan sampai anak ini kekurangan tantangan tugas-tugas untuk diselesaikan, dan pada pihak lain kita tidak boleh terlambat membebani anak dengan tugas-tugas yang dirasakan terlampau berat baginya, yaitu untuk menjaga jangan sampai ia merasa dirinya rendah atau timbul sikap putus asa. Periode ini juga dapat disebut umur sekolah,  oleh karena itu, anak tidak boleh gagal dalam sekolahnya, ia harus dapat memperoleh kepuasan karena ia telahberhasil, dan rasa keberhasilan ini akan memperkuat perkembangan kepribadiannya. Setiap sukses akan memberikan perasaan mampu pada dirinya, mampu menyelesaikan tugas-tugas yang dijadikan modal untuk menyelesaikan tugas-tugas lebih lanjut yang lebih berat.
5. The sense of identity  (kemampuan meyakini identitasnya) kira-kira umur 12 - 18 tahun. Periode ini adalah periode remaja atau adolesensi, yaitu periode dimana anak mencari identitasnya, yang dapat menjawab siapakah dia, bagaimana sifat-sifat baiknya, bagaimana hubungannya dengan orang lain. Mula-mula ia diombang-ambing antara perasaan dirinya masih anak-anak, tetapi sebaliknya ia merasa sudah mulai dewasa. Dalam mencari keseimbangan pada dirinya untuk menemukan dirinya, ia mencoba-coba memainkan berbagai peranan, dimana ia mencoba mengidentifikasikan dirinya dengan berbagai tokoh yang dianggapnya berkepribadian. Ia ingin tahu orang bagaimanakah dia itu, bagaimana orang lain menilai dirinya, apakah dia sudah memenuhi norma-norma yang ideal. Pada umumnya, kesadaran akan identitas anak berkembang dari penilaian oleh kelompoknya, orang tuanya dan dirinya.
6. Tahap kedewasaan: ada tiga tahap periode ini yang dimulai dari tahap keakraban  (intimacy), kemampuan mengurus  (generativity) dan tahap keutuhan kepribadian  (integrity)
a. Intimacy  (keakraban), merupakan ciri yang penting pada periode dewasa, yang memperlihatkan kedekatan kepada lain jenis, persahabatan, kepemimpinan, kasih sayang, cinta, perjuangan, persaingan dan cita-cita.
b. Generativity  (kemampuan mengurus), adalah ciri yang menunjukkan seseorang mampu mengurusi orang lain, baik terhadap keluarga maupun masyarakat, sehingga mampu membentuk keluarga, seperti suami mampu mengurusi istri atau sebaliknya dan terhadap anak-anaknya.
c. Integrity  (integritas kepribadian), merupakan tingkat kedewasaan yang penuh tanggungjawab, yang dapat menerima dirinya dan orang lain, memiliki rasa sayang terhadap sesama manusia lainnya, jujur, memiliki harga diri yang tinggi, memiliki pandangan yang objektif terhadap dirinya, orang lain dan segala peristiwa dalam kehidupan, serta memiliki kejiwaan yang stabil dan otentik  (tidak dibuat-buat).

4.  Pemahaman terhadap Perkembangan Pribadi Anak
               Perkembangan terhadap perkembangan pribadi anak tidak hanya dilakukan dengan observasi dan eksperimen, tetapi juga dapat dilakukan dengan introspeksi dan empati, yaitu kemampuan menempatkan diri dalam pribadi anak, sehingga dunia kejiawaan anak dapat dipahami. Pemahaman dunia anak bukan hanya sebagai makhluk biologis saja, melainkan sebagai makhluk psikis dan spiritual.
            Pemahaman taerhadap dunia anak adalah dalam rangka upaya mengembangkan potensi anak agar memahami kemampuan dirinya, serta mencapai kedewasaan. Secara umum, perkembangan kehidupan anak dapat dibagi ke dalam peiodasi sebagai berikut:
1.      Anak bayi (0 – 1 tahun)
2.      Kanak – kanak (1 – 5 tahun)
3.      Anak sekolah (5 – 12 tahun)
4.      Remaja (12 – 18 tahun)
Pada setiap periode perkembangan mempunyai kekhasannya sendiri, karena ada dimensi – dimensi tertentu yang menonjol sehingga kita dapat memahami karakteristik perilaku anak pada tiap – tiap periodenya.

1.      Anak bayi (0 – 1 tahun)
Periode ini disebut sebagai periode vital. Periode ini mempunyai makna mempertahankan hidup, yaitu anak dilengkapi dengan beberapa kemampuan, terutama dengan insting dan naluri. Insting adalam kemampuan yang telah ada sejak lahir yang sifatnya psiko-fisik (mempunyai segi psikis dan fisik) untuk dapat mereaksi terhadap lingkungan. Perilaku mereaksi terhadap lingkungan terjadi tanpa belajar dan meliputi segi – segi kognitif (kesadaran), afektif (emosi) dan konatif (perilaku yang melibatkan sistem psiko-motorik) serta kejasmanian.
Beberapa contoh perbuatan insting ialah sebgai berikut:
-    Insting anak menangis, misal sebagai reaksi terhadap rasa dingin, maka setelah diangkat dan dibelai oleh ibunya ia langsung diam karena ia telah terpenuhi rasa aman. Rasa aman sangat vital bagi kelangsungan hidup bayi. Belaian (stroking hunger) merupakan kebutuhan primer bagi bayi. Bayi yang kurang mendapat belaian kasih saying dari ibunya, kelak dalam hidupnya akan merasa kurang tenang dan selalu mencoba manarik perhatian orang lain.
-    Insting lari (flight instinct), yaitu sebuah reaksi seperti menangis. Walauun anak tidak melakukan gerakan lari karena memang belum bisa berlari, insting ini berupa suatu reaksi takut yang dapat kita perhatikan melalui reaksi mukanya. Lari dalam hal ini diartikan menghindar.
-    Insting sosial, sebagai alat untuk memungkinkan anak berkomunikasi dengan lingkungannya (lingkungan sosial). Hal tersebut dapat diamati ketika seorang bayi mereaksi dengan senyum ketika ibunya mengajak bicara, walaupun bayi tersebut belum mengerti kata – kata yang diucapkan ibunya.
-    Insting meniru, yaitu anak suka meniru perbuatan ibunya, misalnya menirukan kata – kata “mama” dan “papa” pada saat anak mulai belajar bicara. Tanpa adanya insting meniru anak tak dapat belajar bahasa. Oleh karena itu, bahasa yang dipelajari anak pada permulaan hidupnya adalah bahasa ibu.
-    Insting refleks, yaitu suatu reaksi otomatis dari bagian – bagian badan terentu bila terkenan rangsangan, seperti biji mata pupil (pupil reflex) bila ada perubahan cahaya yang mengenai matanya, maka ia akan berkedip bila terkena caha terlalu kuat. Refleks – refleks yang lainnya, misalnya terkejut, menggenggam, refleks jari kaki, dsb.
Modal kejiwaan anak bayi selain insting dan refleks, juga ada kemampuan untuk belajar, walaupun belum dalam bentuk belajar intelektual. Anak bayi dapat meningkatkanketerampilan yang termasuk gerak – gerik badan serta anggota badan lainnya seperti tangan dan kaki. Ia dapat belajar memegang benda, berbaring dengan sisi badannya, menelungkup, merangkak, duduk, berdiri, berjalan, dan lari – lari kecil. Belajar juga dapat dalam bentuk pembiasaan, sehingga perilakunya lebih lancer dan efisien serta tertib dalam hal waktu dan tempat. Beberapa contoh belajar hasil pembiasaan, misalnya tidur, bangun, makan, dan buang air pada waktu dan tempat tertentu. Dasar belajar adalah pengalaman dan pengulangan atau sering melakukan perbuatan tertentu.
            Dalam hal yang berkaitan dengan psikis anak, kita dapat memperhatikan adanya kesadaran sensoris, artinya anak dapat mereaksi terhadap rangsangan dari luar melalui alat pada dirinya, seperti: penglihatan (cahaya dan warna), pendengaran, penciuman, perabaan, dan cita rasa. Mulut pada bayi sering digunakan sebagai alat peraba, untuk mengenali benda – benda yang ada di sekitarnya termasuk tangan dan kakinya.

2.      Peiode kanak – kanak (1 – 5 tahun)
Yaitu usia pra sekolah sebagai periode peralihan dari masa bayi ke usia anak sekolah. Sebelum anak masuk sekolah, jiwanya telah matang untuk berseklah karena sipersiapkan di Taman Kanak – Kanak atau TPA, dan jenis – jenis pedidikan anak pra sekolah. Kohnstamm menyebut periode dengan periode estetis, yang berarti keindahan. Pada periode ini terdapat tiga ciri khas yang tidak terdapat pada periode lain, yaitu perkembangan emosi kegembiraan hidup, kebebasan, dan fantasi. Ketiga ciri tersebut dapat dikembangkan melalui berbagai kegiatan seperti permainan, dongeng, nyanyian, dan atau menggambar.
Perkembangan lainnya yang sangat penting adalah perkembangan bahasa. Ada tiga jenis fungsi bahasa, yaitu untuk menyatakan isi hati dan perasaan, mengadakan komunikasi dengan orang lain, dan sebagaifungsi berfikir dengan mempergunakan berbagai jenis pengertian yang terkandung dalam tiap – tiap kata dan kalimat. Bahasa sebagai alat berfikir adalah yang paling sulit, terutama penggunaan simbol – simbol atau lambang – lambang.
Pelajaran bahasa yang telah dimulai sejak anak – anak merupakan pelajaran yang sangat pentingdalam rangka mengembangkan daya – daya berfikir, berimigrasi, kreasi, sosial, dan emosi. Dari segi minat, anak memiliki minat egosentrik, artinya segala perhatiannya masih berkisar pada kepentingan dan pandangan dirinya, belum dapat memahami kepentingan orang lain. Periode ini disebut pula periode keras kepala atau trotzalter, yaitu dimana kemauannya sukar dibelokkan dan sering membandel, tidak dapat dipaksa, suka berguling – guling di lantai untuk memaksakan kehendaknya. Namun pada periode ini pula anak sudah mulai belajar bersih dari buang air, tidak lagi ngompol dan buang air sembarangan.
3.      Anak sekolah (6 – 12 tahun)
Periode ini oleh Kohnstamm disebut sebagai periode intelektual, karena sebagian besar waktu anak dipergunakan untuk pengembangan kemampuan intelektualnya. Perhatian anak ditujukan kepada dunia ilmu pengetahuan tentang alam dan sekitarnya,. Anak pada usia ini berada pada sekolah dasar, yang ulai belajar tentang alam dan masyarakat.
            Anak pada umur ini mudah diberi tugas untuk dilaksanakan, dan mereka bila lingkungannya penuh pengertian, akan mudah belajar berbagai kebiasaan, misalnya; tidur dan bangun pada waktunya, makan dan belajar pada waktu dan tempatnya. Anak juga mudah diajak berkerja sama dan patuh. Anak juga senang membaca buku – buku tentang petualangan, tentang alam, dan anak mudah menghafal fakta – fakta IPA dan IPS.
            Apabila pada usia ini terjadi kesalahan Pendidikan, akan timbul berbagai masalah perilaku seperti berbohong, suka berkelahi, nakal, suka mengganggu adik-adiknya, malas belajar, melamun, tidak naik kelas, merokok, dsb. Untuk memperbaiki salah penyesuaian diri itu, perlu diteliti latar belakang kehidupan anak, mengapa hal – hal perilaku menyimpang itu terjadi.

4.      Masa remaja atau pubertas (12 – 18 tahun)
Kohnstamm menyebut periode ini dengan periode sosial, karena dalam masa ini anak mempunyai minat terhadap hal – hal kemasyarakatan, dan senang hidup dalam ikatan organisasi. Pada masa ini, remaja sangat menonjol perkembangan nafsu birahinya karena aktifnya kelenjar – kelenjar hormone sex, dan mulai tertarik dengan lawan jenisnya.
Pada usia ini, anak mengalami pertumbuhan jasmani yang cepat, sehingga kadang – kadang merasa canggung karena perbandingan pertumbuhan kaki dan tangan dengan tubuhnya yang dirasa kurang serasi. Dia mulai memperhatikan bentuk badannya dengan sering bercermin, memperhatikan potongan rambutnya, raut muka, pakaian, dsb. Anak wanita, pertumbuhan jasmaninya lebih menunjukan sebagai wanita dewasa, yaitu pertumbuhan pinggul, buah dada, kulit yang halus, rambut, dsb.
Dalam perkembangan moralnya, pada masa ini anak mulai mengenal nilai-nilai rohani, seperti nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, keindahan, dan ketuhanan. Anak akan mencari identitas dirinya, ingin tahu bagaimana orang lain memandang dirinya, memeperhatikan soal – soal kemasyarakatan dan politik serta kebudayaan.
Pubertas ialah periode dimana anak duduk di sekolah lanjutan pertama. Sesudah itu tiba waktu adolesensi yang dapat dilanjutkan sampai umur 21 tahun, yaitu apabila anak sudah masuk perguruan tinggi. Pada periode ini anak mulai menunjukkan sifat – sifat kedewasaan, lebih stabil, lebih besar tanggung jawabnya, tertarik pada pekerjaan dan cita – cita yang sudah mantap. Pada umumnya, jika anak sudah melewati umur 18 tahun anak mulai memiliki teman akrab dari lawan jenis dan mulai mantap. Prestasi sekolah yang baik akan membawa stabilitas kepribadian menjadi lebih baik, sebaliknya jika terjadi kegagalan dalam sekolah akan menimbulkan berbagai jenis masalah dan tidak sesuai dalam perilaku.

5. Teori-teori Belajar dalam Pendidikan
Pemahaman terhadap teori-teori belajar dari sudut pendekatan psikologis, merupakan upaya mengenali realitas kondisi obyektif terhadap anak yang sedang mengalami proses belajar dalam rangka proses pertumbuhan dan perkembangan menuju kedewasaannya. Pendekatan dari suatu teori tertentu bukanlah merupakan kebenaran yang diyakini sebagai satu-satunya pendekatan, tetapi merupakan asumsi yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaannya, berkaitan dengan dengan berbagai aspek dan efek yang mungkin akan menimbulkan dampak tertentu. Di  bawah ini teori-teori perkembangan yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.

A.    Teori Psikologi Kognitif (Kognitivisme)
Psikologi kognitif yang dipengaruhi oleh Kurt Lewin, John Dewey, dan Kohler, mempunyai pandangan bahwa proses belajar pada manusia melibatkan proses pengenalan yang bersifat kognitif. Cara belajar orang dewasa berbeda dari cara belajar anak, dimana cara belajar pada orang dewasa lebih banyak melibatkan kemampuan kognitif yang lebih tinggi. Untuk menjelaskan proses belajar harus mempertimbangkan proses kognisi (pengetahuan) yang turut ambil bagian selama proses belajar berlangsung. Pengenalan terhadap sesuatu secara langsung yang melibatkan logika ataupun dengan pengalaman disebut discovery atau penemuan, sedangkan proses belajar yang melibatkan kognisi tingkat tinggi, disebut belajar dengan intuisi.
Para ahli psikologi kognitivisme memandang bahwa perkembangan kognisi seseorang mengalami tahap-tahap perkembangan sesuai dengan bertambahnya usia individu. Jean Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognisi dari usia anak dan remaja menjadi empat tahap, yaitu :
a.       Tahap sensori-motorik (0,0 -2,0). Tingkah laku anak pada tahap ini dikendalikan oleh perasaan dan aktivitas motorik, impresi anak akan dunianya dibentuk oleh persepsi akan perasaannya. Pengenalan anak terbatas pada benda konkrit.
b.      Tahap operasi awal (2,0 - 6,0), dimana anak mulai mengenal simbol, termasuk simbol verbal.
c.       Tahap operasi konkrit (7,0 – 11,0), yaitu masa anak mulai membandingkan pendapat orang lain, mulai bisa membedakan, sekalipun masih bergantung pada masalah-masalah yang konkrit.
d.      Tahap operasi formal (12,0 – keatas), yaitu perkembangan kognisi anak yang sudah mampu berpikir abstrak, tanpa terbatas kepada hal-hal yang konkrit. (M.I. Soelaeman, 1985; 328)
Ahli lain , Jerome Bruner mengemukakan tiga sistem pengolahan informasi oleh individu yang berkaitan dengan perkembangan kognisi yang akan membentuk struktur pengenalan terhadap dunianya. Menurut Brunner, perkembangan intelektual dapat dijelaskan ke dalam tiga sistem atau tahapan, yaitu:
a.       Tahap enactive, yaitu tahapan perkembangan kognisi anak dalam memahami lingkungan melalui respon-respon motorik,
b.      Tahap iconic, yaitu perkembangan kognisi anak yang mulai mampu berpikir atas dasar model,gambar, atau hal-hal konkrit,
c.       Tahap symbolic, yaitu tahap berpikir anak yang tidak terbatas pada hal-hal konkrit, anak mampu berpikir abstrak atas dasar simbol bahasa, mampu menggunakan bahasa sebagai alat berpikir, hingga dapat diketahui tingkat struktur pengetahuan seseorang atau sebaliknya.
Teori Piaget tersebut, bukanlah teori belajar, tetapi mempunyai implikasi terhadap proses belajar mengajar. Teori tersebut mengimplikasikan bahwa proses belajar mengajar harus memperhatikan tahap perkembangan kognisi anak. Guru harus memiliki rancangan materi belajar yang memungkinkan anak dapat mengembangkan kesadaran terhadap masalahnya sendiri. Guru mempunyai peranan penting dalam aktivitas belajar mengajar, yaitu guru harus lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar, memilih materi belajar dan menciptakan situasi belajar, sehingga anak terlibat secara aktif. Implikasi lainnya adalah bahwa guru harus mempertimbangkan kemampuan berpikir anak sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak. Peranan guru dalam proses belajar mengajar yang didasarkan pada teori Piaget, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.Merancang program, menata lingkungan yang kondusif, memilih materi pelajaran, dan mengendalikan aktivitas murid untuk melakukan inkuiri dan interaksi dengan lingkungan,
2.Mendiagnosa tahap perkembangan murid, menyajikan permasalahan kepada murid yang sejajar dengan tingkat perkembangannya,
3.Mendorong perkembangan murid ke arah perkembangan berikutnya dengan cara memberikan latihan, bertanya, dan mendorong murid untuk melakukan eksplorasi.
Pentahapan perkembangan intelektual dari Brunner, mempunyai implikasi yang tidak jauh berbeda dengan teori Piaget. Guru yang mengajar pada tahap enactive, menciptakan situasi yang memungkinkan murid berbuat sesuai dengan objek yang nyata secara fisik. Pada tahap iconic, guru dapat menyajikan masalah melalui pertunjukan (demonstrasi) atau dengan menyajikan gambar dan model. Sedangkan pada tahap symbolic, guru dapat menyajikan persoalan melalui bahasa verbal, dan murid telah mampu berpikir secara verbal.
Redja Mudyahardjo (1989;73-74) mengemukakan, bahwa pengaruh teori belajar kognitif terhadap pendidikan adalah sebagai berikut:
a.       Individualisasi: perlakuan individual didasarkan pada tingkat perkembangan anak.
b.      Motivasi: motivasi belajar bersifat intrinsik melalui pengetahuan yang telah dimiliki,
c.       Metodologi: mempergunakan kurikulum dan metode yang mengembangkan keterampilan dasar berpikir, dan juga mengembangkan bahan pelajaran.
d.            Tujuan kurikuler: memusatkan diri pada pengembangan kemampuan secara keseluruhan, gera, pedriaan (pengamatan), berbahasa, dan berpikir. Interaksi sosial dibutuhkan dalam rangka mengembangkan intelegensi.
e. Bentuk pengelolaan kelas: berpusat pada anak, peranan guru adalah berfungsi membimbing anak dalam belajar bereksplorasi dan bereksperimentasi,
f. Efektivitas pengajaran: program pengajaran disusun dalam bentuk pengetahuan yang terpadu, konsep dan keterampilan dirancang secara hierarkhis,
g.Partisipasi siswa: partisipasi siswa terutama dituntut untuk melakukan pengembangan kemampuan berpikir, dan melalui belajar dan bekerja.
h.Kegiatan belajar siswa: kegiatan belajar mengutamakan metode tilikan dan pemahaman,
i.  Tujuan umum pendidikan: mengembangkan fungsi-fungsi kognitif secara optimal, dan menggunakan kecerdasan secara bijaksana.

B.     Teori Psikologi Humanistik
Abraham H. Maslow dan Carl R. Rogers, adalah tokoh humanisme. Menurut aliran humanisme bahwa perilaku manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh faktor internal, dan bukan oleh kondisi lingkungan ataupun pengetahuannya. Manusia yang mencapai puncak perkembangan adalah yang mampu mengaktualisasi dirinya; mampu mengembangkan potensinya dan merasa dirinya itu utuh, bermakna , dan berfungsi.
Aliran humanisme menolak proses belajar yang mekanis, karena belajar merupakan fungsi keseluruhan pribadi. Aliran ini meyakini bahwa motivasi belajar harus datang dari dalam diri individu sendiri. Belajar akan bermakna, manakala melibatkan pengalaman langsung, berpikir dan merasa, atas kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi siswa. Carl R. Rogers dalam Dasar-dasar Kependidikan (1988;332), mengemukakan prinsip-prinsip belajar sebagai berikut:
a.       Manusia mempunyai dorongan untuk belajar, dorongan ingin tahu, melakukan eksplorasi dan mengasimilasi pengalaman baru,
b.      Belajar akan bermakna, apabila yang dipelajari itu relevan dengan kebutuhan anak,
c.       Belajar diperkuat dengan jalan mengurangi ancaman eksternal, seperti hukuman, sikap merendahkan murid, mencemoohkan dan sebagainya.
d.      Belajar dengan inisiatif sendiri akan melibatkan keseluruhan pribadi, baik intelektual maupun perasaan,
e.       Sikap berdiri sendiri, kreativitas dan percaya diri diperkuat dengan penilaian diri sendiri.
Pandangan kaum humanis tentang proses belajar mengimplikasikan perlunya penataan prioritas kegiatan pendidikan dan peranan guru. Pendidikan yang bersifat humanis, menekankan pada pertumbuhan yang seimbang antara kognitif dan afektif dari pada aspek isi yang dipelajari. Peranan guru lebih berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar.
Tujuan pendidikan menurut kaum humanis adalah realisasi diri, yakni suatu kondisi dimana individu mencapai kesadaran akan dirinya sendiri, lingkungan dan sistem nilai. Individu yang mencapai realisasi diri akan merasa dirinya penuh makna, bebas, karena mampu hidup dalam keragaman, sadar akan tanggung jawab, kreatif dan produktif. Untuk mencapai tujuan tersebut, guru berperan sebagai narasumber, fasilitator belajar, dan bukan inspektor atau instruktur yang mengendalikan kelas. Apabila guru berperan sebagai fasilitator, menurut Carl R. Rogers (1985;334) maka ia mempunyai tugas sebagai berikut:
a.       Membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif dan sikap positif terhadap belajar,
b.      Membantu siswa mengklasifikasikan tujuan belajar, dan guru memberikan kesempatan secara bebas kepada siswa untuk menyatakan apa yang hendak ingin mereka pelajari,
c.       Membantu siswa mengembangkan dorongan dan tujuannya sebagai kekuatan untuk belajar,
d.      Menyediakan sumber-sumber belajar, termasuk juga menyediakan dirinya sebagai sumber belajar bagi siswa.
Proses belajar yang berlandaskan  pada humanisme, menekankan kepada pentingnya hubungan “interpersonal”, sikap menerima murid sebagai seorang pribadi yang mempunyai kemampuan, dan peranan guru sebagai partisipan dalam proses belajar bersama.

C. Teori belajar Behavioristik
E.L. Thorndike dan B.F. Skinner adalah dua orang tokoh psikologi yang berpandangan behavioristik. Aliran ini memandang bahwa perilaku manusia adalah hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan. Prinsip ini dikenal dengan prinsip “operant conditioning” yang dikembangkan oleh Skinner. Perilaku adalah hal-hal yang berubah dan dapat diamati. Perilaku individu dipahami dalam hubungannnya dengan peristiwa yang mendahuluinya. Asumsi pokok yang melandasi behaviorisme, menurut M.I. Soelaiman; (1985;335) adalah sebagai berikut:
a.  Perilaku itu dipelajari dan terbentuk dengan adanya ikatan asosiatif antara stimulus dan respon (S-R)
b.  Manusia pada dasarnya mencari kesenangan dan menghindari hal-hal yang menyakitkan,
c.  Perilaku pada dasarnya ditentukan oleh lingkungan.
Menurut teori behavioristik, ada tiga hal yang mempengaruhi proses belajar seseorang yaitu: stimulus, respon, dan akibat. Stimulus sebagai sesuatu yang datang dari lingkungan yang dapat membangkitkan respon individu. Sedangkan akibat adalah sesuatu yang terjadi setelah individu merespon, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Akibat yang memberikan kepuasan, bersifat positif bagi individu, dan akan memperkuat motivasi belajar yang lebih jauh, sedangkan akibat yang tidak memberikan kepuasan, cenderung dihindarkan. Prinsip ini disebut “reinforcement”.
Hasil belajar adalah perilaku yang dapat diobservasi dan diukur, yang mengimplikasikan bahwa proses belajar behaviorisme menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademis maupun perilaku sosial sebagai hasil belajar. Adapun tujuan pendidikan menurut aliran behaviorisme adalah berorientasi pada pengembangan kompetensi, penguasaan secara tuntas terhadap apa-apa yang dipelajari. Tujuan pendidikannya adalah bersifat eksternal, yaitu dirumuskan dan ditentukan berdasarkan pengaruh lingkungan, baik yang sifatnya sosio-kultural maupun lingkungan fisik. Tujuan-tujuan pendidikannya mengabaikan masalah kehidupan pribadi siswa, lebih berorientasi kepada tujuan-tujuan diluar diri siswa. Murid dianggap tidak perlu melakukan pengendalian belajar sendiri.
Peranan guru dalam proses belajar adalah sebagai pengambil inisiatif dan pengendali proses belajar. Tugas-tugas guru dalam hal ini adalah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi perilaku yang dipelajari dan merumuskannya dalam rumusan spesifik
2) Mengidentifikasi perilaku yang diharapkan dari proses belajar. Bentuk-bentuk kompetensi yang diharapkan dalam bidang studi, dijabarkan secara spesifik dalam tahap-tahap kecil. Penguasaan keterampilan melalui tahap-tahap ini sebagai tujuan yang akan dicapai dalam proses belajar
3) Mengidentifikasi reinforcer yang memadai. Reinforcer dapat berbentuk mata pelajaran, kegiatan belajar, perhatian dan penghargaan, dan kegiatan-kegiatan yang dipilih siswa
4) Menghidarkan perilaku yang tidak diharapkan dengan jalan memperlemah pola perilaku yang dikehendaki.
Ada dua hal pokok yang merupakan implikasi dari teori behaviorisme, yaitu:
1) Modifikasi perilaku dengan menggunakan cara-cara yang spesifik dan menggunakan sistem ganjaran (reinforcer).
2) Pengajaran berprogram yang menunjuk kepada: (a) cara umum tentang perencanaan dan sistem penyajian pengajaran, (b) hasil yang spesifik, teks yang diprogram, atau pertunjukkan film slide dan televisi. Salah satu implikasi dari teori belajar behavioristik adalah model pengajaran dengan menggunakan mesin (teaching machine), pengajaran berkomputer, dan pengajaran moduler.
Pengaruh teori belajar behaviorisme terhadap pendidikan, sebagaimana yang diuraikan oleh Redja Mudyahardjo (1989;72) dapat dirangkum sebagai berikut:
1) Individualisasi: Perlakuan individual didasarkan pada tugas, ganjaran dan disiplin
2) Motivasi: Motivasi belajar bersifat ekstrinsik melalui pembiasaan terus menerus (dapat menjadi reinforcement)
3) Metode: Metode belajar dijabarkan secara rinci untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan tertentu serta menggunakan teknologi pendidikan
4) Tujuan-tujuan kurikuler: Tujuan kurikuler, memusatkan diri pada pengetahuan dan keterampilan akademis serta tingkah laku sosial
5) Bentuk pengelolaan kelas: Berpusat pada guru, sedangkan hubungan sosial digunakan sebagai cara berkomunikasi, bukan sebagai tujuan pengajaran
6) Usaha mengefektifkan kelas: Program pengajaran disusun secara rinci dan bertingkat, dan proses belajar lebih mengutamakan penguasaan bahan
7) Partisipasi siswa: Secara umum siswa menunjukkan perilaku pasif
8) Kegiatan belajar siswa: Pemahiran keterampilan melalui pembiasaan bertahap, yaitu melakukan praktek setapak demi setapak secara rinci
9) Tujuan umum pendidikan: Pendidikan bertujuan mencapai kemampuan mengerjakan sesuatu atau mencapai tingkat kompetensi tertentu.
Proses belajar yang behavioristik menunjukkan proses belajar setahap demi setahap secara terperinci dan tergambarkan dalam sekuensi logis dari informasi yang akan disajikan. Prinsip ini mengimplikasikan bahwa kurikulumnya lebih menggambarkan perincian tentang apa-apa yang akan disajikan kepada murid. Setiap tujuan umum dijabarkan menjadi tujuan yang lebih khusus. Suatu bidang studi dipecah menjadi pokok-pokok bahasan, dan sub-sub pokok bahasan. Semuanya linier dengan tujuan khusus yang dirumuskan terlebih dahulu.

6.      Jenis – Jenis Upaya Pendidikan
Upaya pendidikan adalah suatu cara usaha pendidikan untuk membimbing anak mencapai kedewasaannya.cara usaha itu dapat berbentuk pendidikan atau situasi yang dengan sengaja diadakan untuk pendidikan anak. Upaya pendidikan berbeda artinya dengan faktor pendidikan. Pada faktor pendidikan,adalah suatu pengaruh yang tidak sengaja dilakukan oleh pendidik, tetapi walaupun demikian dapat mempunyai pengaruh terhadap anak yang sama dengan upaya yang dengan sengaja diadakan oleh pendidik.
Perbuatan pendidik yang sengaja ditonjolkan kepada anak sebagai teladan atau nasehat yang selalu dikemukakan kepada anak, biasanya memberikan efek yang diharapkan, karena anak akan merasa tersinggung dalam kemandiriannya. Sebenarnya yang mendidik anak itu bukan nasehat atau teladan yang kita tonjolkan, melainkan suasana lingkungan atau iklim psikologis yang kita ciptakan oleh keberadaan kita dengan kualitas dan suasana tertentu yang dapat memotivasi anak berbuat sebaik mungkin demi kepentingan perkembangan jiwanya sendiri menuju kedewasaan.
Proses pendidikan berlangsung dalam pergaulan antara pendidik dan anak didik, dalam upaya pendidikan dilaksanakan dalam pergaulan pedagogis tersebut. Upaya pendidikan dapat berupa: perintah, larangan, ajakan, saran, dorongan, dsb. Sebagai cara upaya itu mempunyai hasil yang diharapkan, sangat tergantung kepada kepribadian pendidik. Bila pendidik tidak berwibawa, maka upaya pendidikan yang dilaksanakan akan kurang atau tidak mempunyai efek kepada anak. Jadi upaya pendidikan sebenarnya suatu perbuatan kewibawaan. Pendidik yang berwibawa adalah bila ia telah melaksanaka sendiri nilai yang ingin disampaikan kepada anak didik. Setiap upaya pendidikan dilaksanakan berhubungan tiga hal, yaitu:
1.      Mencapai suatu tujuan pendidikan. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut dibagi menjadi beberapa jenis tujuan, yaitu: tujuan umum, khusus, incidental, sementara, tujuan tidak lengkap.
2.      Bentuk upaya yang dipergunakan, seperti larangan, perintah, dsb.
3.      Efek terhadap anak.

7.      Perkembangan Individu dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Dalam perjalanan hidupnya setiap individu mengalami perkembangan, yaitu perubahan-perubahan yang teratur sejak dari pembuahan sampai mati. Perubahan pada indiividu dapat berbentuk kematangan (maturation) dan berbentuk belajar. Kematanagn adalah perubahan yang terjadi secara alami dan spontan tanpa dipengaruhi dari luar, sedangkan belajar merupakan perubahan yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman atau latihan. Sekurang-kurangnya ada tiga prinsip umum perkembangan individu, yaitu (1) perkembangan setiap individu menunjukkan perbedaan dalam kecepatan dan irama; (2) perkembangan berlangsung relatif teratur, dan (3) perkembangan berlangsung berangsur secara bertahap. Setiap tahap perkembangan individu mempunyai tugas-tugas perkembangan (developmental task) yang harus diselesaikan oleh individu ( Robert Havigurst).
Berdasarkan perkembangan indiviidu, tenaga kependidikan memerlukan ilmu pendidikan yang cocok dengan tingkat perkembangan usia. Bagi anak-anak, pendidikan dikenal dengan istilah pedagogi yang berarti ilmu dan seni mengajar (membelajarkan) anak-anak (pedagogy is the science and arts of teaching children) (Knowles, 1977). Bagi orang dewasa, pendidikan dikenal dengan istilah andragogi yaitu ilmu dan seni membantu orang dewasa belajar (andragogy is the science and arts of helping adults learn) (Cross, 1982). Bagi lanjut usia, pendidikan dikenal dengan gerogogi yaitu ilmu dan seni untuk membantu manusia lanjut usia belajar (gerogogy is the science and arts of helping aging learn). Masing-masing ilmu pendidikan tersebut dalam prakteknya memiliki asumsi dan karekateristik yang berbeda sesuai dengan tingkat perkembangan individu yang menjadi peserta didiknya.

8.      Teori Belajar dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Salah satu bentuk proses pendidikan adalah interaksi belajar mengajar. Pola belajar mengajar antara lain dipengaruhi oleh penampilan guru dalam mengajar, dan penampilan guru dalam mengajar antara lain dipengaruhi oleh pengetahuan guru tentang mengajar yang tidak lain adalah teori belajar yang digunakan guru . Teori belajar telah banyak dikembangkan orang, namun dalam rangka pengenalan teori belajar yang menjadi acuan pokok dapat dikemukakan tiga kelompok besar teori belajar yaitu teori belajar kognivisme, teori belajar behaviorisme dan teori belajar humanisme. Ketiga teori belajar tersebut masing-masing memiliki karakteristik dan implikasi yang berbeda dalam prosespendidikan.

No comments

Powered by Blogger.